Tinjauan Yuridis Terhadap Obstruction of Justice dalam Perkara Pembunuhan Berencana

Share your love

LOGIKAHUKUM.COM Istilah Obstruction of Justice belakangan ini seringkali kita dengar dan disampaikan oleh berbagai pihak, baik itu advokat dan ahli hukum maupun pengamat hukum. Ditinjau dari perkembangannya, istilah Obstruction of Justice berkembang di negara-negara Common Law dan/atau merupakan terminologi hukum dari Literatur Anglo Saxon, yang berarti suatu tindakan untuk menghalangi proses peradilan pidana berupa ancaman untuk menghalangi proses peradilan pidana atau upaya untuk menghalangi dan melakukan tindakan tindakan menghalangi proses peradilan pidana. Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Adji dalam Peradilan Bebas Negara Hukum dan Contempt of Court (2017 : 285) menjelaskan, Obstruction of Justice merupakan tindakan yang ditunjukan maupun mempunyai efek memutarbalikkan proses hukum, sekaligus mengacaukan fungsi yang seharusnya dalam suatu proses peradilan.

Dalam penanganan kasus Brigadir Joshua yang dilakukan oleh penegak hukum dianggap telah memenuhi kriteria dan/atau unsur Obstruction of Justice. Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan yang disampaikan oleh Penasihat hukum Brigadir J. secara berulang kali. Penasihat hukum Brigadir J menduga penyelidik dan penyidik melakukan Obstruction of Justice dalam perkara tersebut berupa rekayasa perkara dan menghilangkan atau merusak barang bukti.

Dalam perkembangan penyidikan yang dilakukan oleh Timsus Mabes Polri ditemukan banyak fakta peristiwa Obstruction of Justice, diantaranya adalah perbuatan merusak CCTV ditempat perkara, merekayasa lokasi kejadian dengan menembakkan peluru ke dinding rumah, dan dugaan tindakan suap dapat dikategorikan sebagai tindakan menghalang-halangi proses peradilan pidana, khususnya proses penyidikan. Perbuatan menghalang-halangi itu membuat proses penanganan perkara menjadi obscuur dan lambat.

Ruang lingkup Obstruction of Justice;

Untuk dapat melihat dan memahami Obstruction of Justice dalam kasus Brigadir J, maka terlebih dahulu kita dapat mengetahui kriteria Obstruction of Justice yang berlaku di negara Amerika Serikat. Debora C. England dalam bukunya yang berjudul “Obstruction of Justice” menyampaikan ada beberapa kriteria tindakan yang dapat digolongkan sebagai Obstruction of Justice:

  1. Aiding a Suspect : membantu tersangka dengan memberikan informasi terkait proses penyidikan yang sedang dilakukan. Pembocoran informasi ini dapat menghalangi proses peradilan karena berkat informasi tersebut tersangka dapat menghilangkan atau merusak barang bukti bentuk tindakan lain. Tergolong ke dalam aiding suspect adalah menyembunyikan tersangka.
  2. Lying, adalah tindakan dari saksi atau tersangka yang berbohong atau memberikan informasi palsu kepada penyidik (penegak hukum) pada saat dilakukannya pemeriksaan saksi atau tersangka baik secara tertulis maupun secara lisan.
  3. Famous Obstructions : bersekongkol atau bersama sama membantu pelaku tindak pidana untuk dapat mengelabui aparat penegak hukum seperti mengambil barang bukti dan menghilangkan barang bukti.
  4. Tampering With Evidence : yakni perbuatan merusak barang bukti atau alat bukti. Menyuap saksi untuk dapat merekayasa suatu peristiwa pidana juga termasuk ke dalam jenis ini.

Obstruction of Justice Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Dalam KUHP dapat ditemukan istilah dari Obstruction of Justice. Tetapi beberapa kriteria yang disampaikan di atas dapat ditemukan dalam beberapa pasal dalam KUHP, antara lain; Pasal 221 ayat (1), Pasal 231 dan Pasal 233. Pada Pasal 221 ayat (1) angka (1) KUHP diatur tentang perbuatan menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau memberikan pertolongan kepada pelaku untuk menghindari penyidikan.

Pasal 221 (1) Angka (2) menyatakan: Barang siapa yang melakukan perbuatan menutupi tindak pidana yang dilakukan, dengan cara menghancurkan, menghilangkan dan menyembunyikan barang bukti dan alat bukti diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Kemudian pada Pasal 231 ayat (1) dan (2) KUHP mengatur tentang penarikan barang sitaan yang dititipkan atas perintah hakim. Apabila terhadap barang sitaan tersebut pelaku merusak, menghancurkan, membuat tak dapat dipakai barang yang disita diancam pidana penjara paling lama empat tahun.

Pasal 233 KUHP juga mengatur Obstruction of Justice dalam hal tindakan yang dilakukan oleh seseorang berupa merusak, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai, menghilangkan barang bukti berupa akta-akta, surat-surat yang tujuannya untuk membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang. Perbuatan pidana ini diancam pidana penjara paling lama empat tahun.

Apabila dihubungkan dengan unsur-unsur tindak pidana yang diuraikan dalam berbagai pasal KUHP di atas dapat dipahami bahwa kasus Brigadir J memenuhi unsur Pasal 221 ayat (1)  angka (1) dan (2). Sebab, ada tindakan yang dilakukan oleh sebagian orang untuk memberikan pertolongan kepada pelaku tindak pidana untuk menghindari penyidikan. Ada juga tindakan lainnya yang dilakukan oleh sebagian orang melakukan perbuatan menutupi tindak pidana yang dilakukan, dengan cara menghancurkan, menghilangkan dan menyembunyikan barang bukti dan alat bukti.

Pengaturan Obstruction of Justice dalam Pasal 221 ayat (1) KUHP sesungguhnya tidak membedakan siapa pelaku, apakah masyarakat sipil atau aparat penegak hukum seperti penyidik, advokat, atau penuntut umum. Beberapa pakar hukum berpendapat sampai saat ini belum ada pasal yang mengatur tentang Obstruction of Justice yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam KUHP.

Apabila memperhatikan isi Pasal 221 ayat (1), ayat (2), Pasal 231 dan 233 KUHP diatur juga Obstruction of Justice yang dilakukan oleh aparatur negara atau aparat penegak hukum. Permasalahannya adalah apakah dapat digunakan unsur pemberat jika yang melakukan obstruction of justice tersebut justru adalah aparat penegak hukum? Bukankah mereka seharusnya menegakkan hukum dan melaksanakan pekerjaannya secara cepat agar terciptanya kepastian hukum dalam suatu peristiwa tindak pidana? Permasalahan lain yaitu tidak ada pengaturan secara jelas tentang tindakan merekayasa kasus atau merekayasa barang bukti di dalam pasal-pasal tersebut.

Rekayasa Kasus sebagai Obstruction of Justice

Dalam penanganan kasus Brigadir J, diduga ada rekayasa kasus yang dilakukan oleh tersangka. Tersangka pelaku diduga merekayasa sedemikian rupa tentang motif dan peristiwa tindak pidana pembunuhan Brigadir J. Kematian korban seolah-olah merupakan suatu peristiwa yang dapat digolongkan ke dalam noodweer atau noodweer excess. Skenario dibuat untuk mengelabui penyidik dan disertai dengan tindakan lain dengan merusak dan menghilangkan beberapa barang bukti.

Apabila peristiwa seperti ini terjadi di Amerika Serikat sebagai penganut Sistem Common Law, maka sangat mudah bagi aparat penegak hukum untuk menerapkan ketentuan Obstruction of Justice. Tindakan rekayasa yang dilakukan oleh tersangka pelaku dikualifikasi sebagai tampering with evidence dan famous obstructions. Di Indonesia, walaupun tidak dinyatakan secara tegas dalam unsur Pasal 221 ayat (1) Angka (1) dan (2) KUHP, tindakan tersebut tetap dapat didakwa karena termasuk dalam unsur perbuatan menutupi tindak pidana. Perbuatan rekayasa dalam kasus ini bertujuan untuk menutupi tindak pidana yang diduga dilakukan oleh tersangka, sehingga Pasal 221 dapat dapat digunakan penyidik dan penuntut umum. Bahkan penyidik dan penuntut umum berwenang menerapkan pasal lain sepanjang relevan dengan tindak pidana yang didakwakan.

Ancaman hukuman yang dapat dikenakan kepada pelaku Obstruction of Justice yang diatur di Pasal 221 KUHAP sangat rendah dan tidak adanya pengaturan tentang alasan pemberat yang dapat dijatuhkan kepada pelaku apabila pelaku adalah aparat penegak hukum membuat masyarakat meragukan penegakan pasal ini. Penerapan pasal tersebut bakal diuji di persidangan kasus Brigadir J.

Jadi, menurut hemat Penulis bahwa demi terciptanya rasa keadilan dan kepastian hukum dimasa yang akan datang, perlu diperkuat dan ditambahkan ketentuan mengenai Obstruction of Justice dan subjek pelakunya di dalam Rancangan Undang-Undang KUHP yang baru. Apabila hal tersebut tidak diatur sedemikian rupa, maka Obstruction of Justice dapat merusak Sistem Peradilan Pidana dan dapat merusak Kepercayaan masyarakat terhadap sistem penegakan hukum di Indonesia.

Avatar photo
Yustinus Hura, S.H.

Founder & CEO LogikaHukum.com
Advocate & Legal Consultant

Articles: 63

2 Comments

  1. Izin menambahkan terkait tindak pidana “Obstruction Of Justice” dalam perkara Brigadir J, pasal 221 KUHP yang dilakukan oleh penegak hukum (personil polisi) yang seharusnya menjadi pihak yang bertanggungjawab dalam membuat kasus tersebut terang benderang. Menurut kajian saya secara yuridis, bahwasanya Pemberatan Pidana bagi penegak hukum yang melakukan tindak pidana “Obstruction Of Justice” tersebut tidak perlu dibuat UU khusus untuk mengakomodir hal demikian karna dapat mengaburkan azas “Equality Before The Law” baik aparat kepolisian maupun masyarakat sipil memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum, demikian pula dalam mempertanggungjawabkan segala konsekuensi perbuatannya yg dilarang oleh Undang Undang. Lebih lanjut sebagai bukti pemberatan bagi oknum polisi atau bagi penegak hukum lainnya (Jaksa, Hakim, Advokat) yang terbukti bersalah selain di ancam pidana pasal 221 KUHP, juga telah diatur secara mandiri dan objektive oleh masing2 institusi sebagai sanksi tambahan, contoh dalam kasus pembunuhan berencana brigadir J, yaitu dengan lebih dulu diterapkannya nya Pasal 109 Perpol 7 Tahun 2022 tentang pelanggaran KEPP yaitu sanksi administratif dengan kategori sedang dan berat bagi personil kepolisian meliputi:

    1. Mutasi bersifat demosi paling singkat satu tahun
    2. Penundaan kenaikan pangkat paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun
    3. Penundaan pendidikan paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun;
    4. Penempatan pada tempat khusus paling lama tiga puluh hari kerja; hingga
    5. PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat).

    Apabila ada indikasi pelanggaran hukum pidana, proses dan penjatuhan sanksi KEPP tidak menghapuskan tuntutan pidana.

    Terimakasih

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *