LOGIKAHUKUM.COM – Beberapa pekan lalu, seorang santri berusia 13 tahun, TMK, mengalami hukuman tidak wajar setelah ketahuan merokok di pesantren (dayah) di Aceh Barat. Istri pimpinan pondok pesantren, yang disebut NN, menghukum TMK dengan melumuri tubuhnya dengan cabai. Pertanyaannya, apakah hukum bisa melindungi santri dari kekerasan di pesantren dan apa yang bisa dilakukan untuk mencegah hal seperti ini terulang?
Kekerasan Dalam Pendisiplinan Santri
TMK dihukum dengan dilumuri cabai setelah kedapatan merokok. Hukuman ini tidak diatur dalam aturan pesantren, dan NN, yang melaksanakan hukuman tersebut, melakukannya dengan alasan “pendisiplinan.” Sayangnya, tindakan ini termasuk bentuk kekerasan fisik yang melanggar hak-hak anak. Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 melarang segala bentuk kekerasan fisik terhadap anak, termasuk dalam lingkungan pendidikan.
Memang, dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 jo UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menekankan bahwa setiap anak punya hak untuk hidup sehat, mendapatkan pendidikan, dilindungi, dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan dan keputusan yang menyangkut dirinya. Jadi, segala bentuk kekerasan terhadap anak Indonesia, di mana pun, kapan pun, termasuk di lingkungan pondok pesantren (pendidikan agama).
Undang-undang ini memberikan landasan hukum yang kuat untuk pemerintah, institusi pendidikan, keluarga, dan masyarakat dalam melindungi hak-hak anak. Jika ada yang melanggar hak anak, seperti melakukan kekerasan, mereka bisa dikenakan sanksi sesuai hukum yang berlaku. Contohnya, santri TMK dihukum dengan cara yang menyakitkan, dilumuri cabai ditubuhnya, maka pelaku NN dapat dikenakan hukuman pidana. UU tesebut menempatkan anak sebagai individu yang perlu dihormati dan dilindungi, serta harus diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik di bawah perlindungan hukum yang menyeluruh.
Sebenarnya, Indonesia bisa dibilang sebagai negara yang punya komitmen kuat terhadap perlindungan anak. Hal ini terlihat bukan hanya dalam undang-undang, tapi juga secara jelas disebutkan dalam UUD 1945, Pasal 28 B ayat 2 “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Sesuai dengan konstitusi, negara melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak Indonesia.
Langkah Hukum terhadap Pelaku Kekerasan
Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah melaporkan kepada pihak kepolisian dan berkonsultasi dengan Dinas Perlindungan Anak. Dalam kasus TMK, NN sudah dilaporkan ke polisi dan ditetapkan sebagai tersangka.
1. Laporan Kepada Kepolisian
Korban atau keluarganya dapat melapor ke polisi. Dalam kasus ini, yang melaporkan adalah keluarga korban. NN dikenakan Pasal 80 ayat (1) dan (2) juncto Pasal 76c Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menetapkan hukuman penjara dan/atau denda bagi pelaku kekerasan terhadap anak.
2. Konsultasi dengan Dinas Perlindungan Anak
Korban juga bisa mendapatkan bantuan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) setempat untuk mendapatkan pendampingan hukum. Dalam kasus ini, Dinas PPPA Aceh sudah terlibat dalam memastikan perlindungan bagi santri dan membantu penanganan kasus ini.
Demikian jawaban dari kami. Kami harap permasalahan diatas segera teratasi. Semoga informasi ini bermanfaat.
Dasar Hukum :
1. UUD NRI Tahun 1945;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
4. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sumber :
Rino Abonita, “Santri di Aceh Barat dihukum dengan dilumuri cabai sekujur tubuh – Kekerasan di pesantren karena ‘tafsir agama dan pola didik yang salah“, diakses tanggal 15 Oktober 2024.