Analisis Hukum Terhadap Pengaturan Pidana Mati di KUHP Baru

Share your love

Penulis : Ilham Marulloh, S.H. (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang)

LOGIKAHUKUM.COM Pengesahan terhadap RKUHP menjadi Undang-Undang merupakan akhir dari sejarah panjang pembaharuan KUHP warisan kolonial Belanda di Indonesia. RKUHP tersebut disahkan menjadi Undang-Undang pada hari Selasa, 06 Desember 2022 dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan di undangkan pada tanggal 02 Januari 2023 yang sekaligus menjadi kado tahun baru bagi bangsa Indonesia atas lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP.

Pembaharuan sistem hukum pidana di Indonesia melalui jalan yang terjal sejak dicetuskan dalam Seminar Hukum Nasional I di Semarang pada tahun 1963. Pencetusnya kala itu beranggapan bahwa KUHP yang pada saat itu digunakan di Indonesia selain sudah usang juga jauh dari ciri khas dan cita bangsa Indonesia. Anggapan tersebut didasari oleh pemikiran bahwa KUHP merupakan hasil pemikiran kolonial Belanda yang berpihak pada kolonial Belanda sehingga tentu saja aturan dibuat untuk menguntungkan pemerintahan Kolonial Belanda pada saat itu. Setidaknya untuk menggambarkan kompleksitas perjalanan pembaharuan KUHP dapat dilihat dalam kurun waktu 1963 hingga 2022 telah ada sebanyak 26 draft RUU KUHP yang disusun (BPHN, 2022).

Disahkannya KUHP baru melalui penerbitan UU Nomor 1 Tahun 2023 memberikan paradigma baru sifat hukum pidana yang sebelumnya retributif atau mengutamakan pembalasan menjadi restoratif berdasarkan pemenuhan keadilan. Hal ini linear dengan berbagai macam pembaharuan aturan dalam KUHP baru salah satunya adalah pasal mengenai Pidana Mati yang telah mengalami pergeseran paradigma.

Namun sebelum menelisik lebih lanjut mengenai pengaturan pelaksanaan pidana mati sebelum dan pasca KUHP yang baru, maka Penulis menjelaskan terlebih dahulu mengenai pandangan pro dan kontra pidana mati di Indonesia sebelum adanya KUHP baru. Sesuai dengan konstitusi, negara Indonesia adalah negara hukum yang mana sesuai dengan teori Hans Kelsen bahwa sebagai negara hukum Indonesia harus menjamin perlindungan atas Hak Asasi Manusia. Lebih lanjut dijelaskan oleh A.V. Dicey bahwa negara hukum memiliki 3 (tiga) unsur yaitu supremacy of law, equality before the law dan the constitution based on individual rights. Salah satu hak dasar yang dilindungi oleh Negara sebagai suatu hak asasi manusia yang melekat dalam diri keberadaan manusia adalah hak untuk hidup.

Masyarakat internasional telah bersepakat melalui Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang di adopsi pada tanggal 10 Desember 1948 dengan menjamin hak hidup. Indonesia mengakui hak untuk hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun/non derogable rights yang termaktub dalam Pasal 28 I ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 serta Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun pidana mati sebagai salah satu bentuk pemidanaan di Indonesia masih eksis sampai sekarang sehingga hal inilah yang kemudian menjadi pokok perdebatan.

Hukuman mati di Indonesia telah ada sejak zaman kolonialisme Belanda yang mana secara menyeluruh diberlakukan pada tahun 1848 yang dimasukkan ke dalam undang-undang secara legal formal melalui Wetboek van Strafrecht voor Indonesie (WvSI) pada tahun 1915 yang mulai berlaku 3 tahun setelahnya (Supriyadi & Eddyono, 2015).

Hukuman mati terus menjadi perdebatan setelahnya yang kemudian terpecah menjadi 2 kelompok dengan pandangan yang saling berhadapan yakni kelompok yang berpandangan abolisionis dan retensionis (Beltrán & Martín, 2012). Di Indonesia kelompok abolisionis menekankan bahwa pidana mati sudah tidak relevan dengan hukum pidana modern sehingga harus dihapuskan. Pikiran ini didasarkan pada pemikiran diharuskannya menghormati dan melindungi hak hidup sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi atas suatu apapun. Adapun kelompok retensionis beranggapan sebaliknya yakni bahwa pidana mati harus tetap dipertahankan dalam rangka melindungi masyarakat dari perbuatan yang membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lahirnya UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP memberikan jalan tengah dari kedua aliran kelompok tersebut dengan tetap mengakomodasi aturan pidana mati tetapi dikeluarkan dari pidana pokok dan dimasukkan sebagai pidana alternatif yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 KUHP. Lantas bagaimanakah kekhususan pidana mati di KUHP Baru ini? Apakah dapat menjawab problematika mengenai pidana mati yang telah ada sebelumnya? Penulis akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dalam 2 (dua) bahasan berbeda yakni dalam tataran pengaturan dan tataran praktik yang telah ada.

Pengaturan Pidana Mati di KUHP Baru

Menurut Muladi dalam usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia yang harus diperhatikan secara mendalam dan serius adalah bahwa hukum pidana mendatang hendaknya harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna peningkatan fungsinya dalam masyarakat (Muladi, 1994). Dalam menanggapi perkembangan tersebut, maka hukum pidana modern yang berparadigmakan restorasi sistem hukum melakukan pembaharuan terhadap aturan stelsel pidana mati yang telah dianggap usang.

Di Indonesia sendiri pengaturan mengenai hukuman mati terdapat di berbagai peraturan seperti KUHP baik yang lama maupun yang baru, UU Narkotika, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, hingga UU Tipikor. Namun, dengan terbitnya UU No. 1 Tahun 2023 paradigma dan pengaturan mengenai pidana mati berbeda dari KUHP sebelumnya.

Pasal 64 KUHP menyatakan bahwa pidana terdiri atas pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang. Lebih lanjut Pasal 67 KUHP menggolongkan pidana mati sebagai pidana yang bersifat khusus yang selalu diancamkan secara alternatif. Diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat. Uniknya, pidana mati ini dilakukan dengan mekanisme penangguhan dimana pidana mati dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun.

Dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan dan dapat diganti dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pasal 100 ayat (4) KUHP memberikan dua (2) syarat kumulatif dapat diberlakukannya penggantian pidana mati menjadi pidana seumur hidup yakni hanya jika : “Terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji dan; mendapat persetujuan dari Presiden RI melalui Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.

Adapun tindak pidana yang dapat diancam dengan pidana yang bersifat khusus adalah Tindak Pidana yang sangat serius atau yang luar biasa, antara lain, Tindak Pidana Narkotika, Tindak Pidana Terorisme, Tindak Pidana Korupsi, dan Tindak Pidana berat terhadap Hak Asasi Manusia. Untuk itu, pidana mati dicantumkan dalam bagian tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus.

Jika dibandingkan dengan jenis pidana yang lain, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat. Oleh karena itu, harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Prinsip pidana mati yang ada di dalam KUHP a quo bersesuaian dengan teori Utilitarian dalam aliran hukum pidana modern yang mana pidana bukanlah sekedar dijadikan alat untuk pembalasan semata terhadap pelaku tindak pidana, namun haruslah mempunyai tujuan mulia dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara (Muladi & Arief, 2010).

Praktik Pidana Mati Percobaan yang Telah Ada

Pertama kali praktik pidana mati bersyarat dilakukan di Inggris pada pertengahan abad 19 yang mana menganut paham common law system. Inggris mengatur secara legal formal pada tahun 1868 melalui probation of first offender act. Pada dasarnya sistem di Inggris juga diadopsi oleh Amerika pada tahun 1879. Dari penelitian yang dilakukan oleh Michael Tonry, kebijakan pemidanaan mati bersyarat di Amerika terjadi pada fase tough on crime (1984-1996). Pada fase ini dikenal fitur pemidanaan Life Without Possibility of Parole (LWOP) yang bermakna hukuman penjara seumur hidup tanpa kemungkinan memperoleh pembebasan bersyarat.

LWOP di Amerika Serikat menjadi alternatif dari pidana mati dimana pidana mati dapat diubah menjadi sistem LWOP (Tonry, 2015). Lebih lanjut dijelaskan oleh Barda Nawawi Arief bahwa pelaksanaan pidana mati percobaan atau bersyarat ini dilakukan dengan menunda atau menghentikan sementara penjatuhan pidana mati sembari menunggu kajian yang lebih mendalam terhadap adanya pembaharuan pengaturan sistem pidana mati. Lebih lanjut penundaan pidana mati dimaksudkan sebagai wujud peninjauan kembali atas kepatutan, kelayakan, dan kepantasan pelaksanaan pidana mati (Arief, 2002).

Penundaan pidana mati model Amerika dapat didasarkan pada putusan Mahkamah Agung, gubernur, dan ada pula yang melalui badan legislatif tergantung dari wilayah yang mengatur dalam konteks di Amerika. Berbeda dengan di Amerika, penundaan pidana mati di Cina dilaksanakan dengan cara (1) dilakukan penundaan eksekusi selama dua tahun pada saat penjatuhan pidana oleh hakim (masa percobaan 2 tahun) (2) dapat diubah menjadi penjara seumur hidup jika pada saat masa percobaan tersebut terpidana mati menunjukkan penyesalan, dapat pula mendapat keringanan berupa pidana penjara minimal 15 tahun, tetapi tidak lebih dari 20 tahun apabila selain menunjukkan penyesalan atau pertobatan, juga menunjukkan pengabdian yang berjasa namun apabila terpidana mati terbukti melakukan tindak pidana maka pidana mati dapat dilaksanakan atas persetujuan Mahkamah Agung,

Catatan Terhadap Penerapan Pidana Mati Percobaan di Indonesia

Stelsel pemidaanaan ini tergolong baru seperti bayi yang baru lahir. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya perlu kehati-hatian, kecermatan, dan mengutamakan prinsip keadilan. Sesuai Pasal 624, KUHP baru ini mulai belaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan yaknic akan berlaku efektif pada Desember 2025. Maka selama masa tersebut diperlukan pedoman pemidanaaan terhadap pidana mati percobaan ini, serta peraturan perundang-undangan yang mengatur secara teknis mengenai (1) jenis dan syarar tindak pidana yang dapat dijatuhi pemidanaan ini dan (2) syarat dan pedoman terpidana dapat dijatuhkan pidana mati percobaan.

Avatar photo
Ilham Marulloh, S.H.

Legal Consultant

Articles: 1

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *