LOGIKAHUKUM.COM – Salah satu bentuk kejahatan yang seringkali terjadi di masyarakat yakni tindak pidana kekerasan seperti penganiayaan. Penganiayaan merupakan kesengajaan yang menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain.[1] Tindak pidana penganiayaan diatur dalam Pasal 351 sampai Pasal 358 KUHP. Penganiayaan juga memiliki kategori, salah satunya yaitu penganiayaan ringan atau penganiayaan yang menyebabkan luka ringan yang diatur dalam Pasal 352 ayat (1) dan (2) KUHP.
Tindak pidana penganiayaan khususnya penganiayaan ringan memang sulit untuk dibuktikan karena akibat dari penganiayaan yang dilakukan berbeda dengan penganiayaan lain seperti halnya dengan penganiayaan yang mengakibatkan luka berat, yang dapat terhalangnya suatu pekerjaan. Luka berat biasanya sangat terlihat dengan jelas serta perubahan terhadap luka memakan waktu yang cukup lama. Berbeda halnya dengan penganiayaan ringan, biasanya tidak mengakibatkan luka, hanya ada perubahan kulit serta perubahan kulit tersebut dapat kembali seperti semula dengan cepat. Hal tersebut tentunya menjadi suatu tantangan bagi penyidik untuk membuktikan kebenaran yang terjadi demi mencapai tujuan dari pada hukum acara pidana untuk mencari kebenaran materil selengkap-lengkapnya.
Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses penyidikan bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dimana bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya,[2] Pada proses penyidikan perkara pidana yang menyangkut dengan tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia memerlukan bantuan seorang ahli dokter.
Bantuan seorang dokter dengan ilmu kedokteran yang dimilikinya sebagaimana tertuang dalam Visum et repertum yang dibuatnya mutlak diperlukan. Visum et repertum merupakan laporan tertulis untuk kepentingan peradilan atas permintaan penegak hukum yang berwenang sebagai alat bukti surat. Visum et repertum dibuat oleh dokter sesuai apa yang dilihat dan ditemukannya pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah kedokteran, serta berdasarkan pengetahuannya.[3]
Secara umum yang dimaksud dengan visum et repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan.[4] Yang memiliki kewenangan meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf (h) dan Pasal 11 KUHAP. Penyidik yang dimaksud di sini adalah penyidik sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf (a), yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Penyidik ini adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia.
Dalam proses peradilan pidana, pembuktian merupakan hal yang sangat penting karena dari hal inilah tergantung apakah seseorang yang diduga melakukan tindak pidana akan dinyatakan bersalah atau dibebaskan. Untuk kepentingan pembuktian tersebut, maka kehadiran dan kelengkapan alat bukti yang berkaitan dalam perkara tersebut sangat diperlukan. Salah satu Alat bukti yang diajukan dipersidangan yaitu seperti visum et repertum sebagai laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan sumpah atas permintaan dari penegak hukum untuk kepentingan peradilan tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan pada tubuh korban menurut pengetahuan atau ilmu yang dimilikinya.[5]
Bagi penyidik alat bukti dalam tindak pidana penganiayaan termasuk dalam hal ini bukti visum et repertum berperan dalam dalam mengungkap pelaku tindak pidana tersebut, serta mengungkap kejadian sebenarnya dari kasus tersebut. Bagi penuntut umum, alat bukti dalam tindak pidana penganiayaan digunakan sebagai dasar untuk melakukan penuntutan terhadap tersangka pelaku tindak pidana penganiayaan. Sedangkan bagi hakim, alat bukti tersebut akan menjadi dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan bagi terdakwa apabila terbukti bersalah.[6] Visum et repertum termasuk dalam salah satu alat bukti yang sah, namun visum et repertum bukan alat bukti satu satunya dalam kasus tindak pidana penganiayaan, jika visum et repertum tidak ada maka seharusnya pihak Kepolisian menggunakan alat bukti lain yang sudah diatur dalam pasal 184 ayat 1 KUHAP, sehingga korban penganiayaan, khususnya penganiayaan ringan yang seringkali tidak memiliki bekas luka akibat dari tindak pidana penganiayan dapat memperoleh keadilan jika visum et repertum tidak dapat diperoleh oleh korban.
Dalam proses memperoleh visum et repertum segala prosedur yang telah ditentukan harus terpenuhi mulai dari permintaan visum et repertum hingga penyidik menerima hasil visum et repertum yang dibuat oleh dokter. Apabila dalam pemeriksaan korban penganiayaan yang dilakukan oleh dokter tidak menemukan tanda tanda kekerasan, maka alat bukti visum tersebut tidak akan menjadi alat bukti yang kuat. Penyidik akan kekurangan alat bukti karena visum et repertum merupakan alat bukti yang harus ada dalam kasus tindak pidana penganiayaan serta tindak pidana lain yang menyangkut dengan tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia.
Jadi, Visum et repertum dalam tindak pidana penganiayaan ringan bagi penyidik sebagai alat bukti permulaan yang mempunyai peranan penting dalam mengungkap pelaku suatu tindak pidana dan mengungkap kejadian sebenarnya dari kasus tersebut. Bagi Jaksa Penuntut Umum visum et repertum digunakan sebagai dasar untuk melakukan penuntutan. Sedangkan bagi Hakim visum et repertum akan menjadi dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan.
Visum et repertum juga dapat berfungsi untuk memberikan petunjuk dalam hal alat-alat atau benda-benda yang digunakan untuk menganiaya korban serta dalam hal membenarkan atau tidak keterangan terdakwa dan saksi yang diberikan dihadapan persidangan. Visum et repertum berperan untuk mengetahui keterlibatan terdakwa dalam perkara tindak pidana penganiayaan ringan yang terjadi, untuk memberikan keterangan (gambaran) tentang penemuan luka-luka yang terdapat pada tubuh korban, baik luka luar maupun luka dalam dan untuk menerangkan keadaan korban yang timbul akibat penganiayaan tesebut.
Dasar Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Daftar Pustaka
[1] Lamintang dan Theo Lamintang. Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh & Kesehatan, Edisi kedua. Jakarta : Sinar Grafika, 2012, hal. 132.
[2] Kardi Husin dan Budi Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, Cetakan Pertama, 2016, hal. 95.
[3] Soeparmono. Keterangan Ahli & Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana. Bandung: CV. Mandar Maju, 2016, hal. 75.
[4] Dedi Afandi, Visum et Repertum Tata Laksana dan Teknik Pembuatan, Riau : Fakultas Kedokteran Universitas Riau, Edisi Kedua, 2017, hal. 1.
[5] Soeparmono. Keterangan Ahli & Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana. Bandung: CV. Mandar Maju, 2016, hal. 75.
[6] Kadri Husin & Budi Rizki Husin, Sistem Peradilan di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2016. hal. 92.