LOGIKAHUKUM.COM – Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) sebelum AJB dilakukan apabila ada kondisi tertentu yang mengharuskan untuk melakukan proses tersebut. Praktik PPJB ini seringkali digunakan oleh para pengembang (developer) yang dapat berfungsi sebagai uang muka pembayaran dari pembeli. Oleh karena itu, harus diperhatikan dalam PPJB ini, yaitu objek PPJB, jaminan dari penjual, kewajiban penjual, kewajiban pembeli, dan isi muatan PPJB.
Dengan telah ditandatanganinya PPJB oleh semua pihak di hadapan pejabat umum, maka PPJB tersebut termasuk ke dalam Akta Otentik, sehingga kedudukan Akta Otentik tersebut bersifat sempurna, kecuali dibuktikan sebaliknya. Perlindungan hukum kepada para pihak dilihat dari 2 (dua) perspektif atau sudut pandang, yaitu perlindungan hukum terhadap :
1. Penjual
Pada PPJB terdapat hak dan kewajiban dari penjual dan pembeli. Adapun contoh yang dipraktekkan misalnya dalam PPJB mewajibkan pembeli untuk melakukan pembayaran sejumlah uang dengan ada jangka waktu yang telah disepakati, serta dikaitkan juga dengan adanya persyaratan batal apabila hal tersebut tidak dilaksanakan sesuai ketentuan PPJB. Penjual juga mempunyai kewajiban untuk melakukan penyerahan objek apabila persyaratan dalam PPJB sudah dilaksanakan, sehingga nantinya pembeli akan menandatangani BAST (Berita Acara Serah Terima) objek.
2. Pembeli
Salah satu bentuk perlindungan hukum bagi pembeli dalam PPJB yaitu adanya permintaan pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali, yakni apabila kesepakatan dalam PPJB tidak terpenuhi dan/atau tidak dipenuhi oleh penjual, maka dikarenakan hal itu mengakibatkan kerugian bagi pembeli sehingga ia bisa mengajukan tuntutan atau permintaan ganti rugi atas hal tersebut.
Akta PPJB adalah jenis “partij akte”, akta tersebut memuat kehendak para pihak, janji para pihak serta hak dan kewajiban para pihak, didalam akta tersebut memuat berbagai macam isi yang dikehendaki para pihak di hadapan notaris. Klausul mengenai jangka waktu pemenuhan hak dan kewajiban harus di cantumkan pada akta PPJB, sebab akan muncul ketidakpastian bagi para pihak untuk mendapatkan hak dan kewajibannya.
Suatu akta akan menjadi masalah apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasinya atau salah satu pihak merasa dirugikan. Hal ini menyebabkan kerugian bagi para pihak yang telah membuat dan menyepakati akta yang telah dibuat, tetapi dalam perjalanannya suatu akta perjanjian tidak berjalan sesuai dengan kesepakatan para pihak yang membuatnya, terdapatnya kondisi yang berakibat suatu perjanjian harus berakhir tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya pembatalan akta jual beli tersebut, yaitu harga jual beli yang telah disepakati dalam perjanjian pengikatan jual beli tidak dilunasi oleh pihak pembeli sampai jangka waktu yang telah diperjanjikan; para pihak tidak melunasi kewajibannya dalam membayar pajak; dan dokumen-dokumen tanahnya yang diperlukan untuk proses peralihan hak atas tanah (jual beli tanah dihadapan PPAT) belum selesai sampai jangka waktu yang telah diperjanjikan. Maka dari itu terdapat perlindungan hukum bagi para pihak untuk melindungi kepentingannya dan memberikan suatu kepastian hukum dalam akta PPJB.
Pembeli juga mempunyai kewajiban utama untuk membayar harga dari apa yang dibelinya itu, pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut persetujuan/perjanjian yang bersangkutan dengan aturan tambahan bahwa jika para pihak tidak menentukannya, pembayaran itu harus dilakukan di tempat pada waktu penyerahan benda itu. Perlindungan hukum dalam akta PPJB dapat dirumuskan sendiri oleh calon penjual, biasanya berupa persayaratan yang biasanya dimintakan sendiri oleh calon penjual itu sendiri.
Berbeda dengan perlindungan terhadap calon penjual, perlindungan terhadap pembeli biasanya selain dilakukan dengan persyaratan juga di ikuti dengan permintaaan pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali. Tujuannya adalah apabila pihak penjual tidak memenuhinya maka pihak pembeli dapat menuntut dan dan memintakan ganti rugi sesuai dengan kesepakatan yang diatur dalam perjanjian pengikatan jual beli. Dengan demikian, perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada semua pihak dalam PPJB. Selain perlindungan hukum akta PPJB juga berlandaskan Pasal 1338 KUHPerdata yang berasaskan kebebasan berkontrak, serta niat baik dari para pihak untuk memenuhi kesepakatan yang telah dibuat.
Manfaat PPJB Sebagai Perjanjian Pendahuluan
PPJB ini bersifat sementara, dalam hal ini yaitu pengikat sementara antara penjual dengan pembeli ketika para pihak menunggu proses AJB yang nantinya dibuat di hadapan PPAT. Adapun yang dimaksud dengan pengikat sementara ini yakni penjual bersedia mengikat kepada pembeli untuk menjual objek yang diperjanjikan, serta pembeli juga bersedia mengikatkan diri kepada penjual untuk membeli objek tertuang dalam isi muatan PPJB.
Adapun untuk mencapai AJB, objek jual beli tersebut harus melewati beberapa tahapan, misalnya pemeriksaan atau cek fisik, pemecahan sertifikat, penghapusan hak tanggungan atau roya, dan sebagainya, di mana diajukan ke Kantor Pertanahan setempat yang dimohonkan oleh PPAT. Proses tersebut memerlukan waktu yang tidak sedikit, sehingga apabila dikaitkan dengan keterbatasan waktu dari pihak pembeli, maka PPJB menjadi solusi untuk dapat segera melakukan proses peralihan hak tersebut. Dari pihak penjual dan/atau developer, maka PPJB dapat dijadikan sebagai dasar bukti keseriusan dari pembeli sehingga penjual akan memperoleh uang muka pembayaran pembelian objek jual beli. Dengan demikian, pelaksanaan PPJB merupakan salah satu upaya memperlancar adanya transaksi peralihan hak terhadap objek jual beli, baik berupa tanah ataupun berbentuk tanah dan bangunan, untuk mencapai adanya AJB, yang dijadikan sebagai dasar untuk melakukan peralihan hak dari penjual ke pembeli guna terpenuhinya perlindungan hukum dan kepastian hukum.
Jadi, Perlindungan hukum bagi para pihak dari adanya PPJB tergantung pada isi muatan dari PPJB itu sendiri, di mana dalam PPJB setidaknya harus memuat beberapa hal yang harus dituangkan supaya perlindungan hukum para pihak dapat tercapai, sehingga manfaat PPJB dapat dirasakan bagi para pihak terhadap objek transaksi PPJB karena dengan adanya PPJB dapat dijadikan sebagai tanda keseriusan atau komitmen antara para pihak supaya proses peralihan hak menuju AJB dapat berjalan lancar.
Dasar Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
Peraturan Menteri PUPR Nomor 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual
Beli Rumah
Ppjb yg di ttd hanya antara pembeli dan penjual apakah sah? Apa kelemahan nya
Terimakasih atas pertanyaan anda untuk LogikaHukum.com,
Perlu kami jelaskan terlebih dahulu bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) PPJB dibuat untuk melakukan pengikatan sementara sebelum pembuatan AJB resmi di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Secara umum, isi PPJB adalah kesepakatan penjual untuk mengikatkan diri akan menjual kepada pembeli dengan disertai pemberian tanda jadi atau uang muka berdasarkan kesepakatan. Umumnya PPJB dibuat di bawah tangan karena suatu sebab tertentu seperti pembayaran harga belum lunas.
PPJB merupakan dokumen otentik yang dibuat oleh calon penjual dan calon pembeli. Perjanjian ini menjadi pengikatan di awal sebelum calon pembeli dan calon penjual membuat Akta Jual Beli (AJB) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dalam hal ini Kedua belah pihak bisa membuat PPJB tanpa harus membuat akta, namun demikian PPJB ini tetap mengikat semua pihak. Hal tersebut dapat terjadi apabila PPJB dibuat dengan memenuhi persyaratan sah perjanjian sesuai perundangan.
Syarat sah tersebut telah diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan PPJB yang dibuat di hadapan notaris merupakan akta otentik, bisa dilihat dalam Pasal 1868 KUH Perdata.
Untuk menjawab pertanyaan anda dapat kami asumsikan bahwa PPJB yang anda punya adalah PPJB dibawah tangan, tentunya dalam hal persoalan hukum, PPJB dibawah tangan tidak memiliki kekuatan pembuktian karena bukan akta Otentik. Beberapa saran dari kami tentang PPJB dibawah tangan yaitu :
1. Perjanjian dibuat secara di bawah tangan, namun ditandatangani di hadapan Notaris. Kemudian Notaris mengesahkan tandatangan para pihak dengan menyatakan bahwa benar orang tersebut yang menandatangani perjanjian (legalisasi tandatangan). Sehingga setidaknya tandatangan orang tersebut tidak dapat disangkal, walaupun Notaris dalam hal ini tidak memiliki tanggung jawab atas bentuk dan isi perjanjian.
2. Apabila tidak dilakukan di hadapan Notaris, maka setidaknya perjanjian bawah tangan dibuat di hadapan 2 (dua) orang saksi yang mengetahui dengan pasti bentuk dan isi perjanjian tersebut, serta turut mendatangani perjanjian. Keberadaan saksi-saksi belakangan sering ditinggalkan dalam praktek pembuatan perjanjian bawah tangan, padahal sangat penting untuk aspek pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 1877 KUH Perdata.
3. Apabila perjanjian dibuat di bawah tangan, maka sebaiknya para pihak dan saksi-saksi membubuhkan tandatangan (atau setidaknya paraf) pada setiap halaman dari perjanjian tersebut, bukan hanya di akhir perjanjian.