Antara Emosi Publik dan Prinsip Konstitusi: Menakar Wacana Pembubaran DPR
LOGIKAHUKUM.COM – Meningkatnya ketidakpuasan masyarakat terhadap DPR akibat gaya hidup elitis dan kebijakan yang dinilai tidak pro-rakyat telah melahirkan tuntutan pembubaran DPR. Aksi massa 25 Agustus 2025 menjadi puncak ekspresi politik rakyat yang merasa dikhianati. Namun, seruan ini menimbulkan persoalan hukum tata negara: apakah DPR dapat dibubarkan secara konstitusional?
Wacana pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencuat pada 25 Agustus 2025 setelah gelombang demonstrasi besar-besaran di Jakarta yang dipicu oleh informasi tunjangan perumahan anggota DPR sebesar Rp 50 juta per bulan. Publik menilai angka tersebut tidak wajar di tengah kesulitan ekonomi rakyat. Akumulasi ketidakpuasan terhadap kinerja DPR yang dinilai tidak pro-rakyat memperkuat seruan agar DPR dibubarkan.
Pernyataan Ahmad Sahroni, salah satu anggota DPR, yang menyebut seruan pembubaran sebagai “mental tolol”, justru memperkeruh suasana dan semakin memicu perdebatan publik. Di sisi lain, para pakar hukum tata negara menegaskan bahwa pembubaran DPR tidak memiliki dasar konstitusional.
Artikel ini hendak menganalisis secara komprehensif wacana tersebut dalam tiga perspektif: filosofis, sosiologis, dan yuridis, dengan merujuk pada dasar konstitusi dan sejarah ketatanegaraan Indonesia.
Pandangan Pakar Hukum Tata Negara
1. Prof. Dr. Mahfud MD : Menegaskan DPR adalah instrumen konstitusi dalam sistem presidensial. Pasal 7C UUD 1945 secara tegas melarang Presiden membubarkan DPR. Seruan pembubaran lebih tepat dijawab dengan reformasi internal, bukan pembubaran.
2. Haidar Adam (UNAIR) : Menilai seruan tersebut lahir dari frustrasi rakyat, tetapi pembubaran DPR akan merusak prinsip checks and balances. Tanpa DPR, sistem presidensial kehilangan fungsi legislasi dan pengawasan.
3. Herdiansyah Hamzah (Universitas Mulawarman) : Menyatakan pembubaran DPR hanya mungkin melalui amandemen UUD 1945, bukan melalui dekrit Presiden atau tekanan massa.
Secara Filosofis, DPR merupakan perwujudan dari prinsip demokrasi perwakilan, di mana rakyat menyalurkan kedaulatannya melalui lembaga legislatif. DPR seharusnya menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan dengan orientasi kepentingan rakyat (bonum commune). DPR adalah pengejawantahan prinsip kedaulatan rakyat (popular sovereignty) dalam demokrasi perwakilan. DPR seharusnya menjadi ruang artikulasi kepentingan rakyat. Namun, ketika terjadi deviasi fungsi, muncul gap antara fungsi ideal DPR dengan realitas politik DPR yang elitis dan pragmatis.
Seruan pembubaran DPR muncul karena adanya kesenjangan antara harapan rakyat atas fungsi DPR dengan realitas perilaku DPR yang dianggap koruptif, elitis, dan jauh dari rakyat. Ketika kesenjangan ini melebar, muncul frustrasi kolektif yang kemudian diekspresikan dalam bentuk seruan ekstrem.
Meski demikian, menghapus lembaga legislatif berarti menghapus salah satu instrumen demokrasi. Jalan filosofis yang benar adalah reformasi kelembagaan agar DPR kembali berfungsi sesuai cita-cita demokrasi, bukan pembubaran. Dalam perspektif filsafat negara demokratis juga bahwa menghapus DPR bukanlah jalan keluar dalam instrumen demokrasi, melainkan memperbaiki mekanisme agar DPR kembali pada rel konstitusionalnya.
Secara Sosiologis, munculnya tuntutan pembubaran DPR adalah bentuk public distrust (krisis kepercayaan masyarakat) terhadap wakil rakyat. Fenomena ini memperlihatkan adanya jurang sosial antara elite politik dan rakyat. Dari perspektif teori konflik, aksi massa mencerminkan pertarungan antara kepentingan rakyat yang merasa dirugikan dan elite politik yang menikmati Privilege. Namun, jika DPR dibubarkan tanpa mekanisme pengganti, potensi kekacauan sosial dan politik justru semakin besar. Oleh karena itu, solusi sosiologis adalah melakukan reformasi kelembagaan, seperti:
a. Transparansi keuangan DPR
b. Mekanisme recall anggota DPR yang tidak bekerja sesuai janji politik
c. Peningkatan partisipasi publik dalam proses legislasi.
Secara Yuridis, gagasan pembubaran DPR bertentangan dengan UUD 1945. Beberapa dasar normatifnya adalah:
- Pasal 7C UUD 1945: Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
- Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: Kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD, bukan melalui aksi massa.
- Pasal 20 ayat (1) UUD 1945: DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
- Pasal 22E UUD 1945: Anggota DPR hanya dapat diganti melalui pemilu, bukan pembubaran sepihak.
Prosedur Pembubaran DPR Menurut Konstitusi
Secara normatif, DPR tidak bisa dibubarkan kecuali melalui perubahan UUD 1945. Mekanisme amandemen diatur dalam Pasal 37 UUD 1945, yaitu:
1. Usul perubahan diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari anggota MPR.
2. Sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
3. Putusan untuk mengubah pasal UUD disetujui oleh sekurang-kurangnya 50% + 1 dari seluruh anggota MPR.
4. Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 melarang perubahan terhadap bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tetapi tidak melarang perubahan mengenai keberadaan DPR.
Dengan demikian, prosedur yang sah untuk membubarkan DPR hanya bisa dilakukan melalui amandemen Pasal 7C, Pasal 20, Pasal 22E UUD 1945. Tanpa amandemen, setiap upaya pembubaran DPR adalah inkonstitusional.
Kesimpulan
Sejarah menunjukkan, pembubaran DPR pernah dilakukan Presiden Soekarno (1960) dan upaya Gus Dur (2001), tetapi keduanya menunjukkan ketidakstabilan politik. UUD hasil amandemen kini sudah memberikan jaminan lebih kuat agar peristiwa serupa tidak terulang. Secara hukum positif (positivistik), seruan pembubaran DPR tidak memiliki dasar yuridis, bahkan berpotensi menabrak prinsip negara hukum (rechtstaat). Seruan pembubaran DPR mencerminkan akumulasi frustrasi publik terhadap kinerja DPR, terutama terkait fasilitas mewah dan lemahnya keberpihakan pada rakyat. Namun, secara filosofis, DPR adalah representasi kedaulatan rakyat yang tidak dapat dikesampingkan; secara sosiologis, solusi yang lebih tepat adalah reformasi kelembagaan, bukan pembubaran; dan secara yuridis, UUD 1945 secara eksplisit melarang pembubaran DPR oleh Presiden atau lembaga manapun. Dengan demikian, gagasan pembubaran DPR lebih merupakan ekspresi emosional politik ketimbang solusi konstitusional. Jalan yang benar sesuai das sollen adalah memperbaiki sistem melalui mekanisme demokrasi, pemilu, dan penguatan kontrol publik.
Eksplorasi konten lain dari LOGIKAHUKUM.COM
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
