Kekuatan Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Tanah dan/atau Bangunan Oleh Notaris

Share your love

LOGIKAHUKUM.COM Ada beberapa alasan para pihak melakukan PPJB dalam transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan adalah sebagai berikut:

  1. Belum dapat dilakukan pembayaran terhadap objek secara penuh atau lunas;
  2. Berkas administrasi yang berupa surat/dokumen objek belum dapat dilengkapi;
  3. Belum dapat dikuasainya objek oleh para pihak, penjual, ataupun pembeli; dan
  4. Pertimbangan mengenai nilai objek yang diperjualbelikan yang masih belum ada kesepakatan antara para pihak.

PPJB yang biasanya dilakukan oleh pengembang, pada umumnya dilakukan dengan cara pembeli melakukan pembayaran secara bertahap sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Sebaliknya, para pengembang mengikatkan dirinya kepada pembeli untuk menyelesaikan pembangunan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati bersama pula. Dengan demikian, merupakan suatu kewajiban bagi pembeli untuk membayar pada jadwal yang telah ditentukan, juga dapat ditetapkan suatu syarat yang bersifat timbal balik.[1] Sedangkan pengertian PPJB menurut Herlien Budiono, yaitu perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas, sehingga PPJB ini dapat dikategprikan ke dalam perjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum dilaksanakannya perjanjian utama/pokok.[2]

Pengaturan PPJB dalam KUHPerdata pada dasarnya tidak ditemukan secara tegas. Konteks PPJB ini pada prinsipnya sama dengan konteks hukum perikatan / perjanjian dalam Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (BW), dimana PPJB ini dapat dikatakan suatu perjanjian yang timbul dari adanya sifat terbuka dari Buku III KUHPerdata, yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subjek hukum untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan berbentuk apa saja, asalkan tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Adapun perjanjian atau persetujuan itu merupakan suatu perbuatan yang saling mengikatkan diri, baik terhadap 1 (satu) orang saja, atau lebih. Selain itu, perjanjian juga dapat diartikan bahwa merupakan peristiwa yang saling mengikatkan antara diri dengan orang lain yang keduanya saling berjanji dalam hal pelaksanaan sesuatu hal yang diperjanjikan. Jenis dari suatu perjanjian dapat dibedakan menjadi perjanjian: a. Timbal balik; b. Cuma-cuma dan Atas beban; c. Khusus dan umum; d. Kebendaan dan obligatoir; e. Konsensuil dan riil; dan f. Perjanjian-perjanjian yang sifatnya istimewa.

PPJB merupakan jenis perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian dimana para pihak sepakat untuk mengikatkan diri melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain, sehingga dengan dibuatnya PPJB pada dasarnya belum mengakibatkan beralihnya hak milik atas suatu benda dari penjual ke pembeli. Tahapan ini baru merupakan kesepakatan dan harus diikuti dengan perjanjian penyerahan (levering), yaitu ditandatanganinya AJB di hadapan PPAT.

Proses jual beli menggunakan struktur PPJB pada umumnya harus diikuti klausula perbuatan penyerahan, dalam hal ini penyerahan secara fisik maupun yuridis (juridische levering), dimana dalam penyerahan secara yuridis ini dilaksanakan dengan adanya penandatanganan dan pembuatan AJB di hadapan PPAT, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Oleh karena itu, apabila dalam proses jual beli tersebut belum ada AJB, maka belum bisa dikatakan telah terjadi penyerahan secara yuridis, sehingga meskipun telah terjadi PPJB, maka penyerahan fisik dan yuridis belum terjadi. Dengan demikian, dari beberapa hal tersebut, dapat diketahui bahwa antara PPJB dengan perjanjian jual beli terdapat perbedaan yang mendasar, yakni terkait perpindahan barang atau objek, dimana dalam PPJB perpindahan atas barang atau objek baru terjadi dalam waktu yang akan datang, sedangkan dalam perpindahan atas barang atau objek dalam perjanjian jual beli terjadi pada saat itu juga (berpindah seketika dari pihak penjual kepada pihak pembeli).

Dalam konteks jual beli tanah dan/atau bangunan, maka perpindahan hak atas tanah tersebut baru terjadi setelah ditandatanganinya AJB di hadapan pejabat yang berwenang, yaitu PPAT. Suatu PPJB juga mempunyai syarat sah yang tercantum juga pada Pasal 1320 BW, “Untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat :

  1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. Suatu hal tertentu;
  4. Suatu sebab yang halal

Dalam Perjanjian harus memenuhi syarat subjektif dan objektif, yakni konsensualisme, cakap, objek tertentu, dan sebab /causa halal, di mana apabila tidak terpenuhi syarat subjektif mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan apabila tidak terpenuhinya syarat objektif mengakibatkan perjanjian batal demi hukum. Adapun PPJB harus terpenuhi beberapa persyaratan yang pada dasarnya telah diatur dalam PPJB yang bersangkutan.

Pada tahun 2011, pelaksanaan PPJB ini tertuang dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman, yang memungkinkan adanya suatu perjanjian pendahuluan terkait transaksi jual beli untuk objek rumah atau rusun (rumah susun), bahkan ditegaskan juga melalui SEMA No. 4 Tahun 2016 tentang Pengertian dan Syarat Pembeli Beritikad Baik yang menyebutkan bahwa PPJB dapat terjadi apabila dalam kondisi telah ada pembayaran lunas dari pembeli serta telah ada penguasaan terhadap objek dan ditahun 2019, pemerintah mengeluarkan Permen PUPR No. 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah sebagai pelengkap ketentuanketentuan PPJB sebelumnya.

Keberadaan PPJB ini memiliki peran penting sebagai upaya permulaan sebelum adanya AJB. Dengan adanya PPJB, tidak menghalangi bagi para pihak dalam bertransaksi, meskipun pada prakteknya pada saat penandatanganan PPJB belum ada peralihan hak atas tanah karena beberapa pertimbangan karena untuk terjadi peralihan tersebut harus melalui AJB, dan PPJB ini sebagai “pintu masuk” menuju AJB. PPJB ini dimaksudkan untuk mengikat antara penjual dan pembeli, yang pada umumnya banyak dilakukan oleh pihak developer supaya memudahkan dalam bertransaksi jual beli properti. PPJB yang bersifat sebagai perjanjian pendahuluan, maka fungsi dari PPJB ini pada dasarnya untuk mempersiapkan perjanjian utama / perjanjian pokok yang nantinya akan dilakukan, dalam hal ini adalah Akta Jual Beli (AJB).

Dalam praktek, jenis dari PPJB ini ada 2 (dua), yaitu PPJB lunas dan PPJB tidak lunas. Adapun perbedaan antara keduanya yaitu:

1. PPJB lunas

  • Terdapat klausula kuasa;
  • Pembeli harus mendapatkan kuasa yang bersifat mutlak untuk menjamin terlaksananya hak pembeli dalam transaksi jual beli tersebut dan tidak akan berakhir karena sebab-sebab apapun;
  • Perjanjian ini tidak akan batal karena meninggalnya salah satu pihak, tetapi hal itu menurun dan berlaku terus bagi ahli warisnya.

2. PPJB tidak lunas

  • Adanya klausula mengenai kondisi apabila jual beli tersebut sampai batal di tengah jalan (misalnya: pembeli batal membeli, dan sebagainya).

Pejabat umum yang berwenang dalam pembuatan PPJB dan AJB ini berbeda, dimana untuk PPJB dibuat di hadapan Notaris, sedangkan untuk AJB dibuat di hadapan PPAT setempat, sehingga bentuk dari PPJB dan AJB tersebut yaitu berupa Akta Otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Asas yang digunakan pada saat pembuatan PPJB tersebut yaitu Asas Kebebasan Berkontrak (contractvrijheid) karena Notaris akan membuatkan Akta PPJB sesuai yang dikehendaki para pihak, dengan tidak menutup kemungkinan para pihak akan menyerahkan sepenuhnya kepada Notaris terkait muatan / isi dari PPJB tersebut. Dengan adanya asas kebebasan berkontrak tersebut, maka kebebasan itu ada batasannya, yaitu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Jadi, dengan terbitnya PPJB dalam bentuk Akta Otentik, maka hal tersebut dapat dijadikan sebagai bentuk keseriusan antara para pihak untuk melakukan proses jual beli tanah dan/atau bangunan yang diperjanjikan dengan adanya syarat-syarat tertentu maupun klausula kuasa dan penyerahan di dalamnya. Akta otentik ini juga dapat digunakan sebagai alat bukti yang kuat apabila di kemudian hari terjadi sengketa atau permasalahan yang diakibatkan dari pelaksanaan prestasi atau isi dari PPJB tersebut, sehingga hak dan kewajiban dari para pihak dalam PPJHB dapat terjamin.

Dasar Hukum 

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Pemukiman

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pengertian dan Syarat Pembeli Beritikad Baik

Peraturan Menteri PUPR Nomor 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata

Daftar Pustaka

[1] Arina Ratna Paramita, Yunanto, Dewi Hendrawati, Wanprestasi Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan Bangunan (Studi Penelitian Pada Pengembang Kota Semarang), Diponegoro Law Journal, Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, hal. 2.

[2] Dewi Kurnia Putri, Amin Purnawan, Perbedaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Lunas Dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tidak Lunas, Jurnal Akta Vol. 4 No. 4 Desember 2017, hal. 632.

Avatar photo
Yustinus Hura, S.H.

Founder & CEO LogikaHukum.com
Advocate & Legal Consultant

Articles: 60

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *