LOGIKAHUKUM.COM – Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah memberikan pengertian tentang penyidik, penyidikan, penyelidik, dan penyelidikan, yakni :
Pasal 1 ayat (1) KUHAP
Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Pasal 1 ayat (2) KUHAP
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Pasal 1 ayat (4) KUHAP
Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
Pasal 1 ayat (5) KUHAP
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP-Penyidikan dan Penuntutan menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, penyelidikan adalah tindakan tahap pertama permulaan dari penyidikan. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan.[1] Apabila merujuk pada buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
Selanjutnya, M. Yahya Harahap menyatakan sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindakan mengusut/menyelidiki” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
Yahya Harahap juga menerangkan bahwa apabila memerhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggungjawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus terlebih dahulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan.[2]
Lembaga yang berwenang melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan adalah lembaga kepolisian yang diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (4) KUHAP. Sedangkan aparat penegak hukum yang berwenang melakukan penyidikan adalah kepolisian atau atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang sesuai dengan pasal 1 ayat (1) KUHAP.
Oleh karena itu, tugas penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh masing-masing pejabat yang berwenang yaitu kepolisian untuk penyelidikan dan penyidikan, serta penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang punya wewenang khusus berdasarkan undang-undang untuk melakukan penyidikan. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf i jo. Pasal 109 ayat (2) KUHAP, penegak hukum yang berwenang mengadakan penghentian penyidikan adalah pihak kepolisian.
Perbedaan penyelidikan dan penyidikan dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
No | Perbedaan | Penyelidikan | Penyidikan |
1 | Tujuan | Mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. – Pasal 1 angka 5 KUHAP | Mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. – Pasal 1 angka 2 KUHAP |
2 | Pihak yang berwenang | Setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia. – Pasal 4 KUHAP | 1. Pejabat polisi negara Republik Indonesia; 2. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. – Pasal 6 ayat (1) KUHAP |
3 | Wewenang pihak yang berwenang | Karena kewajibannya mempunyai wewenang: 1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; 2. mencari keterangan dan barang bukti; 3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Selain itu, atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa: 1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penahanan; 2. pemeriksaan dan penyitaan surat; 3. mengambil sidik jari dan memotret seorang; 4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik. – Pasal 5 ayat (1) KUHAP | Khusus penyidik dari kepolisian, karena kewajibannya mempunyai wewenang: 1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; 2. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; 3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; 4. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; 5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 6. mengambil sidik jari dan memotret seorang; 7. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 8. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; 9. mengadakan penghentian penyidikan; 10. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. – Pasal 7 ayat (1) KUHAP Sedangkan untuk penyidik dari pegawai negeri sipil tertentu wewenangnya sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik kepolisian. – Pasal 7 ayat (2) KUHAP |
Dasar Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
Daftar Pustaka
[1] Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 101.
[2] Ibid, hal. 102