Dinda Ayu Puspita, S.H. (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang)
LOGIKAHUKUM.COM – Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri saat melakukan konferensi pers tentang pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) keagamaan di kantor Kemnaker, Jakarta Selatan pada hari Senin (18/3) mengatakan bahwa aplikator ojek online, taksi online dan kurir logistik diimbau untuk ikut memberikan THR kepada para mitranya.
Pernyataan ini dinilai sebagai pernyataan yang tidak konsisten dan berpotensi membingungkan. Pasalnya, salah satu syarat pekerja mendapat THR adalah memiliki hubungan kerja di bawah naungan suatu perusahaan, sedangkan hubungan driver ojol, taksi online maupun kurir logistik dengan perusahaan hanya sebatas kemitraan. Sebelumnya dia mengatakan pengemudi ojek online dan logistik termasuk dalam kategori pekerja dengan waktu tertentu (PKWT) meskipun hubungan kerja dengan perusahaan aplikasi hanya sebagai mitra.
Walaupun akhirnya Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengklarifikasi terkait pemberian THR kepada driver ojek online adalah merupakan imbauan dan tidak masuk ke dalam kewajiban pembayaran THR oleh perusahaan karena ojek online kedudukannya hanya mitra kerja.
Hubungan industrial antara perusahaan aplikasi dan pengemudi ojek online di Indonesia dirumuskan secara kontraktual sebagai kemitraan. Pendefinisian pengemudi sebagai “mitra” bukan ‘pekerja” dalam kemitraan dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menghindari kewajiban memberikan hak dasar dan jaminan sosial pekerja. Berbeda dengan hubungan kerja antara buruh dan pengusaha, aktivitas kerja ojek online di Indonesia berlangsung dalam kerangka hubungan kerja yang dirumuskan secara kontraktual sebagai kemitraan.
Alih-alih merujuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjadi pokok hukum perburuhan, hubungan kemitraan justru berdasar pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Kemitraan sendiri didefinisikan sebagai kerja sama keterkaitan usaha yang berdasar pada prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan, baik secara langsung maupun tidak langsung yang dibuat dalam perjanjian kemitraan..
Perjanjian ini bertujuan untuk mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak terkait dengan layanan ojek online yang disediakan. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah tindakan di mana satu atau lebih orang berkomitmen untuk satu atau lebih orang. Menurut Sudikno Mertokusumo, suatu perjanjian ialah hubungan hukum dengan dua pihak yang melahirkan suatu hak dan kewajiban untuk satu pencapaian, yang berarti bahwa satu pihak berhak untuk kinerja, sementara pihak lain wajib supaya mematuhinya. Pihak-pihak dalam kontrak leluasa memutuskan pokok permasalahan dari kontrak, bentuk kontrak dan sistem hukum yang menjadi subyek kontrak dan mekanisme yang akan diadopsi jika ada masalah di masa depan terkait dengan kontrak.
Dalam KUHPerdata, dalam Pasal 1233 menyebutkan bahwa perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena Undang-undang. Hal ini menjelaskan bahwa perjanjian juga adalah salah satu sumber dari perikatan, di samping sumber-sumber perikatan lainnya. Kemitraan itu sendiri didasarkan pada prinsip kebebasan hukum dalam kontrak, yang merupakan prinsip yang menempati kedudukan utama didalam kontrak dan memiliki dampak besar pada ikatan kuat para pihak-pihak. (Hernoko, 2010). Berdasarkan prinsip ini, ada pandangan bahwa seseorang bebas untuk masuk ke dalam kontrak atau tidak, bebas dari siapa dia telah menandatangani perjanjian, bebas dari apa yang dijanjikan, dan bebas untuk menetapkan ketentuan-ketentuan kontrak. (Marzuki, 2003).
Kedudukan sebagai mitra kerja ojek online pada dasarnya timbul dari adanya hubungan kemitraan. Definisi dari kemitraan dapat kita temui dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (“UU 20/2008”) yang menyatakan sebagai berikut: kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar. Selain didasarkan atas prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan sebagaimana disebutkan di atas, para pihak dalam kemitraan mempunyai kedudukan hukum yang setara
Perbedaan mendasar antara hubungan kemitraan dengan hubungan kerja, yaitu hubungan kemitraan, bersifat lebih mengedepankan mutualisme di antara para pihak. Prinsipnya kemitraan lebih menekankan pada hubungan saling menguntungkan serta posisi para pihak. Hubungan kemitraan dengan mitranya umumnya diatur didalam suatu perjanjian kemitraan itu berbentuk seperti perjanjian elektronik.
Kontrak kerjasama tersebut tiada memberikan ikatan ketenagakerjaan, karyawan kontrak, maupun penyalur di berbagai pihak yang harus disetujui Bersama oleh pihak-pihak dan jika terdapat sesuatu hal modifikasi dalam perjanjian wajib atas adanya kesepakatan oleh para pihak. Apabila sepihak merubah isi dari perjanjian kemitraan, maka seharusnya adanya persetujuan dari pihak yang lain nya. Hal tersebut tentu saja berbeda dengan status karyawan PKWT dan PKWTT.
Berdasarkan jenisnya, perjanjian kerja dikelompokkan ke dalam 2 rangkap yakni:
- Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) KEP100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, PKWT merupakan perjanjian kerja antara pemilik usaha dengan tenaga kerja dalam melangsungkan hubungan kerja pada periode yang spesifik maupun untuk tanggung jawab tertentu.
- Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Menurut Pasal 1 ayat (2) KEP100/MEN/VI/2004, PKWTT merupakan perjanjian kerja antara pemilik usaha dengan buruh/pekerja dalam menjalin hubungan kerja yang memiliki sifat permanen. Berdasarkan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, PKWT didasarkan atas adanya jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Berdasarkan hubungan kerja tersebut itulah muncul kewajiban Perusahaan untuk memberikan THR Keagamaan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus atau lebih.
Permen Ketenagakerjaan nomor 6 tahun 2016 tentang THR menyebutkan yang dimaksud dengan THR adalah pendapatan non-upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan. Yang dimaksud dengan pendapatan non-upah adalah penerimaan pekerja/buruh dari pengusaha dalam bentuk uang untuk pemenuhan keagamaan, memotivasi peningkatan produktivitas, atau peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Kemudian dijelaskan pula pada Pasal 2 ayat 2 Permen Ketenagakerjaan nomor 6 tahun 2016 tentang THR peruntukan THR diberikan kepada Pekerja/Buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan Pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.
Saat ini, aturan THR mengacu pada Permen Ketenagakerjaan nomor 6 tahun 2016 tentang THR dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, dimana dalam bentuk undang-undang seperti UU Ketenagakerjaan maupun Perppu Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi undang-undang pada 21 Maret 2023 tidak mengatur secara spesifik mengenai THR karyawan. Kemudian secara lebih rinci ketentuan mengenai THR Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor M/03/HK.04/2024 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2024. Surat Edaran tersebut mengatur THR keagamaan diberikan kepada :
- Pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja satu bulan secara terus menerus atau lebih.
- Pekerja/buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan Perusahaan aplikator tidak berkewajiban membayar THR kepada para ojek online. Hal ini dikarenakan hubungan kerja antara penyedia aplikasi dan pengemudi ojol tergolong sebagai mitra dan bukan pekerja/buruh. Namun pemberian THR kepada ojol tetap saja dimungkinkan, meskipun tidak diwajibkan.
Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) mengimbau kepada perusahaan aplikasi ojek online untuk memberikan THR kepada para mitranya (ojek online) sebagai bentuk kepedulian dan penghargaan atas jasa mereka, terutama menjelang Hari Raya Lebaran yang merupakan hari besar umat Islam. Bentuk penghargaan tersebut dapat berupa THR, insentif, bonus, atau program lainnya.
Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan hak pekerja/buruh yang penting dan memiliki makna yang besar bagi mereka. THR dapat membantu pekerja/buruh untuk memenuhi kebutuhan mereka selama Hari Raya Keagamaan dan meningkatkan kesejahteraan. Lalu apakah nanti nya ojek online berhak akan THR ? seperti dikutip dari artikel detikfinance, Pemerintah akan membahas aturan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) pengemudi ojek online secara rinci setelah peringatan Hari Buruh 1 Mei 2024 (https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-7278355/bakal-ada-regulasi-baru-atur-thr-ojol-ini-bocoran-kemnaker).
Hal ini diungkap langsung oleh Wakil Menteri Ketenagakerjaan Afriansyah Noor. Menurut Afriansyah, pembuatan regulasi ini merupakan arahan dari Komisi IX DPR RI. Dalam pembahasan itu, Kemnaker akan mempertemukan perwakilan pengemudi ojek oline dengan perusahaan aplikator. Dengan upaya bersama dari pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh, semoga sistem THR di Indonesia dapat diperbaiki dan menjadi lebih adil dan sejahtera.