Kepastian Hukum dan Kebebasan Berpendapat Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Terkait Pasal 14 dan 15

Share your love

Penulis : Yustinus Hura, S.H. (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang)

LOGIKAHUKUM.COM Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 78/PUU-XXI/2023 tentang gugatan pasal pencemaran nama baik dan berita bohong itu yang diajukan oleh Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti memberikan kepastian hukum dan sejalan dengan hak kebebasan berpendapat sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Aturan mengenai larangan menyiarkan berita bohong sehingga menimbulkan keonaran sebagaimana tertuang dalam Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Dalam Putusannya, Hakim MK Dr. Suhartoyo, S.H., M.H., menyatakan bahwa Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Secara hukum bahwa pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP bertetangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dalam 2 hal yaitu :

1. Menimbulkan ketidakpastian hukum

Apabila memperhatikan dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Arsul Sani, Mahkamah berpendapat unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dan “kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan” yang termuat dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP dapat menjadi pemicu terhadap sifat norma pasal-pasal a quo menjadi “pasal karet” yang dapat menciptakan ketidakpastian hukum.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud “pasal karet” adalah pasal dalam undang-undang yang tidak jelas tolok ukurnya. Terlebih, dalam perkembangan teknologi informasi saat ini, masyarakat makin mudah dalam mengakses jaringan teknologi informasi, masyarakat dapat memperoleh informasi dengan mudah dan cepat.

Namun informasi itu belum diketahui kebenarannya. “Sehingga berita dimaksud tersebar dengan cepat kepada masyarakat luas yang hal demikian dapat berakibat dikenakannya sanksi pidana kepada pelaku dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tersebut,”

Ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 apabila dicermati dengan seksama, maka terdapat ketidakjelasan terkait ukuran yang menjadi batas bahayanya berita bohong. Artinya, apakah keonaran tersebut juga dapat diartikan sebagai kerusuhan yang membahayakan negara. Berdasarkan pemaknaan dari kata “onar atau keonaran” dalam KBBI dimaksud, makna kata “keonaran” adalah bersifat tidak tunggal.

Oleh karena itu, penggunaan kata keonaran dalam ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP berpotensi menimbulkan multitafsir, karena antara kegemparan, kerusuhan, dan keributan memiliki gradasi yang berbeda-beda, demikian pula akibat yang ditimbulkan. “Dengan demikian, terciptanya ruang ketidakpastian karena multitafsir tersebut akan berdampak pada tidak jelasnya unsur-unsur yang menjadi parameter atau ukuran dapat atau tidaknya pelaku dijerat dengan tindak pidana.

2. Tak Sejalan dengan Hak Kebebasan Berpendapat

Pasal 14 dan 15 KUHP apabila dikaitkan dengan hak kebebasan untuk berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945, meski bertujuan memberikan kritik kepada penguasa sekalipun, hak-hak tersebut akan terancam aktualisasinya. Sebab, yang terjadi seringkali justru penilaian yang bersifat subjektif dan berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan. Terlebih, dengan tidak adanya ketidakjelasan makna “keonaran” sebagaimana dimaksud pada pasal tersebut.

Dengan demikian, masyarakat yang dianggap menyebarkan berita bohong tidak lagi diperiksa berdasarkan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada, sehingga bisa menyandera hak publik untuk mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah dengan cara mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945, yaitu hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.

Unsur “onar atau keonaran” yang termuat dalam Pasal 14 KUHP sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman dan teknologi informasi saat ini. Saat ini, masyarakat sudah memiliki akses yang luas dan mudah terhadap informasi melalui berbagai media, khususnya media sosial. Sehingga dinamika yang terjadi dalam mengeluarkan pendapat dan kritik merupakan bagian dari dinamika demokrasi. Mahkamah menilai, hak berpendapat itu seharusnya bukan serta merta dianggap sebagai unsur yang menjadi penyebab keonaran dan dapat dikenakan tindakan oleh aparat penegak hukum.

“Dengan kata lain, jika ada seseorang yang menyiarkan berita atau pemberitahuan kepada masyarakat melalui media apapun meskipun berita atau pemberitahuan tersebut masih diragukan kebenarannya, kemudian berita atau pemberitahuan tersebut menimbulkan diskursus di ruang publik, maka seharusnya diskusi tersebut tidaklah serta merta merupakan bentuk keonaran di masyarakat yang langsung dapat diancam dengan hukuman pidana.

Selanjutnya, “kabar yang berkelebihan” merupakan pengulangan penerapan unsur “pemberitahuan bohong” yang esensinya sebenarnya sama. Hal tersebut mengakibatkan adanya tumpang tindih (overlapping) dalam pengaturan norma Pasal 15 KUHP yang dapat menjadikan norma itu ambigu. Terlebih, penjelasan pasal a quo tidak menguraikan secara jelas tingkat keakuratan yang dimaksud sehingga bertentangan dengan asas yang berlaku dalam perumusan norma hukum pidana, yaitu harus dibuat secara tertulis (lex scripta), jelas (lex certa), dan tegas tanpa ada analogi (lex stricta).

Dengan demikian, bahwa pertimbangan hukum Mahkamah terkait dengan unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dalam Pasal 14 KUHP mutatis mutandis menjadi pertimbangan hukum Mahkamah terkait dengan pertimbangan unsur “kabar yang tidak pasti” atau “kabar yang berkelebihan” dalam Pasal 15 KUHP.

Apabila mencermati ketentuan Pasal 433 UU 1/2023 (KUHP Baru), terdapat perbedaan antara ketentuan norma dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP dengan norma Pasal 433 UU No. 1 Tahun 2023 Tentang KUHP yakni dalam Pasal 433 terdapat penegasan pelaku melakukan perbuatan pencemaran mencakup perbuatan “dengan lisan” dan unsur tersebut tidak diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP. Oleh karena itu, meskipun konstitusionalitas Pasal 433 UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang baru mempunyai kekuatan mengikat setelah tiga tahun sejak diundangkan (2 Januari 2026), maka penegasan berkenaan dengan unsur “perbuatan dengan lisan” yang terdapat dalam Pasal 433 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 dapat diadopsi atau diakomodir guna kepastian hukum dalam penerapan ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP.

“Dengan demikian, norma Pasal 310 ayat (1) KUHP dimaksud dapat memberikan kepastian hukum dan mempunyai jangkauan kesetaraan yang dapat mengurangi potensi adanya perbedaan perlakuan atau diskriminasi terhadap addresat norma atas ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP, sehingga dalam penerapannya tidak menimbulkan ambiguitas.

Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, maka ketentuan norma Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 serta Pasal 310 ayat (1) KUHP tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Avatar photo
Yustinus Hura, S.H.

Founder & CEO LogikaHukum.com
Advocate & Legal Consultant

Articles: 63

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *