LOGIKAHUKUM.COM – Secara umum Tindak Pidana merupakan perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang dengan cara melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
Salah satu jenis Tindak Pidana yang sering terjadi kehidupan masyarakat adalah Tindak Pidana Penggelapan dalam Jabatan. Penggelapan merupakan suatu tindakan tidak jujur dengan menyembunyikan barang / harta orang lain oleh satu orang atau lebih tanpa sepengetahuan pemilik barang dengan tujuan untuk mengalih milik (pencurian), menguasai, atau digunakan untuk tujuan lain. Tindak Pidana penggelapan dalam Jabatan diatur dalam Pasal 374 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pada dasarnya perbuatan seseorang yang miliki jabatan atau kedudukan yang mengunakan kewenangan atau hak yang dimiliki secara salah atau menyimpang bertentangan dengan maksud dan tujuan dari diberikannya wewenang dari kedudukan atau jabatan tersebut, serta melakukan perbuatan yang melawan hukum sehingga perbuatan tersebut merugikan orang lain ataupun instansi dengan cara menggelapkan baik berupa surat, barang, uang dan dokumen, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai penggelapan dalam jabatan.
Tindak Pidana Penggelapan dalam Jabatan atau dikenal dengan Penggelapan dengan pemberatan diatur dalam Pasal 374 KUHP: “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan Pidana penjara paling lama lima tahun.”[1] Pasal 374 KUHP menyebutkan secara luas pengertian dari Tindak Pidana penggelapan dalam jabatan, namun Tindak Pidana penggelapan dalam jabatan itu sendiri terdiri dari unsur-unsur subjektif berupa unsur kesengajaan dan unsur melawan hukum serta unsur-unsur objektif pada Pasal 374 KUHP berupa perbuatan memiliki, unsur objek kejahatan (sebuah benda), sebagian atau seluruhnya milik orang lain dan dimana benda berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.[2] Karena mendapat upah uang (bukan upah berupa barang), misalnya pekerja stasiun membawakan barang orang penumpang dengan upah uang, barang itu digelapkannya.[3]
Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya merupakan implementasi tanggungjawab seseorang untuk menerima setiap risiko atau konsekuensi yuridis yang muncul sebagai akibat tindak pidana yang telah dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana ini menuntut adanya kemampuan bertanggungjawab pelaku. Pada prinsipnya pertanggungjawaban pidana ini merupakan asas fundamental dalam hukum pidana, yang mendalilkan bahwa tidak ada pidana tanpa kesalahan/perbuatan pidana.
Sehubungan dengan kemampuan bertanggungjawab dimana setiap orang akan dimintakan pertanggungjawabannya didepan hukum atas apa yang telah dilakukan. Dalam hal ini tidak semua orang dapat menjadi subyek hukum pidana, karena yang hanya dapat menjadi subyek hukum adalah dengan syarat orang tersebut harus cakap dalam melakukan perbuatan hukum dengan pengertian lain mampu membedakan mana yang baik dan yang tidak baik, termasuk dalam tindak pidana penggelapan dalam jabatan.
Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan dalam jabatan didasarkan pada adanya unsur-unsur yaitu adanya kemampuan pelaku untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, adanya unsur kesalahan, serta tidak adanya alasan pemaaf dan pembenar bagi pelaku untuk melakukan kesalahan tersebut. Berikut penjelasannya yaitu :
- Adanya kemampuan pelaku untuk bertanggungjawab
Kemampuan bertanggungjawab selalu berhubungan dengan keadaan psikis pembuat. Kemampuan bertanggungjawab ini selalu dihubungkan dengan pertanggungjawaban pidana, hal ini yang menjadikan kemampuan bertanggungjawab menjadi salah satu unsur pertanggungjawaban pidana. Kemampuan bertanggungjawab merupakan dasar untuk menentukan pemidanaan kepada pembuat. Kemampuan bertanggungjawab ini harus dibuktikan ada tidaknya oleh hakim, karena apabila seseorang terbukti tidak memiliki kemampuan bertanggungjawab hal ini menjadi dasar tidak dipertanggungjawabkannya perbuatan pidana yang dilakukan, artinya pelaku perbuatan tidak dapat dipidana atas suatu kejadian tindak pidana. Pasal 44 KUHP mengatur kebalikan dari kemampuan bertanggungjawab yaitu: (1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana; (2) Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan kedalam Rumah Sakit Jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
Berdasarkan Pasal 44 KUHP di atas, maka seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dapat bertanggungjawab atas perbuatan yang telah dilakukan apabila tidak memiliki unsur kemampuan bertanggungjawab, ketidakmampuan untuk bertanggungjawab apabila didalam diri pelaku terdapat kesalahan. Kesalahan ini terbagi atas dua bagian yaitu : Pertama, dalam masa pertumbuhan pelaku, pelaku mengalami cacat mental, sehingga hal itu mempengaruhi pelaku untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan buruk. Kedua, jika jiwa pelaku mengalami gangguan kenormalan yang disebabkan suatu penyakit, sehingga akalnya kurang berfungsi.
Kemampuan bertanggungjawab juga berhubungan dengan umur tertentu bagi pelaku tindak pidana. Artinya hanya pelaku yang memenuhi batas umur tertentu yang memilki kemampuan bertanggungjawab serta memiliki kewajiban pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukan, hal ini dikarenakan karena pada umur tertentu secara psikologi dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan suatu perbuatan.
Pada dasarnya anak pada umur tertentu belum dapat menyadari dengan baik perbuatan yang telah dilakukan, artinya anak pada umur tertentu juga tidak dapat memisahkan mana yang baik dan mana yang salah, sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi anak tidak dapat menginsafkan perbuatannya.
- Adanya Kesalahan
Kesalahan sebagai unsur pertanggungjawaban pidana dapat dilihat dari bentuk kesalahan yaitu kesengajaan (dolus). Sengaja merupakan perbuatan yang dikehendaki dan diketahui. Hal ini berarti seseorang yang berbuat sengaja itu harus dikehendaki apa yang diperbuat dan harus diketahui juga atas hal yang dilakukanya. Maksud sengaja adalah bentuk sengaja yang paling sedehana, sengaja adalah yang menyatakan sengaja sebagai maksud apabila pembuat menghendaki akibat perbuatanya, pelaku tidak pernah melakukan perbuatannya apabila mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi atau sengaja dengan kesadaran tentang kepastian.
Sengaja dengan kesadaran kepastian adalah pelaku yakin bahwa akibat yang dimaksudkannya tidak akan dicapai tanpa terjadinya akibat yang tidak dimaksud, atau menurut teori kehendak, apabila pelaku juga menghendaki akibat atau hal-hal yang turut serta mempengaruhi terjadinya akibat yang lebih dahulu telah dapat digambarkan sebagai suatu akibat yang tidak dapat dihindari terjadi, maka pelaku dengan sengaja dengan kepastian terjadi. Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi/sengaja bersyarat/dolus evantualis, adalah terjadi jika pelaku tetap melakukan yang dikehendakinya walaupun ada kemungkinan akibat lain yang sama sekali tidak diinginkannya terjadi, jika akibat (yang sama sekali tidak diinginkan) itu diinginkan dari pada menghentikan perbuatannya, maka terjadi pula kesengajaan. Untuk adanya kesengajaan diperlukan dua syarat:
- Pelaku mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaan yang merupakan delik, dibuktikan dari kecerdasan pikirannya yang dapat disimpulkan antara lain dari pengalaman, pendidikan/lapisan masyarakat dimana pelaku hidup;
- Sikapnya terhadap kemungkinan itu andai kata timbul, dapat disetujui atau berani menanggung segala resikonya, dapat dibuktikan dari ucapan-ucapan pelaku disekitar perbuatan, tidak mengadakan usaha untuk mencegah akibat yang tidak di inginkan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa apabila seorang pelaku tindak pidana mengetahui bahwa perbuatannya bersifat melanggar hukum dan dengan sengaja melakukan tindak pidana penggelapan dalam jabatan, maka pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut di depan hukum.
- Tidak ada alasan pemaaf dan alasan pembenar
Pelaku tindak pidana dalam keadaan tertentu, tidak dapat melakukan tindakan lain selain melakukan perbuatan tindak pidana, meskipun hal itu tidak diinginkan. Sehingga dengan perbuatan tersebut pelakunya harus menghadapi jalur hukum. Hal tersebut tidak dihindari oleh pelaku meskipun tidak diinginkan oleh dirinya sendiri dan dilakukan oleh seseorang karena faktor-faktor dari luar dirinya. Faktor-faktor dari luar dirinya atau batinnya itulah yang menyebabkan pelaku tindak pidana tidak dapat berbuat lain yang mengakibatkan kesalahannya menjadi terhapus. Artinya, berkaitan dengan hal ini pelaku tindak pidana terdapat alasan penghapusan pidana, sehingga pertanggujawaban pidananya ditangguhkan sampai ditemukan ada tidaknya unsur alasan pemaaf dalam diri pelaku tindak pidana tersebut. Dalam hal ini sekalipun pelaku tindak pidana dapat dicela namun celaan tersebut tidak dapat dilanjutkan kepadanaya karena pelaku tindak pidana tidak dapat berbuat lain selain melakukan tindak pidana tersebut.
Seseorang baru dapat diminta pertanggungjawabannya apabila seseorang tersebut melakukan kesalahan atau melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan sesuai dengan asas legalitas. Asas legalitas ini mengandung pengertian, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan perundang-undangan. Maksudnya adalah bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila perbuatan itu memang telah diatur dan seseorang tidak dapat dihukum atau dimintakan pertanggungjawabannya apabila peraturan tersebut muncul setelah adanya perbuatan pidana.
Daftar Pustaka
[1] R. Sughandi. KUHP dengan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980, hlm. 392
[2] Andreas C. A. Loho. Alasan Pemberat dan Peringan Pidana Terhadap Delik Penggelapan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado, 2019., Volume 8 No. 12.
[3] R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Rajawali Press, Jakarta, 1992., hlm. 176-177.