LOGIKAHUKUM.COM – Setiap aturan hukum yang dirumuskan oleh pembuat undang-undang di derivasi dari asas-asas hukum sebagai latar belakangnya, sehingga tujuan ideal dibentuknya aturan hukum tersebut dapat dijelaskan mengacu kepada asas hukum yang melatarbelakanginya tersebut. Salah satu asas hukum yang dianut dalam hukum perjanjian adalah “asas kebebasan berkontrak”, yang berarti setiap orang bebas untuk mengadakan suatu perjanjian yang memuat syarat-syarat perjanjian macam apapun, sepanjang perjanjian itu dibuat secara sah dan beritikad baik, serta tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.[1] Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak dan hak asasi manusia.
Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas penting dalam hukum perjanjian. Pada abad kesembilan belas, kebebasan berkontrak sangat diagungkan dan mendominasi. Keberadaan asas kebebasan berkontrak tidak dapat dilepaskan dari pengaruh aliran filsafat ekonomi liberal. Di mana dalam bidang ekonomi berkembang aliran Laissez Faire, yang dipelopori oleh Adam Smith yang menekankan kepada prinsip non intervensi pemerintah dalam kegiatan ekonomi dan bekerjanya pasar.[2] Di bidang hukum perjanjian, pengaruh aliran Laissez Faire di wujudkan dalam bentuk pembatasan campur tangan pemerintah terhadap kontrak-kontrak privat yang mengatur hubungan di antara subyek hukum, baik individu maupun badan hukum. Sepanjang kontrak-kontrak privat tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan.
Dalam KUHPerdata maupun dalam peraturan perundangan lainnya, tidak ada satu pasalpun yang menyatakan dengan tegas berlakunya asas kebebasan berkontrak. Mengenai keberadaan asas kebebasan berkontrak tersebut dapat disimpulkan dari beberapa pasal KUHPerdata, yaitu Pasal 1329 KUHPerdata yang menentukan bahwa “setiap orang cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika ia ditentukan tidak cakap oleh undang-undang.” Dari ketentuan Pasal 1332 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa “asalkan menyangkut barangbarang yang bernilai ekonomis, maka setiap orang bebas untuk memperjanjikanya.” Dari Pasal 1320 ayat (4) Jo. Pasal 1337 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa “asalkan bukan mengenai kausa yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum, maka setiap orang bebas untuk memperjanjikannya.”[3] Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.” Sehingga dapat ditafsirkan bahwa setiap orang dapat membuat perjanjian dengan isi apapun, ada kebebasan setiap subyek hukum untuk membuat perjanjian dengan siapapun yang dikehendaki, dengan isi dan bentuk yang dikehendaki.
Dengan asas kebebasan berkontrak orang dapat menciptakan jenis kontrak baru yang sebelumnya tidak dikenal di dalam perjanjian bernama (nominat) dan isinya menyimpang dari kontrak bernama (nominat) yang diatur oleh undang-undang yaitu Buku III KUHPerdata. Kontrak tersebut dikenal sebagai kontrak tidak bernama (Innominat).[4] Peluang untuk munculnya kontrak-kontak baru juga tidak terlepas dalam kaitannya dengan sistem terbuka yang dianut dalam Buku III KUHPerdata sebagai hukum pelengkap yang boleh dikesampingkan oleh para pihak yang membuat kontrak. Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut :
- Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
- Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa akan membuat perjanjian;
- Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang dibuatnya;
- Kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian;
- Kebebasan untuk syarat-syarat suatu perjanjian, termasuk kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).
Pada prakteknya, asas kebebasan berkontrak ini umumnya dipergunakan sebagai dasar dalam pemanfaatan kontrak baku yang mengatur transaksi konsumen dengan pelaku usaha. Dengan alasan kepraktisan dan mampu menghemat biaya serta waktu, kontrak baku baku ini dipergunakan secara luas pada hampir semua kegiatan bisnis diantaranya kontrak (polis) asuransi, kontrak di bidang perbankan, kontrak sewa guna usaha, kontrak jual beli rumah/apartemen dari perusahaan (real estate), kontrak sewa menyewa gedung perkantoran, kontrak pembuatan kartu kredit, kontrak pengiriman barang (darat, laut dan udara, dan sebagainya.[5] Apabila merujuk kepada Pasal 1320 KUHPerdata, sebenarnya terdapat beberapa persyaratan yang membatasi penerapan asas kebebasan berkontrak sesuai dengan persyaratan sahnya perjanjian :
- Adanya kata sepakat para pihak;
- Kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian;
- Adanya obyek tertentu;
- Adanya kausa yang tidak bertentangan dengan dengan hukum.
Mengacu kepada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut, dapat diasumsikan adanya penyimpangan penerapan asas kebebasan berkontrak dalam kontrak baku kegiatan bisnis, karena kesepakatan bisnis yang terjadi bukan karena proses negosiasi yang seimbang di antara para pihak, tetapi perjanjian itu terjadi dengan cara pihak yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku (klausula baku) pada suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak dan disodorkan kepada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak yang lain untuk melakukan negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan.
Pihak yang lemah (biasanya dalam hal ini konsumen) hanya diperkenankan untuk membaca syarat-syarat yang diajukan pihak yang kedudukannya kuat, dan apabila ia menyetujui persyaratan tersebut maka konsumen dipersilahkan untuk menandatanganinya (take it), namun sebaliknya apabila konsumen tidak menyetujui persyaratan yang diajukan pelaku usaha, maka transaksi tidak dapat dilanjutkan (leave it). Itulah sebabnya perjanjian baku ini kemudian dikenal dengan penyebutan “take it or leave it contract.”[6] Adanya unsur pilihan ini oleh sementara pihak dikatakan, perjanjian baku tidaklah melanggar asas kebebasan berkontrak (Pasal 1320 Jo. Pasal 1338 KUHPerdata) dengan masih diberikannya hak kepada konsumen untuk menyetujui (take it) atau menolak perjanjian yang diajukan kepadanya (leave it).
Apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang, maka pihak yang lemah biasanya tidak dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal yang demikian pihak yang memiliki posisi lebih kuat biasanya mempergunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausula-klausula tertentu dalam kontrak baku, sehingga isi perjanjian hanya mengakomodir kepentingan pihak yang kedudukannya lebih kuat. Sehingga dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat klausul-klausul yang menguntungkan baginya atau meringankan atau menghapus beban-beban atau kewajiban tertentu yang seharusnya menjadi bebannya, yang biasa dikenal dengan “klausula eksonerasi.
Oleh karena itu, apabila terdapat posisi yang tidak seimbang di antara para pihak, maka hal ini harus ditolak karena akan berpengaruh terhadap substansi maupun maksud dan tujuan dibuatnya kontrak tersebut. Interpretasi terhadap terhadap istilah keseimbangan terhadap kandungan substansi aturan tersebut adalah :
- Lebih mengarah kepada keseimbangan posisi para pihak artinya dalam hubungan kontraktual tersebut posisi para pihak diberi muatan keseimbangan;
- Kesamaan pembagian hak dan kewajiban dalam hubungan kontraktual, seolah-olah tanpa memperhatikan proses yang berlangsung dalam penentuan hasil pembagian tersebut;
- Keseimbangan seolah sekedar merupakan hasil akhir sebuah proses;
- Intervensi Negara merupakan instrument pemaksa dan mengikat agar terwujud keseimbangan posisi para pihak;
- Pada dasarnya keseimbangan posisi para pihak hanya dapat dicapai pada syarat dan kondisi yang sama (ceteris paribus).
Penerapan klausul-klausul tertentu yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat yang mengakibatkan kerugian bagi pihak yang lemah, biasanya dikenal dengan “penyalahgunaan keadaan.”[7] Penyalahgunaan keadaan terjadi apabila orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berpikir panjang, keadaan jiwa yang abnormal atau tidak berpengalaman tergerak melakukan suatu perbuatan hukum, meskipun ia tahu atau seharusnya mengerti bahwa sebenarnya ia harus mencegahnya.[8] Misalnya nasabah debitur pada lembaga perbankan tidak memiliki kehendak bebas dalam menerima atau menolak formulir perjanjian kredit yang diajukan bank, karena terdesak kebutuhan dana yang harus segera dipenuhinya terpaksa menyetujui syarat-syarat yang ditentukan secara sepihak oleh bank, walaupun syarat-syarat tersebut berpotensi merugikan nasabah debitur. Berkenaaan dengan hal tersebut, pakar hukum Indonesia, Mariam Darus Badrul Zaman menyimpulkan : “perjanjian baku itu bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, terlebih lebih lagi ditinjau dari asas-asas hukum nasional, dimana pada akhirnya kepentingaan masyaarakatlah yang didahulukan. Dalam perjanjian baku, kedudukan pelaku usaha dengan konsumen tidak seimbang. Posisi yang didominasi oleh pelaku usaha, membuka peluang luas bagi dirinya untuk menyalahgunakan kedudukannya. Pelaku usaha hanya mengatur hak-haknya dan tidak kewajibannya. Perjanjian baku ini tidak boleh dibiarkan tumbuh secara liar dan karena itu perlu ditertibkan.[9]
Jadi, melalui penerobosan hukum perjanjian oleh pemerintah terjadi pergeseran hukum perjanjian ke bidang Hukum Publik. Melalui campur tangan pemerintah ini terjadi pemasyarakatan (vermaatschappelijking) Hukum Perjanjian Pasal 1338 ayat (1) BW, menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kata “semua” dalam Pasal tersebut mengindikasikan bahwa orang dapat membuat perjanjian apa saja, tidak terbatas pada jenis perjanjian yang diatur dalam BW, dan perjanjian tersebut akan mengikat para pihak yang membuatnya. Pasal 1338 BW itu sendiri juga menggunakan kalimat “yang dibuat secara sah”, hal ini berarti bahwa apa yang disepakati antara para pihak, berlaku sebagai undang-undang selama apa yang disepakati itu adalah sah. Artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan, namun dalam hal suatu kontrak ternyata bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan, kontrak tersebut batal demi hukum. Kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas. Negara telah melakukan sejumlah pembatasan kebebasan berkontrak melalui peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Dasar Hukum :
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Daftar Pustaka :
[1] Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah, (Jakarta, Kencana, 2004), hal. 187.
[2] Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta, Fakultas Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. 234.
[3] Irdanuraprida Idria, “Ketidakadilan Dalam Kebebasan Berkontrak dan Kewenangan Nagara Untuk Membatasinya”, Lex Jurnalica, Vol. 4, No. 2, April 2007, hal. 81.
[4] J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Pada Umumnya, (Bandung, Alumni, 1993), hal. 36.
[5] Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku Kedua (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 77.
[6] Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta, Grasindo, 2000), hal. 120.
[7] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 41.
[8] Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan, (Bandung, Mandar Maju, 1994), hal. 61
[9] Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung, Alumni, 1994), hal. 54.