LOGIKAHUKUM.COM – Pertumbuhan teknologi informasi dan komunikasi, terutama dalam bidang telematika, telah membawa dampak signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan manusia. Telekomunikasi dan internet menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Di Indonesia, perkembangan telematika telah menciptakan peluang baru dalam hal ekonomi digital, komunikasi, dan akses informasi. Kemajuan teknologi ini telah membawa dampak positif, namun, di sisi lain, juga menimbulkan berbagai tantangan hukum yang perlu diatasi. Salah satu tantangan baru yang muncul bersamaan dengan perkembangan teknologi informasi adalah kejahatan siber. Seluruh negara, tak terkecuali Indonesia, mendapatkan tantangan baru dalam bentuk kejahatan dunia maya atau bisa disebut dengan cyber crime.
Cyber crime mencakup sejumlah kejahatan, termasuk peretasan data, penipuan online, penyebaran malware, dan serangan siber lainnya. Kejahatan di dunia digital dapat terjadi diberbagai tempat dan waktu asalkan terdapat akses internet dan perangkat yang memadai. Terkait dengan ciri khas kejahatan dunia maya, Mamoun Alazab, Roderic Broadhurst, Peter Grabosky, dan Steve Chon menyatakan bahwa “Penjahat dunia maya mungkin beroperasi sebagai jaringan longgar, tetapi bukti menunjukkan bahwa anggotanya masih berlokasi secara geografis dekat, bahkan ketika serangan mereka melibatkan lintas negara.[1]
Fenomena kejahatan dunia maya atau cyber crime menjadi salah satu ancaman serius. Dampak dari kejahatan ini tidak hanya bersifat individu tetapi juga melibatkan entitas bisnis, pemerintah, dan keamanan nasional. Penting untuk memahami bahwa telematika mencakup berbagai bentuk teknologi informasi dan komunikasi, seperti internet, komputer, telepon seluler, dan jaringan komunikasi lainnya. Keberadaan semua elemen ini memberikan peluang bagi individu atau kelompok untuk melakukan kegiatan ilegal, seperti pencurian data, penipuan online, serangan ransomware, dan kejahatan lain yang berkaitan dengan dunia maya. Dalam konteks inilah, perlu adanya suatu perspektif hukum yang komprehensif untuk menangani permasalahan ini.[2] Hukum telematika menjadi hal penting sebagai payung hukum yang mengatur kegiatan di dunia maya menjadi semakin mendasar.
Kejahatan dalam ranah digital menjadi permasalahan yang signifikan. Kejahatan dunia maya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang bersifat internasional, sesuai dengan norma hukum internasional yang merinci bahwa tindak pidana tersebut mencakup perbuatan yang merugikan legitimasi beberapa atau seluruh negara, sehingga menimbulkan ancaman serius terhadap hubungan di antara masyarakat internasional.[3]
Di Indonesia, pada tahun 2004 mencatatkan diri sebagai negara dengan kasus cyber crime tertinggi. Meskipun jumlah kasus yang diadili relatif sedikit, angka kejahatan yang tidak terlaporkan (dark number) cukup besar, dengan sebagian besar data yang diperoleh oleh Kepolisian Republik Indonesia berasal dari laporan para korban. Pada tahun 2011, kerugian yang dialami masyarakat akibat kejahatan cyber mencapai 4 miliar rupiah, dan meningkat menjadi 5 miliarrupiah pada tahun 2012. Pada tahun 2013, menurut State of The Internet, Indonesia menempati peringkat kedua di antara lima negara teratas yang paling sering menjadi asal serangan kejahatan siber atau cyber crime. Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, menyampaikan bahwa dalam rentang waktu tiga tahun terakhir terdapat 36,6 juta insiden serangan kejahatan siber yang terjadi di Indonesia.
Penting bagi pemerintah dan semua pihak terlibat untuk mengambil langkah serius dalam menangani kejahatan di dunia maya, mengingat peran internet yang sangat krusial dalam membangun masyarakat yang berbudaya informasi. Dalam konteks hukum Indonesia, penanganan kasus cyber crime dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE mencakup ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan keamanan telematika dan pengaturan tindakan pidana terkait penggunaan teknologi informasi. Namun, implementasi UU ITE ini belum selalu berjalan mulus, dan beberapa aspek kontroversial dalam undang-undang tersebut telah menimbulkan perdebatan dimasyarakat.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan dua permasalahan yangakan kami bahas, yakni: 1. Bagaimanakah kendala kebijakan hukum telematika dalam menghadapi pesatnya perkembangan telematika saat ini? 2. Bagaimanakah mengatasi kendala-kendala yuridis yang terdapat dalam Undang-Undang ITE dalam penanganan berbagai bentuk kejahatan dunia maya?
1. Kendala kebijakan hukum telematika dalam menghadapi pesatnya perkembangan teknologi saat ini.
Kebijakan hukum merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif yang dirumuskan secara lebih baik. Peraturan hukum positif di sini diartikan sebagai peraturan perundang-undangan hukum pidana. Kebijakan hukum ini hakikatnya merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu saat ini (ius constitutum) dan masamendatang (ius constituendum). Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum identik dengan penal reform dalam arti sempit. Sebab, sebagai suatu sistem, hukum terdiri dari budaya (cultural), struktur (structural), dan substansi (substantive) hukum.
Setiap bangsa di dunia mempunyai kebijakan hukumnya sendiri-sendiri yang bisa berbeda dengan hukum bangsa lain. Kebijakan hukum berarti peraturan dan cara atau tata tertib hukum di suatu negara, atau lebih dikenal dengan tatanan berupa tata hukum. Tata hukum atau susunan hukum adalah hukum yang berlaku pada waktu tertentu dalam suatu wilayah negara tertentu yang disebut hukum positif, dalam bahasa latinnya Ius Constitutum lawannya adalah Ius Constituendum atau hukum yang dicita-citakan atau hukum yang belum membawa akibat hukum. Dalam kaitannya di Indonesia, yang ditata itu adalah hukum positif yang berlaku di Indonesia. Hukum yang sedang berlaku artinya apabila ketentuan-ketentuan hukum itu dilanggar maka bagi si pelanggar akan dikenakan sanksi yang datangnya dari badan atau lembaga berwenang.
Hukum mempunyai berbagai fungsi yaitu sebagai sarana pengendalian masyarakat, sarana pemelihara masyarakat, sarana untuk menyelesaikan konflik dan sarana pembaharuan atau alat merekayasa masyarakat. Dari fungsi-fungsi hukum tersebutlah pemerintah sebagai penjamin kebijakan hukum dapat menjadi sarana pemanfaatan teknologi yang modern dan aman. Sebagai salah satu bukti nyata dibuatnya kebijakan hukum telematika adalah dibuatnya UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Di Indonesia, persoalan kejahatan dalam hukum telematika atau lebih khususnya mengenai cybercrime[4] sebenarnya bukan hal baru, akan tetapi aturan untuk mengkriminalisasi pelaku cybercrime dengan perangkat aturan khusus berupa cyber law (UU ITE) adalah persoalan yang baru, karena baru pada tahun 2008 Indonesia benar-benar mempunyai kebijakan hukum khusus dalam persoalan cybercrime. Persoalan pemidanaan tersebut timbul karena di hadapan masyarakat terdapat perbuatan yang berdimensi baru, sehingga di masyarakat banyak muncul pertanyaan apakah terdapat hukuman untuk perbuatan tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah terjadinya kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut. Hal tersebut sesuai denganapa yang dikemukakan oleh von Savigny bahwa hukum tumbuh, hidup dan berkembang karena menyesuaikan kebutuhan masyarakat. Lalu ada beberapa contoh-contoh cybercrime yang terjadi pada saat ini yaitu ada cyberbullying, kebobolan data, dan peretasan channel youtube.
a. Cyber Bullying
Cyberbullying (perundungan dunia maya) ialah bullying/perundungan dengan menggunakan teknologi digital. Hal ini dapat terjadi di media sosial, platform chatting, platform bermain game, dan ponsel. Adapun menurut Think Before Text, cyberbullying adalah perilaku agresifdan bertujuan yang dilakukan suatu kelompok atau individu, menggunakan media elektronik, secara berulang-ulang dari waktu ke waktu, terhadap seseorang yang dianggap tidak mudah melakukan perlawanan atas tindakan tersebut. Jadi, terdapat perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban. Perbedaan kekuatan dalam hal ini merujuk pada sebuah persepsi kapasitasfisik dan mental.
Cyberbullying merupakan perilaku berulang yang ditujukan untuk menakuti, membuat marah, atau mempermalukan mereka yang menjadi sasaran. Bullying secara langsung atau tatap muka dan cyberbullying seringkali dapat terjadi secara bersamaan. Namun cyberbullying meninggalkan jejak digital berbentuk sebuah rekaman atau catatan yang dapat berguna dan memberikan bukti ketika membantu menghentikan perilaku salah ini.
Dalam hukum Indonesia, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai cyberbullying adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Lebih lanjut secara tegas pada Pasal 45 ayat (5) UU ITE juga disebutkan bahwa: “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan delik aduan. ”Bagi para pelaku cyberbullying ini tetap ada pidana yang dijatuhkan kepadanya dan pidana tersebut didasarkan pada aduan yang diadukan oleh korban itu sendiri.
Adapun jenis-jenis cyberbullying :
- Outing and Trickery: Outing adalah tindakan menyebarkan rahasia orang lain, berupa foto-foto pribadi yang apabila disebarkan akan menimbulkan rasa malu atau depresi.Lalu Trickery adalah tindakan tipu daya yang dilakukan dengan membujuk orang lainuntuk memperoleh rahasia hingga foto pribadi calon korban.
- Flaming: Flaming (terbakar) adalah upaya seseorang dalam memprovokasi, mengejek, menghina hingga menyinggung perasaan korban. Tindakan Cyberbullying Flaming dapat berupa mengirimkan pesan teks yang berisikan kata-kata penuhamarah, emosional dan frontal.
- Impersonation: Berpura-pura menjadi orang lain atau menyamar guna melancarkan aksinya dalam mengirimkan pesan-pesan dan status yang tidak baik. Penggunaan akun palsu banyak terjadi dalam jejaring sosial Twitter dan Instagram.
- Harasment: Harassment (gangguan) biasanya berupa menulis komentar secara terus-menerus dengan tujuan menimbulkan kegelisahan, karena harassment berisi kata-kata yang mengandung hasutan agar orang lain melakukan hal yang sama. Tindakan ini biasanya dilakukan dengan cara mengirimkan pesan melalui email, sms hingga teks jejaring sosial.
- Cyberstalking: Merupakan perbuatan memata-matai, mengganggu dan mencemarkan nama baik terhadap seseorang secara intens. Akibatnya, korban merasa ketakutan yang besar hingga depresi.
- Denigration: Tindakan denigration (pencemaran nama baik) ini dilakukan secara sengaja dan sadar oleh pelaku untuk mengumbar keburukan orang lain melalui internet, dengan tujuan reputasi dan nama baik orang yang dituju.
b. Kebocoran Data / Kebobolan Data
Kebocoran data adalah istilah yang digunakan untuk menyebut pengunggahan data-data pribadi yang bersifat sensitif ke internet secara berlebihan. Biasanya pengguna yang melakukan hal ini sering mengabaikan dampak yang dapat ditimbulkan. Kebocoran data juga bisa disebut dengan data leakage, yang merupakan risiko yang sering terjadi pada perusahaan yang memiliki data penting atau rahasia. Risiko ini mengintai perusahaan karena adanya peluang bagi orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk mengakses dan memanipulasi data tersebut. Terdapat 6 penyebab paling umum terjadinya kebocoran data, diantaranya adalah kesalahan konfigurasi software, penipuan melalui rekayasa sosial (social engineering), password atau kata sandi yang digunakan berulang, pencurian barang yang mengandung data sensitif, kerentanan perangkat lunak, dan penggunaan kata sandi bawaan (default password).
Kenapa kebocoran data bisa terus menerus terjadi di Indonesia? Mungkin, alasannya adalah karena lemahnya regulasi, dan rendahnya kesadaran terhadap keamanan siber yang tidak hanya terjadi di tingkat masyarakat, tetapi juga terlihat pada lembaga atau badan. Kebocoran data (data leakage) ternyata memiliki arti yang berbeda dengan pelanggaran data (data breach). Kalau data breach adalah serangan yang sengaja dilakukan untuk membobol sistem sehingga data sensitif dapat diakses, lain halnya dengan data leakage yang tidak memerlukan serangan siber khusus. Sebab, pada umumnya kebocoran data dapat terjadi karena data security yang buruk atau karena kelalaian pengguna sendiri.
Kebobolan data ini termasuk pada tindak pidana tentang penyalahgunaan data pribadi yang disebutkan pada UU No 11 tahun 2008 tentang ITE pasal 26 ayat 1 : “penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.” Aturan ini diturunkan dalam PP No. 82/2012 dan PP no 71 tahun 2019.Pada saat terjadi kebocoran data (data leakage), maka ada beberapa data sensitif yangdapat dicuri oleh peretas atau oknum yang tidak bertanggung jawab, yaitu:
- Aktivitas pengguna meliputi riwayat pemesanan dan pembayaran, serta kebiasaan browsing.
- Informasi identifikasi berupa nama, alamat, nomor telepon, alamat email, nama pengguna, dan kata sandi.
- Informasi kartu kredit berupa nomor kartu, tanggal kadaluarsa, kode pos penagihan, dan lain sebagainya.
Lalu, penyebab masalah data leakage ini dapat melalui sumber eksternal ataupun internal, di antaranya adalah sebagai berikut:
- Human Error: Ketika karyawan yang tidak sengaja mengirimkan informasi sensitif atau mempublikasikannya secara online.
- Malware (Malicious Software): Program yang dirancang khusus untuk merusak dengan menyusup ke sistem komputer. Bisa masuk melalui email, download internet, dan program yang terinfeksi.
- Karyawan yang Berkhianat: Disebabkan oleh seorang anggota tim atau karyawan yang memiliki niat buruk. Jenis kebobolan data yang satu ini sering disebut sebagai eksfiltrasi data.
Selain itu, terdapat juga dampak dari kebobolan data, diantaranya adalah sebagai berikut :
- Legal Liability: Perusahaan yang lengah melindungi data penting miliknya (yang mengandung informasi pelanggan)
- Lost Productivity: Perusahaan yang tidak teliti dalam menjaga hasil penemuan, desain baru, serta ide pemasaran.
- Business Reputation: Perusahaan akan mengalami rusaknya reputasi bisnis saat mengalami kebobolan data.
Yang terakhir, ada beberapa upaya atau cara mencegah kebobolan data, diantaranya adalah sebagai berikut:
- Buat Pedoman Khusus yang Wajib Diikuti Oleh Seluruh Karyawan.
- Filter Lalu Lintas Email Masuk dan Keluar.
- Tingkatkan Keamanan Data Menggunakan Penetration Testing (pengujian penetrasi/kerentanan keamanan).
- Menggunakan Perlindungan Endpoint (tindakan pengamanan untuk melindungi pengguna perangkat pengguna akhir seperti dekstop, perangkat seluler).
c. Peretasan Channel Youtube
Peretasan channel YouTube adalah tindakan meretas atau mengambil alih kontrol atassuatu channel YouTube tanpa izin pemiliknya. Motif peretasan bisa bermacam-macam, mulai dari mencari popularitas, tujuan politik, hingga keuntungan finansial. Peretasan dapat merugikan pemilik channel dengan mengubah konten, menyiarkan konten yang tidakdiinginkan, atau menghapus konten asli. Untuk melindungi akun digital, organisasi atau perusahaan disarankan untuk menerapkan SOP yang ketat dalam mengelola akun digital, serta bekerja sama dengan penyedia layanan untuk memulihkan akun yang diretas.
Contohnya pada saluran YouTube Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang diretas dengan motif ingin mendapatkan popularitas atau atas pesanan pihak lain. YouTube DPR RI juga mengalami peretasan dengan menyiarkan siaran judi online. Channel YouTube Ganjar Pranowo juga diretas, membuat channel tersebut hilang. Pihak YouTube telah melakukan penyelidikan dan mengambil langkah untuk mengamankan akun yang terkena peretasan. Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri juga tengah menyelidiki kasus peretasan akun YouTube DPR-RI.
Dalam mengelola akun digital, organisasi atau perusahaan disarankan untuk :
- Tetapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ketat.
- Bekerja sama dengan penyedia layanan untuk memulihkan akun yang diretas.
Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut, organisasi atau perusahaan dapatmelindungi akun digitalnya dari peretasan.
Peretasan merupakan tindakan kejahatan baru dibanding tingkat kejahatan konvensional lainnya. Dalam UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat jeratan hukum bagi pelaku peretasan. Pasal 30 ayat (1) menyebutkan, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun”. Selanjutnya, terdapat ancaman pidana atas pelanggaran tersebut seperti yang tertuang dalam Pasal 46 ayat (1), (2), dan (3) UU 19/2016. Tapi perlu diperhatikan, hukuman paling berat penjara delapan tahun dan denda Rp. 800.000.000. Tak hanya itu, UU 19/2016 juga mengatur pemberatan penjatuhan pidana atas tindakan peretasan.
2. Solusi kendala-kendala yuridis yang terdapat dalam Undang-Undang ITE dalam penanganan berbagai bentuk kejahatan dunia maya.
Pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi[5] Pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi di era saat ini menimbulkan munculnya media baru yang menyebabkan suatu perubahan-perubahan secara signifikan baik perubahan pada sosial, ekonomi, maupun budaya. Kemudahan akses teknologi yang diberikan juga membantu terwujudnya suatu inovasi dalam peningkatan komunikasi, pertumbuhan ekonomi hingga adanya peningkatan produktivitas sehingga memberikan suatu perubahan yang efisien dalam proses penggunaan teknologi melalui aplikasi mobile, layanan daring dan perangkat pintar lainnya.
Pada dasarnya perkembangan teknologi ini memberikan jaminan kemudahan bagi setiap penggunanya, dan memungkinkan membuat suatu pekerjaan menjadi lebih efektif dan efisien, namun di tengah pesatnya perkembangan teknologi ini juga menimbulkan suatu tantangan dalam hal keamanan, privasi maupun dampak sosial yang ditimbulkan dari perkembangan teknologi yang terjadi, oleh sebab itu dalam hal ini dikelolanya suatu kebijaksanaan merupakan hal yang penting yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulangi persoalan mengenai kebijakan terkait privasi maupun dampak sosial yang ditimbulkan, dengan adanya regulasi atau kebijakan yang ditetap kanmenjadi suatu langkah yang dapat dilakukan dalam melindungi keamanan pengguna media dalam dunia maya. kendala kebijakan hukum tersebut memerlukan keseimbangan antara melindungi privasi individu serta keamanan data-data dengan terfasilitasinya inovasi teknologi, merupakan suatu keharusan juga dalam mengakomodasi perubahan kemajuan teknologi dengan tetap mempertahankan aspek keamanan dan privasi.
Adapun berbagai kendala kejahatan yang kerap kali ditemukan dalam komputer ataumedia seiring berkembangnya teknologi seperti cyberbullying, kebocoran data ataupun peretasan merupakan suatu kebenaran akan kurang kuatnya keamanan dalam perkembangan teknologi ini. Solusi dalam melampaui kendala kebijakan hukum telematika dapat melibatkan beberapa peninjauan, diperlukannya peran pemerintah dalam mendorong pembaharuan regulasi secara berkala guna meningkatkan dinamika teknologi. Terlibatnya pemangku kepentingan, yang dimana industri dan masyarakat sipil termasuk didalamnya, dalam proses dirumuskannya kebijakan dapat membantu tercapainya keseimbangan yang diperlukan dalam perkembangan teknologi yang kian pesat terjadi. Teori dari Marc Ancel yang memberikan pengertian bahwa kebijakan hukum merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif yang dirumuskan secara lebih baik. Peraturan hukum positif di sini diartikan sebagai peraturan perundang-undangan hukum pidana. Karena itu istilah penal policy menurut Ancel, sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana” (Barda Nawawi Arief, 1996: 2).
Adapun solusi selanjutnya diperlukan pendekatan yang proaktif dalam menanggapi tren baru dalam telematika. Tim pemantauan dan evaluasi dapat memantau secara terus menerus dan membantu pemerintah dalam mengidentifikasi perubahan dari kemajuan teknologi dalam kebutuhan regulasi. Untuk menelusuri, mendeteksi dan menanggulangi kejahatan ini Onno W. Purbo menjelaskan bahwa caranya sangat tergantung aplikasi dan topologi jaringan yang dipakai. Selain itu, pendekatan inklusif yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil dapatmembantu menghasilkan kebijakan yang holistik dan efektif. Pendidikan dan kesadaran publik tentang implikasi hukum telematika juga penting untuk mendorong partisipasi aktif dan pemahaman yang lebih baik di kalangan masyarakat.
Solusi untuk kendala yuridis dalam penanganan kejahatan dunia maya seperti cyberbullying dapat melibatkan beberapa langkah. Pertama, pembaruan atau revisiUndang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Revolusi dan konvergensi teknologi informasi perlu dibahas melalui pendekatan teori hukum, legislasi dan regulasi sehingga dapat tercapainya tujuan masyarakat informasi di Indonesia yang didasarkan Pancasila. Buku ini diawali dengan pemahaman historikal rezim cyberlaw di Indonesia yaitu tentang quo vadis undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE 2008), perspektif legislasi teknologi dan keadilan sosial, urgensi revisi UU ITE 2008, dan pilar-pilar norma cyberlaw dalam undang-undang nomor 19 tahun 2016tentang perubahan atas UU ITE 2008, juga pembahasan tekno-legislasi dalam kerangka pembangunan hukum di Indonesia dan regulasi perlindungan cata digital di era Big Data. Untuk mencakup dengan lebih jelas dan tegas mengenai definisi dan hukuman terhadap tindakan cyberbullying. Kedua, penguatan penegakan hukum dan pelibatan aparat kepolisian dalam penanganan kasus-kasus cyberbullying.
Hal ini dapat mencakup peningkatan kapasitas penyidik untuk menyidik hal-hal yang terjadi di dunia maya, serta kerjasama antara Lembaga penegak hukum dengan platform daring. Pendekatan preventif selanjutnya seperti kampanye penyuluhan dan edukasi mengenai dampak buruk cyberbullying serta cara melaporkan kasus-kasus tersebut merupakan hal yang dapat dilakukan dalam menangkal kejahatan yang terjadi dari pesatnya kemajuan teknologi yang terjadi. Meningkatkan kesadaran masyarakat dapat membantu mengurangi insiden cyberbullying, mendorong kerjasama antara pihak swasta (platform media sosial dan penyedia layanan daring) dengan pemerintah dalam mengidentifikasi dan menanggapi kasus cyberbullying. Hal ini dapat mencakup penerapan kebijakan dan mekanisme pelaporan yang efektif. Dan pengembangan mekanisme alternatif penyelesaian sengketa secara online, sehingga korban dapat lebih mudah mengakses bantuan hukum dan penyelesaian masalah tanpa harus melalui proses hukum yang panjang.
Persoalan mengenai kendala-kendala yuridis dalam penanganan kejahatan dunia maya berupa kebocoran data, memiliki beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan dalam hal melibatkan perbaikan pada Undang-Undang ITE dan penguatan penegakan hukum terkait dengan hal tersebut pemerintah maupun non pemerintah serta para penegak hukum dan masyarakat juga dituntut untuk memiliki integritas yang tinggi dalam upaya mewujudkan kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum dalam upaya membentengi diri dari penyalahgunaan data.
Setiap negara memiliki istilah yang berbeda terkait informasi pribadi.dalam hal ini revisi Undang-Undang ITE diperkenankan untuk menyediakan definisi yanglebih tegas mengenai kebocoran data serta menetapkan hukuman yang sesuai dengan tingkat pelanggaran. dengan diperkuatnya ketentuan yang melindungi privasi setiap pengguna mediayang ada, serta sanksi yang lebih berat kepada pelanggar keamanan data. Adanya penetapan kewajiban bagi pemegang data atau penyedia layanan daring untuk segera melaporkan kebocoran data kepada otoritas yang berwenang dan kepada individu yang terdampak. Memberikan pelatihan dan sumber daya yang cukup kepada aparat penegak hukum untuk menyelidiki kasus kebocoran data dengan efektif, termasuk dalam hal teknologi dankeamanan informasi.
Dengan adanya dorongan kerjasama internasional dalam penanganan kejahatan dunia maya, termasuk kebocoran data, untuk melacak dan menangkap pelaku yang mungkin beroperasi di lintas batas juga dapat menjadi suatu solusi yang dapat dilakukan guna mengurangi dan meminimalisir kejahatan siber dalam bentuk kebocoran data ini. Dan dengan adanya sosialisasi edukasi kepada masyarakat mengenai bahaya kebocoran data dan tindakan pencegahan yang dapat diambil, serta memberikan informasi terkait hak-hak privasimereka merupakan hal yang perlu dilakukan agar penyampaian mengenai kejahatan siber inisemakin berkurang dan bagi pengguna dapat menjaga datanya dengan lebih baik.
Dengan adanya mekanisme yang jelas untuk ganti rugi bagi individu yang mengalami kerugian akibat kebocoran data ini, termasuk sanksi finansial bagi pelaku pelanggaran merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan dengan maksud memberikan keadilan bagi setiap pihak. Serta bagi organisasi untuk secara rutin melakukan audit keamanan data guna mencegah kebocoran danmemastikan bahwa tindakan pencegahan yang memadai telah diimplementasikan.
Untuk mengatasi kendala yuridis dalam penanganan kejahatan dunia maya berupa peretasan channel YouTube di Indonesia, pengetahuan dan kemampuan aparat penegak hukum mengenai teknik peretasan situs website masih sangat minim, oleh karena itu kepolisian sebagai penyidik masih kurang memahami bagaimana modus operandi dan metode penyerangan yang dilakukan oleh para hacker, dengan demikian apabila ada kasus mengenai cyber crime, aparat hukum akan meminta bantuan kepada para pakar IT untuk mengungkap pelaku cyber crime, dengan demikian dapat dikatakan pelaku cyber crime jauh lebih hebat dibandingkan aparat penegak hukum yang mengakibatkan semakin meningkatnya intensitas cyber crime di Indonesia.
Beberapa solusi dapat dipertimbangkan guna mengatasi kendala dalam penanganan kejahatan dunia maya berupa peretasan channel YouTube adalah dengan ditingkatkannya keamanan akun, hal ini mendorong pemilik channel untuk menggunakan metode keamanan yang kuat, seperti otentikasi dua faktor, untuk mengurangi risiko peretasan, dan juga mengadakan kampanye edukasi bagi pemilik channel mengenai praktik keamanan yang baik. Selanjutnya diperlukannya hukum yang tegas yang mana ditetapkan nyahukuman yang tegas bagi pelaku peretasan, dengan mempertimbangkan tingkat kerugian dandampak terhadap pemilik channel dan pengikutnya.
Adapun kerjasama dengan Platform dapat membantu meminimalisir kejahatan ini dengan maksud adanya kerjasama antara pihak berwenang dan platform YouTube dan juga tim tanggap keamanan untuk mengidentifikasidan menangkap pelaku peretasan dengan lebih efektif dan juga membuat mekanisme pelaporan dan penanganan peretasan yang lebih cepat dan efisien serta membentuk timkhusus di dalam pihak berwenang yang fokus pada penanganan kasus peretasan channel YouTube untuk memberikan respons yang cepat.
Hal diatas belum lengkap jika hukum perlindungan data pribadi belum ditetapkan dan disosialisasikan secara terus menerus kepada pengguna teknologi pada saat ini, dengan menetapkan ketentuan lebih jelas mengenai perlindungan data pribadi dalam Undang-Undang ITE untuk melindungi informasi sensitif pada channel YouTube.
Hal ini juga berlaku pada pendidikan hukum digital danpengembangan teknologi keamanan dengan maksud mengintegrasikan pendidikan hukum digital dalam kurikulum pendidikan untuk meningkatkan kesadaran hukum dan etika di duniamaya dan juga mendorong pengembangan teknologi keamanan baru untuk melindungi channel YouTube, seperti deteksi perubahan kata sandi atau pemberitahuan cepat saat terdeteksi aktivitas mencurigakan. dan Audit Keamanan Rutin dapat juga dilakukan serta mewajibkan pemilik channel untuk melakukan audit keamanan secara rutin dan memberikan laporan keamanan yang berkala kepada pihak berwenang. Solusi-solusi ini dapatmeminimalisir kejahatan yang terjadi serta menciptakan lingkungan yang lebih aman di platform YouTube dan memitigasi risiko peretasan channel. Kerjasama antara pemilikchannel, platform, dan pihak berwenang menjadi kunci dalam penanganan kejahatan dunia maya seperti peretasan di dunia digital.
Kesimpulan
Bahwa kebijakan hukum terkait teknologi (hukum telematika) menghadapi berbagai kendala dalam menangani kejahatan dunia maya. Hal ini terlihat dari perlunya penyesuaian dan pembaharuan regulasi untuk mengikuti perkembangan teknologi yang pesat Contoh-contoh kejahatan dunia maya seperti cyberbullying, kebocoran data, dan peretasan channel YouTube menjadi tantangan utama yang memerlukan solusi hukum yang tepat. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, beberapa solusi telah diusulkan. Salah satunya adalah revisi atau perbaikan Undang-Undang ITE agar lebih jelas dalam mengatur definisidan hukuman terhadap kejahatan seperti cyberbullying dan kebocoran data. Penguatan penegakan hukum juga menjadi penting, dengan melibatkan aparat kepolisian dan pihak berwenang dalam menangani kasus-kasus kejahatan dunia maya.
Pendidikan dan kesadaran publik tentang implikasi hukum telematika serta perlunya melibatkan kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil juga menjadi bagian dari solusi yang diusulkan. Melalui langkah-langkah ini, diharapkan bahwa penanganan kejahatan dunia maya dapat menjadi lebih efektif dan terkendali. Selain itu, perbaikan keamanan akun, hukuman yang tegas bagi pelaku kejahatan, kerjasama dengan platform, tim tanggap keamanan, hukum perlindungan data pribadi, pendidikan hukum digital, pengembangan teknologi keamanan, dan audit keamanan rutinjuga menjadi langkah-langkah yang disarankan untuk mengatasi peretasan channel YouTube.
Keseluruhan, solusi-solusi ini mencoba untuk menciptakan lingkungan yang lebihaman di ranah digital, menekankan pada pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam menanggulangi kejahatan dunia maya yang semakin kompleks seiring dengan perkembangan teknologi.
Referensi
[1] Cyber crime dapat didefinisikan bahwa; “Cyber crime is used to refer both to traditional crimes (e.g extortion, fraud, forgery, identity theft, and child exploitation) that are committed over electronic networks and information system as well as to crimes unique to electronic networks (e.g hacking and denial of serviceattacks). Also acts against confidentiality, integrity and availability of data or system is the core of cyber crime” Terdapat 3 (tiga) kategori besar dari cyber crime, yaitu: 1) Computer Integrity Crime Terkait dengan integritas sistem komputer seperti hacking dan DDOS. 2) Computer Assisted Crime Perbuatan melawan hukum yang dibantu/memanfaatkan komputer seperti: virtual robberies, scams, theft. 3) Computer Content Crime Perbuatan melawan hukum yang difokuskan pada isi (content) komputer, seperti pornografi dan komunikasi yang offensive. Lihat juga US Department of Homeland Security, American Cyber Security Enhancement Act of 2005.
[2] Perkembangan teknologi yang sangat pesat di bidang ICT dan bidang-bidang lain yang terkait akan menimbulkan tantangan-tantangan baru. Tantangan-tantangan baru tersebut diakibatkan oleh ciri-ciri dari teknologinya yang mempunyai jangkauan global (borderless and unbounded); sifat anonymity dari pelakutertentu (misalnya cyber criminals) yang cenderung menyembunyikan identitas yang sesungguhnya. Kemudian juga sifat asimetri dari teknologi yang dimediasi oleh jaringan dan teknologi informasi. Masalah cyber security telah menjadi perhatian serius, baik pada level internasional maupun nasional. Dalam lingkup nasional bentuk-bentuk ancaman terhadap cyber security Perkembangan teknologi dan penerapannya tersebut, tidak hanya mengubah wajah bisnis secara revolusioner, namun juga menimbulkan perubahan dalam Tatanan Sosial, Moral, Etika dan Hukum. Nilai-nilai baru yang dihadirkan tentu saja tidak selalu sama dengan nilai-nilai sebelumnya, bahkan berpotensi menimbulkan konflik nilai yang perlu dicermati dan dicari jalan keluarnya, terutama dari perspektif Etika dan Hukum. Bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru. Globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan Teknologi Informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangs. Lihat juga UU No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Undang-Undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
[3] Utin Indah P. S. Kebijakan Penegakan Hukum Dalam Upaya Penanganan Cyber Crime Yang dilakukan Oleh Virtual Police Di Indonesia. Jurnal Studia Legalia, 2 (01), hlm.2.
[4] Pratiwi, R. A. Legal Perspectives on Cyber Crime in Indonesia. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana.
[5] Rizka Wulandari, Hanafi Arief, M. Yusran. Tinjauan Hukum Terhadap Cyber Crime Di Indonesia. (Doctoral Dissertation, Universitas Islam Kalimantan MAB), 2021.