Peranan dan Penguatan Profesi Advokat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP)

LOGIKAHUKUM.COM Profesi advokat merupakan bagian integral dari sistem peradilan pidana. Dalam kerangka negara hukum (rechtstaat), advokat tidak hanya sebagai pembela individu yang terjerat hukum, tetapi juga sebagai penjaga keadilan (officium nobile) dan pengimbang kekuasaan negara dalam proses peradilan pidana. Reformasi hukum acara pidana melalui RKUHAP membuka peluang besar dalam penguatan profesi advokat melalui pengakuan peran pentingnya dalam menjamin perlindungan hak asasi manusia dan akses terhadap keadilan.

RKUHAP yang dirancang sebagai pengganti KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) bertujuan untuk memperkuat peran semua aktor penegak hukum secara seimbang, termasuk advokat. Namun, penting untuk mencermati secara mendalam bagaimana posisi advokat diperlakukan dalam RKUHAP, apakah ia telah mendapatkan ruang yang cukup untuk menjalankan fungsinya secara independen dan efektif.

Profesi advokat sebagai penegak hukum memegang peranan penting dalam menjamin perlindungan hak-hak konstitusional warga negara, khususnya dalam proses peradilan pidana. Advokat tidak hanya berperan sebagai pembela terdakwa, namun juga sebagai penjaga tegaknya Prinsip Due Process of Law dan Fair Trial. Oleh karena itu, penguatan posisi dan peran advokat dalam sistem peradilan pidana merupakan kebutuhan mutlak dalam sebuah negara hukum (rechtsstaat).

Dalam konteks Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), isu penguatan advokat mendapat perhatian yang cukup luas, baik dalam diskursus akademik maupun kebijakan legislatif. RKUHAP diharapkan mampu menjadi perangkat hukum acara pidana modern yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepastian hukum, serta memperkuat posisi advokat sejajar dengan aparat penegak hukum lainnya seperti penyidik, penuntut umum, dan hakim.

Dasar Filosofis dan Yuridis Penguatan Advokat dalam RKUHAP

  1. Konstitusionalitas Peran Advokat

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menjamin perlindungan hukum yang adil bagi setiap warga negara. Di sisi lain, UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat mengamanatkan bahwa advokat memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lain, seperti jaksa, hakim, dan polisi dalam sistem peradilan. Maka dari itu, penguatan peran advokat dalam hukum acara pidana adalah suatu keniscayaan konstitusional. Menurut Satjipto Rahardjo, sistem hukum yang baik harus melindungi “akses terhadap keadilan”, bukan hanya menjamin prosedur formal, tetapi juga substansi keadilan itu sendiri.[1]

  1. Landasan Teori Peran Advokat dalam Sistem Peradilan

Berdasarkan teori Equality of Arms yang dikembangkan dalam hukum acara modern, semua pihak dalam persidangan pidana harus mendapatkan kedudukan yang seimbang. Advokat berperan sebagai pengimbang terhadap dominasi aparat negara seperti penyidik dan penuntut umum.

Menurut Mirjan Damaska, sistem adversarial mengedepankan peran aktif advokat dalam membentuk jalannya proses peradilan (Damaska, The Faces of Justice and State Authority, 1986). RKUHAP yang masih cenderung inquisitorial perlu memberi ruang lebih bagi peran aktif advokat sejak awal penyidikan.[2]

Analisis Ketentuan RKUHAP terkait Advokat

  1. Akses Advokat terhadap Klien (Pasal 54 dan 55 RKUHAP)

Dalam RKUHAP, advokat memiliki hak untuk mendampingi tersangka sejak awal proses penyidikan. Hal ini merupakan penguatan dari KUHAP sebelumnya yang sering menimbulkan multitafsir. “Tersangka berhak mendapatkan pendampingan hukum dari advokat pada setiap tingkat pemeriksaan.” – Pasal 54 RKUHAP Draft 2023. Namun, dalam praktiknya masih ada hambatan dalam implementasi hak tersebut. Dalam sejumlah kasus, pendampingan advokat masih dibatasi atau dihambat oleh aparat penyidik. Oleh karena itu, RKUHAP perlu mempertegas sanksi bagi penyidik yang menghalangi advokat.[3] RKUHAP mengakui advokat sebagai bagian dari sistem kekuasaan kehakiman (Pasal 24 UUD 1945 & UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Oleh karenanya, hak imunitas profesi Advokat harus diatur secara eksplisit dalam RKUHAP, agar advokat terlindungi dari penyalahgunaan atau kriminilasasi dari oknum penegak hukum.

  1. Pemeriksaan di Tempat Tertutup dan Privasi Percakapan

RKUHAP mengakui pentingnya Privileged Communication antara advokat dan kliennya. Namun, dalam sejumlah pasal masih belum dijelaskan secara tegas mekanisme perlindungan percakapan tersebut. Ahli hukum pidana, Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, menyatakan: “Hubungan antara advokat dan klien harus mendapatkan perlindungan hukum agar hak pembelaan dapat dijalankan secara efektif, tanpa intimidasi atau ancaman.” (Seminar RKUHAP UI, 2022).[4] Lebih lanjut Prof. Dr. Jamin Ginting, S.H., M.H., mengkritik : Pasal 33 RKUHAP: Memberi hak bagi advokat untuk melihat dan mendengar pemeriksaan, namun kenyataannya pasal ini masih menyediakan variasi pembatasan. Artinya, pendampingan hukum belum sepenuhnya bebas masih ada pembatasan signifikan walaupun seharusnya advokat bisa menyuarakan keberatan dan intervensi tegas.[5] Lebih lanjut dalam Seminar AAI (15 Mei 2025) , Prof. Jamin Ginting menyoroti bahwa advokat harus memiliki akses penuh dalam memantau proses penyidikan, bukan hanya hadir pasif.

  1. Penguatan Hak Advokat dalam Penyidikan Alternatif

RKUHAP mulai mengenalkan konsep plea bargaining dan diversi dalam proses penyidikan. Namun, peran advokat dalam negosiasi alternatif tersebut masih lemah secara eksplisit. Prof. Dr. Eddy OS Hiariej, S.H., M.Hum., mengatakan bahwa “Tanpa keterlibatan advokat yang kuat dalam tahap alternatif penyelesaian perkara, potensi ketidakadilan dalam plea bargaining sangat besar. RKUHAP memperkenalkan mekanisme diversi dan plea‑bargaining. Namun belum jelas bagaimana peran advokat di tahap ini. Tanpa advokat, risiko negosiasi yang timpang terhadap klien sangat besar. Lebih lanjut Prof. Eddy OS Hiariej menekankan pentingnya advokat sebagai negosiator utama dalam plea‑bargaining, agar klien mendapatkan informasi lengkap dan perlindungan hukum yang memadai.”[6] Oleh sebab itu, RKUHAP seharusnya memberi peran advokat sebagai aktor wajib dalam negosiasi penyelesaian perkara pidana di luar siding.[7]

Tantangan Implementasi di Lapangan

Meskipun secara normatif peran advokat dikuatkan dalam RKUHAP, masih terdapat tantangan praktis yang harus dibenahi, antara lain:

  1. Keterbatasan Jumlah Advokat di Daerah : Banyak daerah masih kekurangan advokat, menyebabkan ketimpangan pembelaan hukum.
  2. Ketidaksetaraan dalam Perlakuan oleh Aparat : Dalam banyak kasus, advokat masih diperlakukan inferior oleh aparat, misalnya dilarang merekam atau mencatat dalam proses BAP.
  3. Kurangnya Perlindungan terhadap Advokat : Belum ada mekanisme perlindungan hukum yang kuat jika advokat mengalami intimidasi saat menjalankan tugasnya.[8]

Rekomendasi Penguatan Profesi Advokat dalam RKUHAP

Untuk mewujudkan peran advokat yang seimbang dengan penegak hukum lainnya, berikut rekomendasi penguatan yang perlu diakomodasi dalam RKUHAP:

  1. Kewajiban Penyidik Memberi Akses Sejak Awal : Penyidik harus diwajibkan menunggu kehadiran advokat sebelum pemeriksaan dimulai.
  2. Pemberian Sanksi Hukum terhadap Aparat yang Menghambat Advokat : Harus ada sanksi pidana atau administratif terhadap pelanggaran terhadap hak advokat.
  3. Pengakuan Hukum atas Privileged Communication : Percakapan dan dokumen antara klien dan advokat tidak boleh dijadikan alat bukti oleh penegak hukum. RKUHAP belum menjamin secara eksplisit pengakuan Privileged Communication antara advokat dan klien. Hal ini membuka peluang intervensi aparat jika advokat mencatat atau merekam percakapan. Dr. Albert Aries, S.H., M.H., mengingatkan bahwa advokat masih rentan terhadap kriminalisasi saat menjalankan profesinya atau ketika masuk ke lokasi penyidikan.
  4. Keterlibatan Advokat dalam Setiap Upaya Diversi : Wajib melibatkan advokat dalam setiap penyelesaian perkara di luar sidang untuk menjamin keadilan substantif.
  5. Peningkatan Standar Etik dan Profesionalisme Advokat : Organisasi advokat harus memperkuat kode etik dan pengawasan terhadap anggotanya agar sejalan dengan profesionalisme dalam KUHAP baru.

Kesimpulan

RKUHAP adalah momentum penting untuk menata ulang sistem peradilan pidana yang lebih berkeadilan dan berimbang. Penguatan peran advokat bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan syarat mutlak dalam menjamin hak-hak tersangka dan terdakwa, serta mencegah penyalahgunaan kewenangan oleh aparat negara.

Pengakuan peran advokat dalam RKUHAP haruslah menyeluruh, mulai dari proses penyidikan hingga eksekusi putusan. Perlu keterlibatan aktif organisasi advokat dan pengawasan publik agar perubahan ini tidak hanya menjadi retorika hukum belaka, tetapi berwujud dalam praktik peradilan yang adil, transparan, dan akuntabel.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2025 menunjukkan upaya awal untuk mengakomodasi peran advokat dalam sistem peradilan pidana. Namun, sejumlah ketentuan yang diatur masih bersifat normatif dan belum menjangkau aspek substantif. Untuk membangun sistem peradilan pidana yang adil, seimbang, dan sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme, pengakuan terhadap advokat tidak cukup hanya sebagai mitra formal, melainkan harus ditegaskan sebagai salah satu penegak hukum yang setara. Oleh karena itu, RKUHAP perlu secara eksplisit mengatur hak-hak advokat, termasuk akses penuh sejak tahap penyidikan, jaminan kerahasiaan komunikasi antara advokat dan klien (privileged communication), serta penerapan sanksi yang efektif terhadap pelanggaran hak tersebut. Di samping itu, penguatan peran advokat dalam mekanisme diversi dan peradilan alternatif juga menjadi penting untuk mendukung fungsi advokat sebagai pelindung hak asasi manusia dan sebagai elemen kontrol terhadap kekuasaan negara dalam proses penegakan hukum.

Daftar Pustaka

[1] Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

[2] Damaska, M. The Faces of Justice and State Authority: A Comparative Approach to the Legal Process. Yale University Press, 1986.

[3] Zainal Abidin, M. Reformasi Sistem Peradilan Pidana. Yogyakarta: Genta Publishing, 2018.

[4] Harkristuti Harkrisnowo. Pemaparan dalam Seminar RKUHAP. Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022.

[5] Prof. Jamin Ginting. Seminar AAI. Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, 15 Mei 2025.

[6] Eddy OS Hiariej. Catatan Akademik Terhadap RKUHAP. Yogyakarta : Fakultas Hukum UGM, 2023.

[7] Muladi & Arief, B.N. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Jakarta: Kencana, 2010.

[8] ICJR. Analisis Kritis RKUHAP Terkait Akses Keadilan, 2021.


Eksplorasi konten lain dari LOGIKAHUKUM.COM

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari LOGIKAHUKUM.COM

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca