DISPARITAS-PIDANA-TERHADAP-JUSTICE-COLLABORATOR-DALAM-TINDAK-PIDANA-KORUPSI.pdf
Abstract
The Indonesia Corruption Watch (ICW) released the most recent report on the prosecution of corruption cases in Indonesia, which showed the significant growth from 2017 to 2021, reaching over 200 (two hundred) cases. As a consequence of this significant increase, serious corruption eradication efforts are required, not only through investigations and improved regulations, but also through a restorative approach involving the recommendations of people who work as legal collaborators. Another problem in prosecuting corruption cases is that there are no guidelines for punishing Justice Collaborators, probably resulting in a criminal disparity. For example, in the awarding of gifts for lobster cultivation and export licenses for BBL, the penalty for compensation is money for the profits received, whereas in the case of tax bribery for receiving PT WAE restitution, no substitute money penalty is imposed even though receive benefits. This research uses normative juridical research methods, namely research methods by analyzing library data using primary and secondary legal materials.The statutory approach, the case approach, and the conceptual approach were all used in this research. The findings of this study show that there are a number of factors that contribute to criminal disparities among Justice Collaborators, one of which is the absence of criminal guidelines that govern the general foundation for punishment and protection of Justice Collaborators. As a result, it is necessary to formulate sentencing guidelines to minimize the possibility of sentencing disparities so that the fulfillment of rewards or awards for Justice Collaborators can be fulfilled without causing victims of injustice.
Keywords: Disparity; Justice Collaborator; Corruption.
Abstrak
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengumumkan laporan terbaru penindakan kasus tindak pidana korupsi di Indonesia yang mengalami peningkatan signifikan dari tahun 2017 sampai 2021 yang mencapai lebih dari 200 (dua ratus) kasus korupsi. Melihat peningkatan yang signifikan perlu upaya pemberantasan korupsi yang serius, tidak hanya dengan penindakan investigasi dan perbaikan perundangan-undangan melainkan juga melalui pendekatan restorative dengan anjuran tangan pelaku yang bekerjasama sebagai kolaborator hukum. Problematika lainnya dalam penindakan perkara korupsi ialah belum adanya pedoman pemidanaan bagi Justice Collaborator sehingga membuka kemungkinan adanya Disparitas Pemidanaan, misalnya dalam perkara pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL terdakwa dijatuhi pidana uang pengganti atas keuntungan yang diterima, sementara dalam kasus penyuapan pegawai pajak atas penerimaan restitusi PT WAE, terdakwa tidak dijatuhi pidana uang pengganti meskipun terdakwa juga menerima keuntungan. penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu metode penelitian dengan melakukan analisa data pustaka menggunakan bahan hukum primair maupun sekunder. Adapun pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini ialah dengan pendekatan perundangan- undangan, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa faktor penyebab disparitas pidana terhadap Justice Collaborator salah satunya ialah belum adanya pedoman pemidanaan yang mengatur secara keseluruhan mengenai dasar pemidanaan dan perlindungan bagi Justice Collaborator. Untuk itu perlu adanya perumusan pedoman pemidanaan untuk memperkecil kemungkinan disparitas pemidanaan sehingga pemenuhan reward atau penghargaan bagi Justice Collaborator dapat dipenuhi tanpa menimbulkan korban ketidakadilan.
Kata kunci: Disparitas; Justice Collaborator; Korupsi
Artikel ini juga dapat di lihat di www.researchgate.net.
Penulis : Dr. Beniharmoni Harefa, S.H., LL.M. ( Dosen Universitas Pembanguan Nasional “Veteran” Jakarta | UPN “Veteran” Jakarta · Faculty of Law)