LOGIKAHUKUM.COM – Hak merek adalah merupakan sebuah hak eksklusif yang diberikan secara legal kepada pemilik suatu produk dengan merek terdaftar dalam jangka waktu tertentu yang dapat digunakan secara pribadi ataupun diberikan kepada pihak lain yang telah diberikan izin dan kewenangan. Definisi tersebut diatas tercantum secara eksplisit dalam Pasal 5 Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis Nomor 20 Tahun 2016 (selanjutnya disebut UU Merek). Pada umumnya suatu merek digunakan oleh produsen atau pemilik merek dalam melindungi produknya, baik yang berupa jasa atau barang dagang. Perlindungan atas merek ini kemudian dapat diperoleh dengan mendaftarkan merek melalui Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).
Dalam pendaftaran hak atas merek di Indonesia menganut prinsip first to file yakni suatu asas yang menyatakan bahwa pihak yang mendaftarkan merek terlebih dahulu yang dianggap sebagai pemilik merek yang sah. Selain prinsip first to file, dalam sistem pendaftaran merek di Indonesia juga dikenal adanya “itikad tidak baik”. Dimana dalam hal ini pendaftaran merek harus ditolak pendaftarannya oleh Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual apabila merek yang dimohonkan dilakukan secara itikad tidak baik, memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek lain yang telah didaftar atau merek terkenal (Istiqmalia & Joesoef, 2021:408-409).
Yang dimaksud dengan “Pemohon yang beriktikad tidak baik” adalah Pemohon yang patut diduga dalam mendaftarkan Mereknya memiliki niat untuk meniru, menjiplak, atau mengikuti Merek pihak lain demi kepentingan usahanya menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak sehat, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.
Konsep “Itikad tidak baik” ini telah diatur sejak Undang-Undang Merek tahun 1992, dilanjutkan dengan Undang-Undang Merek tahun 2001, dan disempurnakan melalui Undang-Undang Merek tahun 2016. Berdasarkan perkembangan ketiga undang-undang tersebut diatas menjelaskan bahwa konsep itikad tidak baik dalam pendaftaran merek yakni pemohon yang patut diduga dalam mendaftarkan mereknya secara tidak layak dan tidak jujur untuk meniru, menjiplak, atau mengikuti merek pihak lain demi kepentingan usahanya menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak sehat, mengecoh, atau menyesatkan konsumen (Ifrani, Nurhayati, & Fajar, 2018:244).
Contoh permohonan merek dengan itikad tidak baik adalah permohonan merek berupa bentuk tulisan, lukisan, logo, atau susunan warna yang sama dengan merek milik pihak lain atau merek yang sudah dikenal masyarakat secara umum sejak bertahun-tahun, ditiru sedemikian rupa sehingga memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah dikenal tersebut. Dari contoh tersebut sudah terdapat itikad tidak baik dari Pemohon karena setidak-tidaknya patut diketahui adanya unsur kesengajaan dalam meniru merek yang sudah dikenal tersebut.
Penjelasan terkait konsep “itikad tidak baik” juga dijelaskan dalam beberapa yurisprudensi yakni Putusan Nomor 1269 L/Pdt/1984 tanggal 15 Januari 1986, Putusan Nomor 220/PK/Perd/1981 Tanggal 16 Desember 1986 dan Putusan Nomor 1271/K/Pdt./1984 tanggal 15 Januari 1987. Dalam yurisprudensi tersebut diatas Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemilik merek beritikad tidak baik karena telah terbukti menggunakan merek yang sama pada pokoknya atau sama pada keseluruhannya dengan merek pihak lawan (Ifrani, Nurhayati, & Fajar, 2018:244).
Dalam Pasal 21 ayat (3) UU Merek diatur bahwa “Permohonan merek ditolak jika diajukan oleh Pemohon yang beritikad tidak baik.” Terhadap Pasal tersebut kemudian dapat diajukan gugatan pembatalan merek terdaftar oleh pihak yang berkepentingan kepada Pengadilan Niaga. Hal tersebut tercantum secara jelas dalam Pasal 76 UU Merek.
Pada praktiknya cukup banyak permohonan merek di Indonesia yang diajukan dengan itikad tidak baik, baik yang sedang dalam proses pendaftaran atau sudah didaftarkan. Contohnya dalam kasus merek “Starbucks” yang tertera dalam Putusan Nomor 51/Pdt.Sus/Merek/2021/PN Niaga Jkt.Pst. Dalam putusan tersebut gugatan pembatalan merek diajukan oleh Starbucks Corporation atas merek “Starbucks” milik PT. Sumatra Tobacco Trading Company dengan Nomor Pendaftaran IDM000342818 yang didaftarkan sejak tahun 1992 dan diperpanjang pada tahun 2002 hingga sekarang.
Pihak Starbucks Corporation sebagai penggugat dalam putusan ini mendalilkan bahwa permohonan pendaftaran merek “Starbucks” oleh PT. Sumatra Tobacco Trading Company dilandasi dengan itikad tidak baik. Adanya dalil ini dalam gugatan penggugat mengharuskan penggugat membuktikan bahwa dalam permohonan pendaftaran merek “Starbucks’ oleh PT. Sumatra Tobacco Trading Company didasarkan oleh itikad tidak baik sesuai dengan maksud peraturan perundang-undangan.
Mengingat pihak Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual sebagai turut tergugat dalam putusan ini menyatakan bahwa pemberian hak merek “Starbucks” kepada tergugat sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pada saat itu belum ada merek lain yang terdaftar dan memiliki kesamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang didaftarkan tergugat. Apabila melihat keterangan tersebut, tidak dapat dibuktikan adanya “itikad tidak baik” yang dilakukan oleh tergugat dalam mendaftarkan mereknya.
Berdasarkan hal tersebut kemudian majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan untuk menolak gugatan penggugat terkait pembatalan merek “Starbucks” milik PT. Sumatra Tobacco Trading Company. Putusan tersebut selanjutnya diajukan kasasi ke Mahkamah Agung oleh penggugat dengan Putusan Nomor 863 K/Pdt.Sus-HKI/2022. Dalam putusan tersebut majelis hakim memutuskan untuk mengabulkan permohonan kasasi oleh pemohon kasasi yakni Starbucks Corporation atas pembatalan merek Starbucks milik PT. Sumatra Tobacco Trading Company.
Hal tersebut diatas didasarkan fakta bahwa merek “Starbucks” milik Starbucks Corporation merupakan merek terkenal yang terdaftar dalam banyak negara dan telah terdaftar atau diajukan permohonan pendaftaran mereknya di berbagai negara jauh sebelum tergugat mengajukan permohonan pendaftaran merek “Starbucks” di Indonesia. Selain itu, merek Starbucks milik tergugat ternyata mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek Starbucks milik penggugat dalam bentuk susunan dan jumlah huruf serta adanya persamaan bunyi dan ucapan. Sehingga patut diduga dalam pendaftaran mereknya tergugat didasari atas itikad tidak baik. Melihat hal tersebut, maka pembuktian adanya itikad tidak baik bersifat sangat penting dalam pembatalan merek. Sebab itikad tidak baik dalam pendaftaran merek merupakan salah satu alasan dari adanya gugatan pembatalan merek itu sendiri.
Kesimpulan
Penerapan asas itikad baik sebagai salah satu alasan pembatalan merek berdasarkan Undang-Undang No.20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis dapat dilaksanakan apabila pelaku usaha yang telah melakukan pendaftaran merek dagangnya untuk pertama kalinya dengan itikad baik pada Daftar Umum Merek di Direktorat Merek merasa dirugikan hak-haknya dengan adanya pendaftaran merek yang sama pada pokoknya atau sama secara keseluruhannya untuk jenis produk yang sama yang dilakukan oleh pihak lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No.20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Pengajuan gugatan pembatalan merek tersebut dapat dilakukan oleh pendaftar merek pertama kali dengan itikad baik tersebut ke Pengadilan Niaga di lingkungan Pengadilan Negeri dengan menyertakan bukti-bukti yang autentik.
Referensi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis