Paradigma Baru Pemulihan Aset: Analisis Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis atas RUU Perampasan Aset

LOGIKAHUKUM.COM – Sistem hukum Indonesia hingga kini masih menghadapi kelemahan mendasar dalam hal pemulihan aset hasil tindak pidana. Mekanisme yang berlaku cenderung bersandar pada conviction-based asset forfeiture, yakni perampasan baru dapat dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Akibatnya, dalam banyak perkara korupsi maupun pencucian uang, negara sering gagal merebut kembali aset secara maksimal. Tidak jarang aset telah dialihkan, disembunyikan, atau berpindah tangan sebelum putusan dijatuhkan.

Kasus-kasus besar, seperti skandal Surya Darmadi dengan kerugian negara mencapai lebih dari Rp 78 triliun, memperlihatkan betapa pemulihan aset masih jauh di bawah ekspektasi. Data KPK 2022 menunjukkan, dari total kerugian Rp 48,7 triliun, hanya sekitar Rp 7,83 triliun (16%) yang berhasil dipulihkan. Fenomena ini memperkuat stigma bahwa korupsi tetap menjadi kejahatan dengan risiko rendah namun keuntungan tinggi.

Momentum baru muncul ketika Presiden Prabowo Subianto mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset, melanjutkan dorongan politik hukum yang sebelumnya juga digaungkan Presiden Joko Widodo. Kehadiran RUU ini memberi harapan, meskipun efektivitasnya akan sangat ditentukan oleh desain regulasi yang matang dan pengawasan publik yang konsisten.

Sebagai bagian dari sistem perundang-undangan, RUU Perampasan Aset harus berpijak pada Pancasila sebagai dasar filosofis negara. Prinsip hukum di Indonesia tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga mengandung cita keadilan, keteraturan, dan kesejahteraan sosial.

Dalam hal ini, terdapat ketegangan antara hak milik individu yang dijamin Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan kepentingan umum sebagaimana dibatasi oleh Pasal 28J ayat (2). Legitimasi perampasan aset hasil kejahatan terletak pada gagasan bahwa hak kepemilikan tidak bersifat absolut. Prinsip salus populi suprema lex esto menegaskan bahwa aset hasil kejahatan harus dikembalikan untuk kepentingan masyarakat, sehingga fungsi utamanya adalah menegakkan keadilan substantif.

Secara sosiologis, keberadaan RUU ini merupakan jawaban atas keresahan publik terhadap lemahnya efek jera bagi pelaku kejahatan ekonomi. Seringkali pelaku memang dijatuhi hukuman, tetapi hasil kejahatannya tetap aman. Hal ini memunculkan tuntutan sosial agar negara mampu memastikan kejahatan tidak lagi memberikan keuntungan.

RUU Perampasan Aset menawarkan mekanisme non-conviction based asset forfeiture (NCB). Dengan pendekatan in rem, aset ditempatkan sebagai subjek perkara sehingga dapat dirampas meskipun pelaku telah meninggal, melarikan diri, atau bahkan lolos dari jerat pidana. Model ini diharapkan meningkatkan kepercayaan publik, memperkuat efek jera, sekaligus mempercepat pemulihan kerugian negara.

Secara yuridis, RUU Perampasan Aset lahir untuk menutup kekosongan hukum. Selama ini mekanisme perampasan aset di Indonesia hanya mengenal tiga jalur:
1. Pidana – menunggu putusan pengadilan yang inkracht.
2. Perdata – melalui gugatan Jaksa Pengacara Negara ketika bukti pidana tidak cukup atau tersangka meninggal.
3. Administratif – misalnya dalam kepabeanan, cukai, dan pajak.

Keterikatan pada putusan pidana membuat proses menjadi panjang dan tidak efektif. Oleh karena itu, RUU ini menghadirkan beberapa terobosan:
1. Reverse Onus of Proof – beban pembuktian asal-usul aset dibalikkan kepada pemilik.
2. Unexplained Wealth – aset yang tidak sebanding dengan profil penghasilan sah dapat dijadikan objek perampasan.
3. In Rem Proceedings – aset dijadikan subjek perkara untuk mempercepat pemulihan.
4. Pasal 7 RUU – aset tetap dapat dirampas meskipun pelaku meninggal dunia, melarikan diri, atau diputus bebas.

Tantangan dan Kritik
Meskipun membawa inovasi, penerapan mekanisme NCB juga mengandung risiko. Salah satunya potensi benturan dengan prinsip presumption of innocence dan ancaman kriminalisasi politik. Tanpa pengaman hukum yang kuat, mekanisme ini bisa disalahgunakan aparat, misalnya melalui penyitaan berdasarkan dugaan semata tanpa putusan yang sah.

Di sisi lain, pengalaman internasional seperti UNCAC 2003 maupun praktik di Amerika Serikat melalui Civil Asset Forfeiture Reform Act (CAFRA) 2000 menunjukkan bahwa kekhawatiran tersebut dapat dijawab melalui regulasi yang ketat, mekanisme keberatan, kompensasi, serta pengawasan yudisial independen.

RUU Perampasan Aset bukan sekadar perangkat tambahan hukum pidana, melainkan sebuah instrumen baru yang berpotensi mengubah paradigma pemberantasan korupsi. Dengan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis yang jelas, regulasi ini dapat menjadi terobosan hukum yang membawa Indonesia pada era asset recovery yang lebih efektif. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada sejauh mana regulasi tersebut dirancang dengan perangkat pengaman yang memadai, sehingga mampu menggeser status korupsi dari high profit, low risk menjadi high risk, low profit.

Referensi
1. Mulyana, Asep N. “Optimalisasi Tugas &Kewenanagan Kejaksaan dalam rezim Perampasan Aset.” Makalah. Disampaikan dalam Bahan Pemaparan FGD Penelitian Kelompok dengan tema Politik Hukum Perampasan Aset Tindak Pidana, 21 September 2020
2. Laia, S. W., & Daliwu, S. (2022). Urgensi landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam pembentukan undang-undang yang bersifat demokratis di Indonesia. Jurnal Education and Development, 10(1), 546-552.
3. Akbar, Adrial. “Rincian Rp 104,1 T yang Jadi Kerugian Negara Terbaru Kasus SuryaDarmadi”,detik.com,30 Agustus 2022. Tersedia pada https://news.detik.com/berita/d6262373/rincian-rp-104-1-t-yang-jadi-kerugian-negara-terbaru-kasus-surya-darma di. Diakses pada 04 September 2025.
4. Ilma, Hutmi Amivia. 2025. “Tantangan Mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.” TARUNALAW: Journal of Law and Syariah 3 (1): 48-60.
5. United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC), 2003
6. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). “Draf Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana Korupsi”. Tersedia pada https://jdih.ppatk.go.id/storage/dokumen_produkhukum/Draft%20Final%20RUU%20Perampasan%20Aset%20.pdf. Diakses pada 04 September 2025.
7. Speville, Bertrand de, Reversing the Onus of Proof: Is It Compatible with Respect for Human Rights Norms,The Papers, 8th International AntiCorruption Conference, hlm.4-6.

Penulis : Ariyanto Zalukhu, S.IKom. (Mahasiswa Hukum)


Eksplorasi konten lain dari LOGIKAHUKUM.COM

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari LOGIKAHUKUM.COM

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca