Hapusnya Kewenangan Penuntutan Pidana

Share your love

LOGIKAHUKUM.COM Seseorang yang telah melakukan tindak pidana pada dasarnya dapat dituntut di muka pengadilan untuk diadili, dan jika dalam persidangan dapat dibuktikan perbuatan pidana yang dituduhkan kepadanya, maka akan diputuskan bersalah untuk dapat dijatuhkan pidana sesuai dengan ancaman pidana dari peraturan pidana yang dilanggar. Namun demikian, dalam kenyataan hukum tidak selalu demikian adanya, karena terdapat hal-hal yang menurut hukum, hak untuk melakukan penuntutan pidana menjadi gugur.

Dasar aturan hak untuk melakukan penuntutan pidana diadakan, dengan maksud agar tercipta kepastian hukum bagi seseorang, sehingga terhindar dari keadaan tidak pasti atau tidak menentu dalam menghadapi penuntutan pidana. Tentang hapusnya kewenangan atau hak untuk menuntut pidana ini diatur baik dalam KUHP maupun di luar KUHP yaitu dalam UUD 1945. Di dalam KUHP, mulai Pasal 76 sampai dengan Pasal 82 KUHP disebutkan bahwa ada empat hal yang dapat menggugurkan penuntutan pidana yaitu:

  1. Nebis in Idem

Nebis in idem (non bis in idem) berasal dari bahasa Latin yang berarti tidak atau jangan dua kali yang sama. Dalam Kamus Hukum, Nebis in idem artinya suatu perkara yang sama tidak boleh lebih dari satu kali diajukan untuk diputuskan oleh pengadilan.4 Di dalam KUHP, asas ini diatur dalam Pasal 76 yang berbunyi: (1) Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. (2) Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal: a. putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum; b. putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.

Dari bunyi Pasal 76 ayat (1) KUHP ini terlihat bahwa asas ini mengandung arti bahwa seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama, terhadap mana atas perbuatan itu orang yang bersangkutan telah pernah diadili dan telah diputus perkaranya oleh hakim atau pengadilan yang berwenang untuk itu di Indonesia, serta putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[1] Azas nebis in idem ini termasuk salah satu hak asasi manusia yang harus dilindungi hukum dan sekaligus dimaksudkan untuk tegaknya kepastian hukum. Bahwa seseorang tidak diperkenankan mendapat beberapa kali hukuman atas suatu tindak pidana yang dilakukannya. Apabila terhadapnya telah pernah diputus suatu tindak pidana baik putusan itu berupa pemidanaan, pembebasan, ataupun pelepasan dari tuntutan hukum, dan putusan itu telah memperoleh keputusan hukum yang tetap, terhadap orang tersebut tidak lagi dapat dilakukan pemriksaan, penuntutan dan peradilan untuk kedua kalinya atas peristiwa yang bersangkutan.

  1. Tersangka meninggal dunia

Pasal 77 KUHP menentukan bahwa: “Kewenangan menuntut pidana hapus, jika terdakwa meninggal dunia.”[2] Ketentuan ini adalah sebagai konsekuensi dari sifat pidana yang hanya didasarkan atas kesalahan diri pribadi seorang manusia. Artinya harus dianggap bahwa hanya seorang pribadi itu sendirilah yang harus bertanggung jawab. Kesalahan hanya dapat dituntut dari seseorang yang melakukan perbuatan pidana yang masih hidup. Dengan meninggalnya tersangka, dengan sendirinya penyidikan harus dihentikan. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal pada abad modern, yakni kesalahan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang bersangkutan.

Prinsip hukum ini adalah penegasan pertanggungjawaban dalam hukum pidana, yang mengajarkan bahwa tanggung jawab seseorang dalam hukum pidana, hanya ditimpakan kepada si pelaku tindak pidananya. Tanggung jawab itu tidak dapat dialihkan kepada ahli waris. Dengan meninggalnya tersangka, penyidikan dengan sendirinya berhenti dan hapus menurut hukum. Penyidikan dan pemeriksaan tidak dapat dialihkan kepada ahli waris. Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, pertanggungjawaban pidana itu adalah pertanggungjawaban personal atau individual, artinya tidak bisa dibebankan kepada orang lain.[3]

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana memang berbeda dengan pertanggungjawaban dalam hukum perdata, dimana dalam hukum eprdata mengenal pengalihan pertanggungjawaban terhadap ahli waris. Menjadi satu pertanyaan, bagaimanakah apabila tersngka/terdakwa meninggal dunia pada saat penyidikan belum selesai? Untuk hal yang demikian, sebagaimana sudah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan bahwa kewenangan untuk menuntut pidana hapus sejak tersangka/terdakwa meninggal dunia, maka tentu saja dalam proses pemeriksaan tingkatan apapun baik itu penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, segera saja dihentikan demi hukum, karena undang-undang mengamanatkan demikian. Sehubungan dengan hapusnya kewenangan untuk melakukan penuntutan karena terdakwa/tersangka meninggal dunia, berikut ini contoh kasus yang mendapatkan putusan dari Mahkamah Agung: Putusan Mahkamah Agung Nomor: 29/K/Kr/1974 tanggal 19 Nopember 1974[4] memutuskan: hak untuk menuntut hukuman gugur karena tertuduh meninggal dunia, oleh karena mana permohonan kasasi dari jaksa dinyatakan tidak dapat diterima.

  1. Daluwarsa atau Lampau Waktu

Apabila suatu tindak pidana oleh karena beberapa hal tidak diselidik dalam waktu yang agak lama, maka masyarakat tidak begitu ingat lagi kepada peristiwa tindak pidana tersebut, sehingga seakan-akan tidak begitu dirasakan perlunya dan manfaatnya menjatuhkan hukuman kepada si pelaku. Hal ini terutama berlaku bagi tindak-tindak pidana yang ringan, yaitu golongan pelanggaran seluruhnya dan golongan kejahatan yang diancam dengan hukuman kurungan, terlebih hukuman denda.[5]

Untuk kasus-kasus yang demikian, maka apabila lebih lama pengusutuan tidak dilakukan, maka akan mengakibatkan lebih sulit lagi untuk mendapatkan bukti-bukti yang cukup apabila kemudian tersangka/terdakwa tidak mengakui akan perbuatannya. Dengan dasar pertimbangan hal-hal yang demikian, maka pembentuk undang-undang dalam hal ini KUHP dalam Pasal 78 menentukan bahwa : “kewenangan menuntut pidana hapus karenaa daluwarsa.” Ketentuan tentang Daluwarsa di dalam KUHP diatur mulai Pasal 78 sampai dengan Pasal 81 KUHP. Dalam bahasa Belanda, daluwarsa dikenal dengan istilah ‘verjaring’. Yang dimaksud dengan verjaring, 10 adalah : pengaruh dari lampau waktu yang diberikan oleh undang-undang untuk menuntut seorang tertuduh dalam perbuatan pidana.

Daftar Pustaka

[1] Alfitra. Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana. Raih Asa Sukses : Jakarta, 2012, hlm. 134.

[2] KUHAP dan KUHP, Op-Cit, hlm. 30.

[3] Djisman Samosir. Segenggam tetang Hukum Acara Pidana. Nuansa Aulia : Bandung, 2013, hlm. 108.

[4] Alfitra, Op-Cit, hlm. 149.

[5] Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika Aditama : Bandung, 2014, hlm. 168.

Dasar Hukum 

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

 

Avatar photo
Yustinus Hura, S.H.

Founder & CEO LogikaHukum.com
Advocate & Legal Consultant

Articles: 60

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *