Pertanggungjawaban Hukum dalam Kasus Keracunan Program Makan Bergizi Gratis (MBG): Suatu Tinjauan Socio-Legal
LOGIKAHUKUM.COM – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dirancang sebagai kebijakan afirmatif untuk meningkatkan gizi anak sekolah di Indonesia. Namun, dalam praktiknya, program ini justru menimbulkan risiko kesehatan masyarakat. Data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat 6.452 kasus keracunan hingga September 2025, sedangkan data resmi pemerintah menyebutkan sekitar 5.000 kasus (Tempo, 2025). Perbedaan angka ini menunjukkan adanya disparitas pencatatan, namun keduanya sama-sama menegaskan bahwa keamanan pangan dalam program MBG masih rapuh.
Kasus keracunan massal MBG bukan sekadar problem kesehatan, melainkan juga problem hukum. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: bagaimana bentuk pertanggungjawaban hukum penyedia makanan dan pemerintah dalam kasus keracunan MBG? Selain itu, bagaimana posisi anak sekolah sebagai penerima MBG dapat diposisikan sebagai konsumen menurut hukum perlindungan konsumen?
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menegaskan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia di masyarakat, tanpa membedakan apakah diperoleh melalui pembelian atau secara cuma-cuma. Dengan demikian, peserta didik tetap berstatus konsumen yang berhak atas perlindungan hukum.
Artikel ini berupaya menjawab persoalan tersebut dengan meninjau pertanggungjawaban hukum vendor dari aspek perdata, pidana, dan administratif, serta menilai kelemahan regulasi MBG dalam perspektif socio-legal.
1. Tanggung Jawab Perdata
Pertanggungjawaban perdata dalam kasus MBG dapat lahir dari dua dasar hukum :
– Wanprestasi: jika terdapat perjanjian antara penyedia katering dengan pihak sekolah atau pemerintah.
– Perbuatan Melawan Hukum (PMH): sesuai Pasal 1365 KUHPerdata, jika tidak ada kontrak formal, namun kerugian nyata terjadi.
Dalam perspektif hukum pangan, Pasal 69 UU Pangan mewajibkan pelaku usaha menjamin keamanan pangan. Ketidakpatuhan terhadap kewajiban ini dapat langsung dikaitkan dengan Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 19 UUPK. Mengacu pada teori Janus Sidabalok (2014), perbuatan melawan hukum mencakup pelanggaran terhadap hak orang lain, kewajiban hukum, kesusilaan, maupun kelalaian yang tidak patut. Dengan demikian, vendor MBG berkewajiban memberikan ganti rugi materiil dan immateriil kepada korban.
2. Tanggung Jawab Pidana
Tanggung jawab pidana berlaku ketika terdapat unsur kesengajaan atau kelalaian. KUHP Pasal 359 mengatur kelalaian yang menyebabkan kematian, sedangkan Pasal 360 KUHP mengatur kelalaian yang menyebabkan sakit atau luka berat. Penafsiran R. Soesilo (2019) menegaskan bahwa pasal tersebut berlaku ketika akibat timbul karena kurang hati-hati, bukan niat.
Dalam konteks MBG, vendor atau penanggung jawab distribusi makanan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila kelalaiannya mengakibatkan kerugian pada siswa. Hal ini dapat diperluas dengan Pasal 458 dan 459 UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru, yang mengatur sanksi terhadap pelanggaran standar keamanan pangan.
3. Tanggung Jawab Administratif
Vendor MBG wajib memenuhi standar higienitas dan izin usaha sesuai ketentuan pemerintah. Pelanggaran atas ketentuan ini dapat dikenakan sanksi administratif, mulai dari teguran, penghentian sementara, hingga pencabutan izin usaha. Sanksi administratif bersifat preventif dan lebih cepat dalam mencegah timbulnya korban baru dibanding proses litigasi.
Namun, Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 yang menjadi dasar hukum MBG hanya mengatur aspek tata kelola kelembagaan dan distribusi, tanpa merinci mekanisme kompensasi maupun sanksi khusus bagi vendor. Kekosongan hukum ini menimbulkan moral hazard karena pelaku usaha tidak memiliki insentif memadai untuk menjamin kualitas makanan.
4. Perspektif Socio-Legal
Pendekatan socio-legal menekankan bahwa keberlakuan hukum tidak hanya ditentukan oleh norma tertulis, tetapi juga sejauh mana hukum tersebut efektif diterapkan dalam masyarakat. Kasus MBG memperlihatkan:
– Kelemahan regulasi: aturan umum yang digunakan (KUHP, KUHPerdata, UU Pangan, UUPK) belum cukup spesifik.
– Kelemahan implementasi: pengawasan pangan MBG masih lemah karena keterbatasan anggaran, koordinasi antarinstansi, serta rendahnya literasi keamanan pangan di tingkat sekolah dan orang tua.
– Aspek sosial: siswa sebagai pihak yang paling rentan seringkali tidak memiliki daya tawar hukum. Oleh karena itu, penerapan strict liability (pertanggungjawaban mutlak) menjadi penting untuk melindungi mereka.
Kesimpulan
Kasus keracunan massal dalam program MBG menegaskan perlunya integrasi kebijakan sosial dan hukum. Secara normatif, pertanggungjawaban hukum vendor mencakup:
1. Perdata: ganti rugi materiil dan immateriil (Pasal 1365 KUHPerdata, Pasal 19 UUPK).
2. Pidana: sanksi pidana atas kelalaian yang menimbulkan sakit atau kematian (Pasal 359-360 KUHP, UU No. 1 Tahun 2023).
3. Administratif: pencabutan izin usaha, teguran, dan penghentian kegiatan.
Namun, kekosongan hukum dalam Perpres No. 83 Tahun 2024 membuat implementasi sanksi sering kali lemah. Oleh karena itu, diperlukan:
1. Lex specialis MBG: aturan khusus mengenai standar keamanan, kompensasi, dan sanksi.
2. Penerapan strict liability: beban pembuktian tidak dibebankan pada konsumen anak, melainkan langsung pada penyelenggara.
3. Penguatan lembaga pengawas pangan: BPOM, Kemenkes, dan Kemendikbud perlu diberi kewenangan lebih jelas.
4. Peningkatan literasi publik: siswa, guru, dan orang tua perlu dilibatkan sebagai pengawas pertama.
Dengan kombinasi regulasi yang jelas dan pengawasan yang ketat, program MBG dapat mencapai tujuannya meningkatkan gizi anak bangsa tanpa harus menimbulkan korban massal akibat lemahnya implementasi hukum.
Daftar Pustaka
1. Tempo. (2025). Kasus Keracunan Program MBG. Diakses 26 September 2025.
2. Detik.com. (2025). Keracunan Siswa Banyumas akibat MBG. Diakses 27 September 2025.
3. Sidabalok, J. (2014). Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
4. Hoeber, R.C. (1986). Contemporary Business Law, Principles and Cases. New York: McGraw Hill Book & Co.
5. Hadjar, A.F. (2008). Product & Professional Liability. http://racif.multiply.com/journal.
6. Soesilo, R. (2019). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
7. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
8. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
9. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
10. Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 tentang Program Makan Bergizi Gratis.
Penulis : Ariyanto Zalukhu, S.IKom. (Mahasiswa Hukum)
Eksplorasi konten lain dari LOGIKAHUKUM.COM
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
