Membumikan Agraria dan Mengagrariakan Bumi (Bagian Pertama)
LOGIKAHUKUM.COM – Dalam dinamika pembangunan nasional yang semakin kompleks, isu agraria kerap kali berada di posisi pinggiran. Padahal, agraria bukan sekadar soal tanah sebagai aset ekonomi, melainkan fondasi kehidupan manusia yang mencakup ruang, sumber daya, identitas, budaya, serta keberlanjutan lingkungan. Oleh sebab itu, gagasan “membumikan agraria dan mengagrariakan bumi” menjadi sangat penting untuk mengingatkan kembali bahwa keberadaan manusia sepenuhnya bertumpu pada relasinya dengan bumi. Di tengah gempuran industrialisasi, digitalisasi, dan ekspansi ekonomi, kita perlu kembali mengokohkan pemahaman bahwa bumi adalah ruang hidup yang harus dirawat, dijaga, dan dikelola dengan keadilan.
Membumikan agraria berarti menghadirkan kembali isu agraria dalam kesadaran publik dan menjadikannya bagian dari diskursus pembangunan yang tidak boleh diabaikan. Langkah ini menuntut peningkatan literasi agraria melalui pendidikan dan media, sehingga masyarakat memahami bahwa tata kelola tanah bukan hanya urusan pemerintah, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh bangsa. Selain itu, membumikan agraria juga menuntut penguatan kebijakan yang berpihak pada keadilan, termasuk implementasi reforma agraria yang tidak berhenti pada redistribusi lahan, tetapi juga menyediakan akses terhadap modal, teknologi, pendampingan, serta jaminan keberlanjutan ekonomi bagi masyarakat. Dengan membumikan agraria, tanah tidak lagi dilihat sekadar sebagai objek transaksi, tetapi sebagai ruang hidup yang melekat pada martabat manusia.
Sementara itu, mengagrariakan bumi merupakan seruan untuk mengelola bumi dengan prinsip-prinsip agraria yang adil, ekologis, dan berkelanjutan. Pengelolaan ruang harus memperhatikan daya dukung lingkungan dan tidak tunduk sepenuhnya pada kepentingan investasi jangka pendek. Konversi lahan produktif, eksploitasi tambang, perusakan hutan, hingga pembangunan yang mengabaikan aspek ekologis harus dikendalikan demi menjaga keseimbangan alam.
Mengagrariakan bumi juga berarti menghidupkan kembali praktik agrikultur lokal yang berbasis kearifan masyarakat, serta memastikan regenerasi petani agar pertanian tidak kehilangan pelakunya. Manusia harus menyadari bahwa bumi bukan objek yang bisa dieksploitasi tanpa batas, melainkan subjek ekologis yang menjadi penopang kehidupan seluruh makhluk.
Dua gagasan ini menjadi semakin relevan mengingat berbagai persoalan yang terus muncul dalam sektor agraria Indonesia, mulai dari konflik lahan, ketimpangan penguasaan tanah, hingga ancaman terhadap ketahanan pangan nasional. Tanpa tata kelola agraria yang adil, pembangunan hanya akan menciptakan ketimpangan struktural antara mereka yang menguasai sumber daya dan masyarakat yang hidup di pinggir akses. Dengan membumikan agraria, publik memahami urgensi keadilan dalam pengelolaan ruang. Dengan mengagrariakan bumi, kita memastikan seluruh aktivitas pembangunan memiliki akar ekologis yang kuat dan berwawasan keberlanjutan.
Pada akhirnya, masa depan bangsa dapat dibaca dari bagaimana kita memperlakukan bumi hari ini. Indonesia memiliki anugerah agraria yang luas dan kaya, tetapi kekayaan itu tidak akan bertahan tanpa kesadaran dan pengelolaan yang bijak. “Membumikan agraria dan mengagrariakan bumi” adalah ajakan untuk menempatkan agraria sebagai pusat peradaban, bukan hanya sektor ekonomi. Bumi bukan semata warisan generasi terdahulu, tetapi titipan yang harus dijaga untuk generasi yang akan datang. Ketika agraria benar-benar dibumikan dan bumi diagriakan, maka pembangunan yang adil, berkelanjutan, dan manusiawi dapat terwujud.
Eksplorasi konten lain dari LOGIKAHUKUM.COM
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
