Mengenal Dasar-Dasar Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Share your love

LOGIKAHUKUM.COM Indonesia adalah Negara Hukum, sehingga proses penegakkan hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi harus berdasarkan Hukum. Dasar-dasar hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjadi pedoman dan landasan dalam pencegahan dan penindakan. Salah satunya menjadi dasar pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK untuk menjadi penggawa pemberantasan korupsi di tanah air.

Dasar-dasar hukum ini adalah bukti keseriusan pemerintah Indonesia dalam memberantas korupsi. Dalam perjalanannya, berbagai perubahan undang-undang dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi terkini penindakan kasus korupsi. Menyadari tidak bisa bekerja sendirian, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah juga mengajak peran serta masyarakat untuk mendeteksi dan melaporkan tindak pidana korupsi.

Dasar-Dasar Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia adalah sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang ini dikeluarkan di masa Orde Baru pada kepemimpinan Presiden Soeharto. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 mengatur pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda maksimal Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.

Walau Undang-Undang telah menjabarkan dengan jelas tentang definisi korupsi, yaitu perbuatan merugikan keuangan negara dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, namun kenyataannya korupsi, kolusi, dan nepotisme masih marak terjadi di masa itu. Sehingga pada pemerintahan-pemerintahan berikutnya, undang-undang antikorupsi bermunculan dengan berbagai macam perbaikan di sana-sini.

Undang-Undang No. 3 tahun 1971 ini dinyatakan tidak berlaku lagi setelah digantikan oleh Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

  1. Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Usai rezim Orde Baru tumbang diganti masa Reformasi, muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Sejalan dengan TAP MPR tersebut, pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.

Dalam TAP MPR itu ditekankan soal tuntutan hati nurani rakyat agar reformasi pembangunan dapat berhasil, salah satunya dengan menjalankan fungsi dan tugas penyelenggara negara dengan baik dan penuh tanggung jawab, tanpa korupsi. TAP MPR itu juga memerintahkan pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara, untuk menciptakan kepercayaan publik.

  1. Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Undang-undang ini dibentuk di era Presiden BJ Habibie pada tahun 1999 sebagai komitmen pemberantasan korupsi pasca tergulingnya rezim Orde Baru. Dalam UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN ini dijelaskan definisi soal korupsi, kolusi dan nepotisme, yang kesemuanya adalah tindakan tercela bagi penyelenggara negara.

Dalam UU juga diatur pembentukan Komisi Pemeriksa, lembaga independen yang bertugas memeriksa kekayaan penyelenggara negara dan mantan penyelenggara negara untuk mencegah praktik korupsi. Bersamaan pula ketika itu dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Ombudsman.

  1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang di atas telah menjadi landasan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi di tanah air. Undang-Undang ini menjelaskan bahwa korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau yang berakibat merugikan negara atau perekonomian negara.

Definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU ini. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dipetakan ke dalam 30 bentuk, yang dikelompokkan lagi menjadi 7 jenis, yaitu penggelapan dalam jabatan, pemerasan, gratifikasi, suap menyuap, benturan kepentingan dalam pengadaan, perbuatan curang, dan kerugian keuangan negara.

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Melalui peraturan ini, pemerintah ingin mengajak masyarakat turut membantu pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran serta masyarakat yang diatur dalam peraturan ini adalah mencari, memperoleh, memberikan data atau informasi tentang tindak pidana korupsi. Masyarakat juga didorong untuk menyampaikan saran dan pendapat untuk mencegah dan memberantas korupsi.

Hak-hak masyarakat tersebut dilindungi dan ditindaklanjuti dalam penyelidikan perkara oleh penegak hukum. Atas peran sertanya, masyarakat juga akan mendapatkan penghargaan dari pemerintah yang juga diatur dalam PP ini.

  1. Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi pencetus lahirnya KPK di masa Kepresidenan Megawati Soekarno Putri. Ketika itu, Kejaksaan dan Kepolisian dianggap tidak efektif memberantas tindak pidana korupsi sehingga dianggap pelu adanya lembaga khusus untuk melakukannya.

Sesuai amanat Undang-Undang tersebut, KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Undang-Undang ini kemudian disempurnakan dengan Revisi Undang-Undang KPK pada 2019 dgn terbitnya Undang-Undang No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-Undang 2019 tersebut diatur soal peningkatan sinergitas antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan untuk penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi.

  1. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Pencucian uang menjadi salah satu cara koruptor menyembunyikan atau menghilangkan bukti tindak pidana korupsi. Dalam Undang-Undang ini diatur soal penanganan perkara dan pelaporan pencucian uang dan transaksi keuangan yang mencurigakan sebagai salah satu bentuk upaya pemberantasan korupsi.

Dalam Undang-Undang ini juga pertama kali diperkenalkan lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mengkoordinasikan pelaksanaan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

  1. Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK)

Peraturan Presiden ini merupakan pengganti dari Perpres No 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan pencegahan korupsi.

Stranas PK yang tercantum dalam Perpres ini adalah arah kebijakan nasional yang memuat fokus dan sasaran pencegahan korupsi yang digunakan sebagai acuan kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan aksi pencegahan korupsi di Indonesia. Sementara itu, Aksi Pencegahan Korupsi (Aksi PK) adalah penjabaran fokus dan sasaran Stranas PK dalam bentuk program dan kegiatan.

Ada tiga fokus dalam Stranas PK, yaitu Perizinan dan Tata Niaga, Keuangan Negara, dan Penegakan Hukum dan Demokrasi Birokrasi.

  1. Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 tentang tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Diterbitkan Presiden Joko Widodo, Perpres ini mengatur supervisi KPK terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia.

Perpres ini juga mengatur wewenang KPK untuk mengambil alih perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh Polri dan Kejaksaan. Perpres ini disebut sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.

  1. Permenristekdikti Nomor 33 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di Perguruan Tinggi

Pemberantasan korupsi bukan sekadar penindakan, namun juga pendidikan dan pencegahan. Oleh karena itu Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi mengeluarkan peraturan untuk menyelenggarakan pendidikan antikorupsi (PAK) di perguruan tinggi.

Melalui Permenristekdikti Nomor 33 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di Perguruan Tinggi, perguruan tinggi negeri dan swasta harus menyelenggarakan mata kuliah pendidikan antikorupsi di setiap jenjang, baik diploma maupun sarjana. Selain dalam bentuk mata kuliah, PAK juga bisa diwujudkan dalam bentuk kegiatan Kemahasiswaan atau pengkajian, seperti kokurikuler, ekstrakurikuler, atau di unit kemahasiswaan. Adapun untuk Kegiatan Pengkajian, bisa dalam bentuk Pusat Kajian dan Pusat Studi. Kegiatan pengajaran PAK ini harus dilaporkan secara berkala ke Kementerian melalui Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan.

Avatar photo
Yustinus Hura, S.H.

Founder & CEO LogikaHukum.com
Advocate & Legal Consultant

Articles: 60

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *