Pemutusan Hubungan Kerja Menurut UU Cipta Kerja

Share your love

LOGIKAHUKUM.COM Kententuan dalam UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah mengubah sejumlah ketentuan yang diatur dalam berbagai Undang-Undang, termasuk UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemerintah mengklaim tujuan terbitnya Undang-Undang tersebut adalah untuk memberikan kemudahan berusaha dan berinvestasi. Seperti diketahui, terbitnya UU No.11 Tahun 2020 diapresiasi para Pengusaha, tetapi sebaliknya ditolak kalangan masyarakat sipil terutama Para Serikat Buruh.

Apabila mencermati Undang-Undang Cipta Kerja tersebut, maka salah satu kemudahan yang diberikan dalam bidang ketenagakerjaan yakni mempermudah mekanisme PHK oleh Pemberi Kerja. UU No.11 Tahun 2020 dan PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK), mengatur pengusaha bisa langsung melakukan PHK dengan cara melayangkan surat pemberitahuan PHK kepada buruh 14 hari kerja sebelum PHK.

Buruh yang mendapatkan surat pemberitahuan itu dan tidak menolak PHK, maka pengusaha harus melaporkan PHK itu kepada Dinas Ketenagakerjaan. Kesepakatan itu perlu dituangkan dalam Perjanjian Bersama yang didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial. “Bukti PHK itu menjadi salah satu syarat bagi pekerja/buruh untuk mendapatkan manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP),”

Bagi buruh yang menolak PHK tersebut, harus membuat surat penolakan disertai alasan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya surat pemberitahuan. Penyelesaian PHK itu dilakukan melalui perundingan secara bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh. Jika perundingan bipartit itu tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian dilakukan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Dalam ketentuan sebelumnya sebagaimana diatur UU No.13 Tahun 2003, menyebut PHK tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dinyatakan batal demi hukum. Sebelum melakukan PHK, pengusaha harus melakukan perundingan bipartit terlebih dulu dengan pekerja/buruh.

Apabila memperhatikan urutan PHK sebagaimana diatur UU No.11 tahun 2020 dan PP No.35 Tahun 2021, maka dapat ditemukan 4 prinsip Pemutusan Hubungan Kerja yaitu : Pertama, pengusaha bisa melakukan PHK sepihak, termasuk PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan pelanggaran yang sifatnya mendesak. Kedua, PHK tidak perlu penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Ketiga, PHK dilakukan bukan setelah bipartit. Keempat, bipartit dilakukan jika pekerja/buruh menolak PHK. Pengusaha dalam melakukan PHK perlu mencermati alasan yang digunakan tentang waktu, cara, dan kompensasi PHK. Alasan PHK yang melanggar ketentuan Pasal 153 UU Ketenagakerjaan sebagaimana diubah UU No.11 tahun 2020 dinyatakan batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. Alasan PHK yang dilarang antara lain menikah; hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan.

Avatar photo
Yustinus Hura, S.H.

Founder & CEO LogikaHukum.com
Advocate & Legal Consultant

Articles: 63

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *