Penjarahan Rumah Pejabat : Dialektika antara Hak Asasi dan Tindak Pidana

LOGIKAHUKUM.COM Secara filosofis, hak menyampaikan pendapat merupakan turunan dari prinsip dasar demokrasi, yakni sovereignty of the people atau kedaulatan rakyat. Konstitusi UUD 1945 melalui Pasal 28E mengafirmasi bahwa kebebasan berpendapat adalah hak asasi yang melekat pada setiap individu sebagai manifestasi dari martabat manusia. Hak ini bukan sekadar sarana kritik, melainkan instrumen partisipasi politik warga negara dalam mengontrol jalannya pemerintahan.

Namun, kebebasan tidak bersifat absolut. Filsafat hukum menegaskan bahwa kebebasan individu harus diletakkan dalam kerangka harm principle (John Stuart Mill), di mana kebebasan seseorang dibatasi ketika berpotensi merugikan orang lain. Dengan demikian, demonstrasi di depan rumah pejabat dapat dipandang sah selama berada di ruang publik, tetapi kehilangan legitimasi filosofisnya ketika memasuki ranah privat yang mengganggu ketenteraman keluarga pejabat.[1]

Secara sosiologis, demonstrasi di depan rumah pejabat lahir sebagai ekspresi ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan negara. Fenomena ini menegaskan bahwa rumah pejabat sering dianggap sebagai simbol kekuasaan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto, hukum harus dipahami sebagai lembaga sosial yang tidak bisa dipisahkan dari realitas masyarakat karena selalu berinteraksi dengan nilai, norma, dan konflik sosial.[2]

Di sisi lain, aksi di depan rumah pejabat juga berpotensi menimbulkan masalah sosial, seperti gangguan ketertiban umum, keresahan tetangga sekitar, hingga risiko kriminalitas. Oleh karena itu, negara harus hadir menyeimbangkan dua kepentingan: hak warga negara untuk menyampaikan pendapat dan hak pejabat serta masyarakat sekitar untuk mendapatkan ketenteraman.[3]

Dari aspek yuridis, regulasi di Indonesia telah mengatur secara jelas batas-batas kebebasan berpendapat. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 menjamin hak demonstrasi di ruang publik dengan kewajiban pemberitahuan kepada aparat kepolisian. Namun, undang-undang tersebut tidak secara eksplisit melarang rumah pejabat sebagai lokasi aksi, sehingga secara normatif demonstrasi di jalan umum di depan rumah pejabat tetap sah, sepanjang memenuhi syarat formal dan tidak melanggar ketertiban.[4]

Batasannya kemudian ditentukan oleh KUHP. Pasal 167 KUHP mengkriminalisasi perbuatan memasuki pekarangan tanpa izin, sementara Pasal 406 KUHP melindungi hak kepemilikan dari perusakan. Apabila aksi demonstrasi berkembang menjadi kekerasan, perusakan, atau pencurian, maka status hukum berubah dari aksi konstitusional menjadi tindak pidana.[5] Prinsip lex specialis derogat legi generali menegaskan bahwa perlindungan hak asasi dalam demonstrasi tidak menghapus pertanggungjawaban pidana jika telah terjadi pelanggaran hukum.

Selain itu, Pasal 28J UUD 1945 menegaskan bahwa dalam menjalankan hak asasinya, setiap orang wajib menghormati hak orang lain serta tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang. Artinya, kebebasan menyampaikan pendapat tetap harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan dalam bingkai hukum positif.[6]

Perbandingan Hak Demokrasi vs Perlindungan Hukum Privat dalam Demonstrasi di Depan Rumah Pejabat

AspekPro (Ekspresi Demokrasi)Kontra (Perlindungan Hukum Privat)
Filosofis
  • Hak berpendapat adalah bagian dari kedaulatan rakyat (sovereignty of the people).
  • Demonstrasi merupakan wujud kontrol sosial terhadap kekuasaan pejabat.
  • Kebebasan tidak absolut (harm principle – John Stuart Mill).
  • Privasi rumah tangga pejabat dan keluarganya merupakan hak dasar yang juga harus dilindungi.
Sosiologis
  • Rumah pejabat dipandang simbol kekuasaan yang dekat dengan rakyat, sehingga aksi di lokasi tersebut lebih efektif sebagai pesan politik.
  • Menjadi saluran aspirasi masyarakat yang merasa akses formal terbatas.
  • Menimbulkan keresahan warga sekitar, mengganggu ketenteraman lingkungan.
  • Berpotensi menimbulkan anarki, perusakan, atau kriminalitas.
Yuridis
  • Pasal 28E UUD 1945 menjamin hak menyampaikan pendapat.
  • UU No. 9 Tahun 1998 tidak melarang rumah pejabat sebagai lokasi demonstrasi selama di ruang publik.
  • Pasal 167 KUHP melarang memasuki pekarangan tanpa izin. – Pasal 406 KUHP melarang perusakan properti.
  • Pasal 28J UUD 1945 membatasi kebebasan dengan kewajiban menghormati hak orang lain.

Jadi, Analisis filosofis menunjukkan bahwa demonstrasi adalah bagian esensial dari demokrasi, namun kebebasan tersebut tidak mutlak. Analisis sosiologis menegaskan bahwa aksi di depan rumah pejabat mencerminkan dinamika sosial-politik masyarakat, tetapi rawan konflik dan keresahan. Analisis yuridis menempatkan garis batas yang tegas: demonstrasi sah selama di ruang publik dan sesuai prosedur, tetapi berubah menjadi tindak pidana jika merambah ke ranah privat atau melanggar KUHP.

Dengan demikian, demonstrasi di depan rumah pejabat merupakan ekspresi demokrasi selama tetap dalam ruang publik, tetapi berubah menjadi pelanggaran hukum jika melanggar privasi atau menimbulkan tindak pidana.

 

Daftar Pustaka/Referensi

[1] John Stuart Mill, On Liberty, London: Penguin Classics, 2004, hlm. 68.

[2] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm. 45.

[3] Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Masyarakat, Bandung: Angkasa, 2002, hlm. 87.

[4] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hlm. 132.

[5] Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 2011, hlm. 203–210.

[6] Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hlm. 156.

Penulis : Ariyanto Zalukhu, S.IKom. (Mahasiswa Hukum)


Eksplorasi konten lain dari LOGIKAHUKUM.COM

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari LOGIKAHUKUM.COM

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca