Kedudukan Hukum Anak Yang Lahir di Luar Perkawinan Pasca Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 : Telaah Yuridis atas Kasus Lisa Mariana dan Ridwan Kamil
LOGIKAHUKUM.COM – Kasus yang melibatkan nama Lisa Mariana dan Ridwan Kamil (RK) bukan semata-mata isu sosial atau gosip publik, melainkan persoalan hukum yang menyangkut kedudukan anak di luar perkawinan serta kewajiban ayah biologis. Klaim mengenai status anak yang diasuh oleh Lisa Mariana memunculkan pertanyaan fundamental: apakah anak luar kawin berhak menuntut pengakuan, pemeliharaan, serta perlindungan hukum dari ayah biologisnya meskipun tidak dilahirkan dalam perkawinan yang sah?
Konstitusi Indonesia melalui Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menegaskan hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan perlindungan dari diskriminasi. Sementara itu, Pasal 28C ayat (1) memberikan jaminan atas pengembangan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar. Dengan demikian, status anak tidak boleh direndahkan hanya karena lahir di luar perkawinan. Prinsip ini menegaskan bahwa anak luar kawin memiliki kedudukan hukum untuk menuntut pengakuan dan perlindungan dari ayah biologisnya, apabila hubungan biologis tersebut terbukti.
KUH Perdata secara tradisional membagi anak ke dalam tiga kategori:
1. Anak sah, yakni lahir dalam perkawinan.
2. Anak luar kawin yang diakui, yang hanya memiliki hubungan hukum dengan pihak yang mengakuinya, dan dapat menjadi anak sah apabila kedua orang tua menikah setelah kelahiran.
3. Anak luar kawin yang tidak diakui, yang secara hukum dianggap tidak memiliki hubungan perdata dengan ayah maupun ibunya.
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 semula juga mengadopsi doktrin klasik ini melalui Pasal 43 ayat (1), yang membatasi hubungan perdata anak luar kawin hanya dengan ibu dan keluarga ibu. Formulasi ini mengakibatkan diskriminasi karena meniadakan hak anak luar kawin terhadap ayah biologis.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 menjadi tonggak penting karena menegaskan bahwa anak luar kawin dapat memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya apabila terbukti adanya hubungan darah melalui tes DNA atau alat bukti sah lainnya. Putusan ini berangkat dari prinsip best interest of the child, yang menempatkan kepentingan anak sebagai prioritas utama. Sejak saat itu, ayah biologis tidak dapat menghindari kewajiban hukum hanya karena kelahiran anak terjadi di luar perkawinan formal.
Apabila benar terbukti adanya hubungan biologis antara anak dan RK, maka secara hukum RK berkewajiban memberikan pengakuan dan perlindungan. Akan tetapi, jika tes DNA menyatakan tidak terdapat hubungan darah, maka dasar hukum untuk menuntut pengakuan atau nafkah dari RK otomatis gugur. Artinya, RK bebas dari kewajiban perdata sebagaimana diatur Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan maupun Putusan MK 46/2010.
Selain aspek perdata, kasus ini juga memiliki dimensi pidana. Hubungan seksual antar orang dewasa yang dilakukan secara konsensual bukan tindak pidana. Namun, jika melibatkan pihak di bawah umur, maka hal tersebut masuk dalam kategori tindak pidana pencabulan sebagaimana diatur dalam Pasal 81 dan 82 UU Perlindungan Anak. Selain itu, penyebaran informasi pribadi terkait hubungan tersebut tanpa persetujuan dapat menimbulkan delik pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP) dan pelanggaran Pasal 27 UU ITE.
Hasil tes DNA yang menyatakan anak bukan keturunan biologis RK menjadikan klaim publik mengenai status anak tersebut tidak memiliki dasar hukum. Dari aspek perdata, RK terbebas dari kewajiban sebagai ayah. Namun dari aspek pidana, klaim yang tidak terbukti dapat menimbulkan pertanggungjawaban hukum bagi pihak yang menyebarkan, terutama terkait pencemaran nama baik dan pelanggaran privasi.
Kasus Lisa Mariana dan RK menunjukkan bahwa isu anak luar kawin tidak hanya menyangkut persoalan moral, melainkan juga perlindungan hukum yang diatur dalam konstitusi, KUH Perdata, UU Perkawinan, dan Putusan MK 46/2010. Tes DNA berperan sebagai bukti ilmiah yang menentukan arah penyelesaian perkara. Pada akhirnya, penyelesaian kasus harus menyeimbangkan dua hal: pemenuhan hak anak yang sah secara hukum dan perlindungan terhadap nama baik serta privasi individu sesuai prinsip negara hukum.
Penulis : Ariyanto Zalukhu, S.Ikom (Mahasiswa Hukum)
Eksplorasi konten lain dari LOGIKAHUKUM.COM
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.