LOGIKAHUKUM.COM – Undang-Undang ITE mengatur perbuatan yang dilarang berupa penghinaan dan pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3), yang berbunyi “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya data Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Secara historis ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 310 dan Pasal 311.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memuat penghinaan dalam bab tersendiri, yaitu Bab XVI. Penghinaan merupakan delik aduan diatur dengan tegas dalam Pasal 319 KUHP, bahwa penghinaan yang diancam dengan pidana, tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan. Sementara itu, Undang-Undang ITE tidak mencantumkan penghinaan sebagai delik aduan, sehingga dalam penerapannya sering terjadi permasalahan. Namun, berdasarkan Putusan Mahkamah Konsitutusi (MK) Nomor 50/PUU-VI/2008 mengenai konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah ada penegasan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan.
Baca juga : Hapusnya Kewajiban Menjalankan Pidana Menurut KUHP
Dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi bahwa keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal tersebut harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang Perubahan UU ITE, ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) merupakan delik aduan ditegaskan dalam Pasal 45 ayat (5). Ketentuan tersebut memang sebagai konsekuensi dari Putusan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana ditegaskan dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang bahwa, “penambahan pasal delik aduan sesuai pendapat Mahkamah Konstitusi sehingga perbuatan pidana pencemaran dalam Pasal 27 ayat (3) yang dilakukan tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari korban penghinaan itu.” Selain itu, sebagai perbandingan UU ITE dengan KUHP, Undang-Undang ITE mengancam penghinaan dengan ancaman pidana yang lebih berat daripada KUHP.
Salah satu perbedaan antara komunikasi di dunia nyata dengan dunia maya (cyberspace) adalah media yang digunakan, sehingga setiap komunikasi dan aktivitas melalui internet, misalnya melalui transfer data, melalui distribusi, transmisi, dan/atau dapat diaksesnya informasi dan dokumen elektronik, akan memiliki dampak bagi kehidupan manusia dalam dunia nyata, dapat menimbulkan dampak negatif yang lebih ekstrem dan masif di dunia nyata. Pada kenyataannya, seringkali masyarakat tidak menyadari adanya aturan ini, sehingga dalam pelaksanaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah menjerat banyak orang.
Dasar Hukum