LOGIKAHUKUM.COM – Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) menjamin hak kebebasan berekspresi seseorang. Pasal 28E ayat (2) menyatakan, “setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Selanjutnya pada ayat (3) ditegaskan lagi bahwa, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Jaminan konstitusional ini dielaborasi lebih jauh dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa “setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media cetak elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.”
Hak asasi manusia (HAM) sering didefinisikan sebagai hak-hak yang demikian melekat, sehingga tanpa hak-hak itu kita tidak mungkin mempunyai martabat sebagai manusia (inherent dignity). Karena itu pula dikatakan bahwa hak-hak tersebut adalah tidak dapat dicabut (inalienable) dan tidak boleh dilanggar (inviolable). Mukadimah Universal Declaration of Human Rights mulai dengan kata-kata berikut: “…..recognition of the inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all members of the human family…..”. Kata “equal” disini menunjukkan tidak boleh adanya diskriminasi dalam perlindungan negara atau jaminan negara atas hak-hak individu tersebut.[1] HAM melekat pada setiap manusia melalui seperangkat aturan hukum yang ada. Penegakan hukum HAM selalu berhadapan dengan beragam kondisi yang ada, sehingga peran Pemerintah menjadi mutlak dalam hal ini karena hukum adalah sesuatu atau norma yang diam dan lemah. Hukum hanya dapat bergerak dan hanya dapat digerakkan oleh penguasa atau the strong arms agar hukum dapat berjalan dan efektif.[2]
Konsepsi dasar HAM pada dasarnya adalah adanya pengakuan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama hak dan martabatnya. HAM wajib dilindungi oleh hukum karena apabila HAM tidak dilindungi oleh hukum, keberadaan penjaminan dan penghormatan terhadap HAM akan terlanggar. Dengan demikian, perlindungan HAM yang merupakan salah satu ciri dari negara hukum (the rule of law principle) tidak akan terpenuhi. Perlindungan HAM bersifat universal, yang saat ini menjadi bagian dari norma hukum internasional yang wajib dipatuhi dan ditaati oleh masing-masing negara.
HAM terbagi menjadi dua bagian, yakni HAM yang dapat dibatasi (derogable rights) dan HAM yang tidak dapat dibatasi (nonderogable rights). Istilah derogable rights diartikan sebagai hak-hak yang masih dapat ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi) pemenuhannya oleh negara dalam kondisi tertentu. Sementara itu, maksud dari istilah nonderogable rights adalah hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi) pemenuhannya oleh negara.
Derogable rights muncul dengan tujuan utama negara akan tetapi dengan mempertimbangkan dari segala unsur dan aspek yang dapat memengaruhi stabilitas politik dan keamanan suatu negara dengan mengedepankan nilai demokratis dan kepentingan masyarakat umum. Sedangkan nonderogable rights merupakan jaminan atas hak-hak dasar setiap manusia dengan perimbangan segala aspek persoalan yang terkait, seperti masalah kebebasan menentukan jalan hidup sendiri, bebas dari ancaman dan ketakutan, hak perlindungan negara, dan kebebasan untuk menyalurkan pendapat dan keyakinan sesuai dengan hati nuraninya.[3] Sebaliknya, selain dari limitasi hak dalam nonderogable rights, maka hak-hak lain yang melekat pada manusia merupakan hak yang bersifat derogable atau dapat dikesampingkan karena adanya kepentingan hukum, kepentingan umum, atau bahkan karena pelaksanaan hak lainnya atau campuran dari ketiganya. Dalam hal ini, HAM tidak mutlak sepenuhnya harus ditegakkan, derogable rights dapat dikesampingkan pelaksanaannya.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan dasar konstitusional bagi adanya pembatasan hak pribadi seseorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 28J ayat (2), yang menyatakan bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, jelas bahwa UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan syarat mutlak bagi adanya pembatasan hak dan kebebasan pribadi seseorang, harus ditetapkan dengan undang-undang. Oleh karena itu, ancaman pidana terhadap penghinaan yang dilakukan melalui media elektronik, sebagaimana diatur dalam UU ITE, secara yuridis formal tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE maka larangan atas tindakan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik melalui media elektronik bukan merupakan pelanggaran atas kebebasan berekspresi, sebab norma ini ditentukan melalui Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan dapat dinyatakan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum.
Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang ITE mengancam pidana terhadap orang yang melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui media elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Penurunan ancaman pidana dari 6 (enam) tahun menjadi 4 (empat) tahun didasari pada munculnya keberatan dari sebagian masyarakat terhadap ancaman pidana Pasal 27 ayat (3) yang berujung diajukannya uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, pengaturan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berimplikasi pada dapat ditahannya tersangka, sesuai dengan ketentuan KUHAP, seperti yang terjadi dalam kasus Prita Mulyasari versus Rumah Sakit Omni Internasional. Penyidik mengualifikasi perbuatan Prita sebagai pelanggaran Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE, dan menahan Prita karena ancaman sanksi maksimal 6 (enam) tahun. Dengan penurunan ancaman pidana dalam Pasal 27 ayat (3) UU tentang Perubahan UU ITE dari 6 (enam) tahun menjadi 4 (empat) tahun, perlakuan atas tersangka delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui media elektronik tidak perlu ditahan selama proses penyidikan berlangsung, sehingga potensi pelanggaran HAM dengan ditahannya tersangka sebelum berkas perkara selesai disusun dapat dihindari.
Jadi, Hak atas kebebasan berekspresi dijamin oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun UUD NRI Tahun 1945 juga membatasi pelaksanaan hak tersebut, yang ditetapkan dengan UU. UU ITE sebagaimana telah diubah, mengancam sanksi pidana bagi pelaku penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, sehingga secara yuridis formal pengaturan ancaman pidana terhadap penghinaan dalam UU ITE tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. DPR dan Pemerintah perlu melakukan sosialisasi terhadap pengaturan tersebut, agar masyarakat mengetahui aturan tersebut dan mencegah timbulnya penghinaan melalui media elektronik yang dapat merugikan orang lain.
Dasar Hukum :
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Daftar Pustaka
[1] Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1997, hal. 7.
[2] Effendi, A. Masyhur, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Bogor: Ghalia Indonesia, 2005, hal 32-33.
[3] Rizky Ariestandi Irmansyah. Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi, Yogyakarta: Graha Ilmu, Cetakan Pertama, 2013, hal. 67.