Penerapan Prinsip “First to File” dalam Pendaftaran Merek di Indonesia

Share your love

LogikaHukum.com – Merek (trademark) sebagai Hak atas Kekayaan Intelektual pada dasarnya ialah tanda untuk mengidentifikasikan asal barang dan jasa (an indication of origin) dari suatu perusahaan dengan barang dan/atau jasa perusahaan lain. Merek merupakan ujung tombak perdagangan barang dan jasa. Melalui merek, pengusaha dapat menjaga dan memberikan jaminan akan kualitas (a guarantee of quality) barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan mencegah tindakan persaingan (konkurensi) yang tidak jujur dari pengusaha lain yang beritikad buruk yang bermaksud membonceng reputasinya.

Merek sebagai sarana pemasaran dan periklanan (a marketing and advertising device) memberikan suatu tingkat informasi tertentu kepada konsumen mengenai barang dan/atau jasa yang dihasilkan pengusaha. Lebih-lebih dengan perkembangan periklanan, baik nasional maupun internasional dewasa ini dan dalam rangka pendistribusian barang dan/atau jasa membuat merek semakin tinggi nilainya. Merek yang didukung dengan media periklanan membuat pengusaha memiliki kemampuan untuk menstimulasi permintaan konsumen sekaligus mempertahankan loyalitas konsumen (consumer’s loyalty) atas produk barang dan/atau jasa yang dihasilkannya. Inilah yang menjadikan merek sebagai suatu keunggulan kepemilikan (ownership advantages) untuk bersaing di pasar global.[1]

Konsep kepemilikan merek di Indonesia mengandung prinsip “First to File” yang artinya perlindungan merek akan timbul apabila pemilik merek tersebut telah mendaftarkannya terlebih dahulu ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Peraturan perundang-undangan tentang Merek di Indonesia mensyaratkan hal tersebut kepada pemilik merek untuk mendapatkan perlindungan hukum dan juga sebagai dasar untuk mencegah pihak lain agar tidak menggunakan merek terdaftar secara tidak sah.

Berdasarkan konsep pendaftaran merek tersebut maka pemilik merek memperoleh perlindungan hukum tepat saat merek tersebut dinyatakan terdaftar oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu pihak lain yang berupaya untuk mendompleng nama merek terdaftar akan dikenakan sanksi pidana maupun sanksi denda sesuai dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Konsep pendaftaran merek di Indonesia berdasarkan prinsip “First to File” apabila ditinjau secara komprehensif terdapat kekosongan hukum. Sebab penerapan prinsip “First to File” yang memberikan hak eksklusif terhadap pendaftar pertama suatu merek berakibat juga terhadap pengguna merek pertama dan pemilik sebenarnya namun belum mendaftarkan di Indonesia. Pemilik merek yang sebenarnya dapat tergantikan oleh pihak lain yang telah lebih dahulu mendaftarkan merek tersebut. Hal ini berakibat saat pemilik merek yang sebenarnya akan mendaftarkan merek miliknya maka akan terhalang oleh merek terdaftar milik pihak yang telah lebih dahulu mendaftarkan nama merek. Akhirnya hal ini akan merugikan pemilik merek yang telah lebih dahulu menjalankan usaha menggunakan nama merek tersebut.

Prinsip “First To File” dalam Konsep Pendaftaran Merek

Tanda dengan daya pembeda untuk dapat dilindungi sebagai merek secara teoretis dapat dikategorikan:[2]

  1. Inherently distinctives: eligible for immediate protection upon use. (Tanda yang secara inheren memiliki daya pembeda, segera mendapat perlindungan melalui penggunaan);
  2. Capable of becoming distinctive: eligible for protection only after development of consumer association (secondary meaning). (Tanda yang memiliki kemampuan untuk menjadi pembeda, dapat dilindungi hanya setelah pengembangan asosiasi konsumen yang disebut pengertian kedua);
  3. Incapable of becoming distinctive : not eligible for trademark protection regardless of length of use. (Tanda yang tidak memiliki kemampuan untuk membedakan tidak dapat dilindungi sebagai merek meskipun dalam waktu yang panjang telah digunakan).

Tanda yang secara inheren memiliki daya pembeda (inherently distinctiveness) dan dapat segera memperoleh perlindungan. Tanda yang bagus sekali didaftarkan sebagai merek, karena setiap konsumen pada umumnya memiliki pengetahuan yang cukup tentang tanda tersebut. konsumen mengerti fungsi merek untuk pembeda, sehingga ini menyangkut reaksi langsung dari konsumen terhadap tanda tersebut.[3]

Untuk lebih memahami mengenai batasan-batasan yang dapat dikatakan merupakan persamaan penulis melihat perlunya pemahaman konsep dari persamaan itu sendiri. Perlu diingatkan doktrin yang berkembang di sekitar permasalahan persamaan, bersifat variable. Bahwa mungkin masih mengandung diferensial atau disparitas antara yang satu dengan yang lain saling berbeda. Belum terwujud harmonisasi yang mampu membina keseragaman landasan hukum (unified legal frame work). Sifat diferensial atau variable tersebut, tampak kentara dari putusan peradilan di Indonesia maupun di negara maju, seperti Amerika Serikat.[4]

Merek sebagai tanda pengenal atau tanda pembeda dapat menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) dan reputasi barang dan jasa hasil usahanya sewaktu diperdagangkan. Apabila dilihat dari sudut produsen, merek digunakan sebagai jaminan hasil produksinya, khususnya mengenai kualitas, di samping untuk promosi barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasar.[5]

Pada prinsipnya merek digunakan untuk membedakan satu nama dengan nama yang lain. Merek memberikan identitas pada barang atau jasa yang diperdagangkan kepada konsumen, adanya identitas ini memberikan keyakinan kepada konsumen untuk memilih kualitas suatu barang dan/atau jasa yang diperjualbelikan. Semakin banyak nya merek yang beredar semakin memberikan pilihan bagi konsumen dan pada akhirnya akan mempengaruhi perekonomian nasional. Istilah posisi “penggunaan merek” sangat penting dalam hukum merek. Namun, sayangnya dalam UU Merek, istilah tersebut tidak didefinisikan secara tepat. Menilai secara doktrin, dalam artikel ilmiah yang ditulis oleh Margareth Barreth, dapat disimpulkan bahwa penggunaan suatu merek dapat berupa penggunaan teknis dan penggunaan nonteknis.

Penggunaan analisis teknikal termasuk namun tidak terbatas pada, penggunaan ukuran label merek pada produk, iklan produk, media promosi produk, produk pengemasan, dan lain-lain. Dengan cara apa pun (dicetak, dicetak, dipahat, dan sebagainya). Sementara penggunaan nonteknis termasuk, namun tidak terbatas pada tindakan pengemasan visual peniruan identitas dari suatu produk tanpa secara langsung mereproduksi, secara keseluruhan atau sebagian dari etiket merek. Penggunaan merek dagang secara teknis tanpa izin dari pemiliknya, telah secara global diterima sebagai pelanggaran merek dagang. Namun, untuk menggunakan tanda di nonteknis atau sering disebut lulus, tidak semua negara secara eksplisit menetapkannya sebagai pelanggaran hak merek dagang.[6]

Akibat Hukum Pendaftaran Merek Atas Dasar Itikad Tidak Baik

Secara umum jangkauan pengertian itikad tidak baik meliputi perbuatan “penipuan” (fraud), rangkaian “menyesatkan” (misleading) orang lain, serta tingkah laku yang mengabaikan kewajiban hukum untuk mendapat keuntungan. Bisa juga diartikan sebagai perilaku yang tidak dibenarkan secara sadar untuk mencapai suatu tujuan yang tidak jujur (dishonestly purpose).[7] Hukum merek Indonesia menganut sistem “first to file”, sehingga yang pertama kali mendaftar adalah berhak atas kepemilikan suatu merek. Agar merek tersebut dilindungi undang-undang, khususnya hukum merek di Indonesia, merek tersebut harus didaftarkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia – Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual sehingga terdaftar dalam Daftar Umum Merek dan pemilik Merek yang sebenarnya akan mendapatkan sertifikat merek sebagai tanda bukti kepemilikan/hak atas merek dagang. Jika mereka tidak mendaftarkannya, maka pemilik merek yang sebenarnya akan kesulitan untuk membuktikan haknya jika suatu saat merek tersebut digunakan oleh pihak lain atau digugat oleh pihak lain.[8]

Dalam pengkajian merek, setiap perbuatan peniruan, reproduksi, mengkopi, membajak atau membonceng kemasyuran merek orang lain dianggap sebagai perbuatan pemalsuan, penyesatan atau memakai merek orang lain tanpa hak (unauthorized use) yang secara harmonisasi dalam perlindungan merek dikualifikasikan sebagai persaingan curang (unfair competition) serta dinyatakan sebagai perbuatan mencari kekayaan secara tidak jujur (unjust enrichment).

Satrio menjelaskan dua pengertian itikad baik, yaitu itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik subjektif (subjectief goeder trow) adalah berkaitan dengan apa yang ada di dalam pikiran manusia, yaitu berkaitan dengan sikap batinnya apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa kehendaknya itu bertentangan dengan itikad baik. Itikad baik objektif (objectief goeder trow) adalah kalau pendapat umum mengungkapkan tindakan begitu bertentangan dengan itikad baik.[9] Pandangan ini selaras dengan kaidah Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang mengatur pentingnya itikad baik dalam membuat dan menyusun perjanjian. Asas itikad baik menurut Ismijati berasal dari tatanan konsep hukum Romawi yang disebut Bonafides. Dalam arti subjektif, itikad baik disamakan maknanya dengan kejujuran sedangkan dalam arti objektif disamakan dengan makna kepatutan.[10]

Hukum merek dagang dianggap “pada prinsipnya subjek yang didefinisikan dengan jelas” melindungi merek terdaftar terhadap pendaftaran yang identik atau membingungkan merek serupa untuk produk yang sama atau serupa. Pokok bahasan di tingkat internasional telah menjadi pertanyaan tentang perlindungan non-terdaftar merek dan, khususnya, perluasan perlindungan untuk produk yang berbeda.

Untuk menciptakan iklim yang mendorong bagi pertumbuhan ekonomi makro, pemerintah telah menempuh berbagai langkah yang terkait dengan kebijakan menuju terbentuknya sistim HKI nasional yang memberikan ruang gerak bagi pertumbuhan investasi dan pembangunan ekonomi. Karena disadari bahwa sistim HKI secara makro dapat menggerakan roda perekonomian: pabrik, buruh, pajak, devisa, dan kegiatan ekonomi lainnya.[11]

Perlindungan hukum atas suatu merek yang dimiliki oleh seseorang perlu diberikan oleh pemerintah kepada pemilik yang sah secara tepat. Bagi pemegang merek yang sesungguhnya jelas dapat mengurangi pemasukannya karena volume penjualan menurun atau bilamana barang yang diproduksi di pemalsu merek tidak memadai kualitasnya, sehingga yang pada akhirnya nama baik merek itu akan tercemar. Begitu juga konsumen akan kehilangan jaminan (kepercayaan) atas kualitas barang yang dibelinya.

Pendaftaran atas merek harus dilakukan karena sistem perlindungan merek di Indonesia menganut sistem konstitutif. Sistem konstitutif adalah hak atas merek tercipta atau terlahir karena pendaftaran. Hak atas merek diberikan kepada pemilik merek terdaftar, sebagaimana disebutkan pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang menyatakan bahwa: “Hak atas Merek diperoleh setelah Merek tersebut terdaftar”. Tanda-tanda tersebut menjadi identitas barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh subjek hukum atau badan usaha dan identitas tersebut harus didaftarkan terlebih dahulu untuk dilindungi. Pendaftaran merek bersifat teritorial, sehingga perlindungan hanya dapat dilakukan di negara tempat merek tersebut didaftarkan dan diterima.

Jadi, Merek merupakan tanda pembeda yang memberikan ciri khas dan membedakan satu nama dengan nama yang lain, hal tersebut memberikan keunikan untuk setiap produk dagang maupun jasa sejenis yang dapat meningkatkan persaingan usaha. Berdasarkan daya pembeda pada merek dagang maupun jasa berpotensi meningkatkan industri persaingan karena konsumen memiliki variasi pilihan yang semakin banyak melalui perbedaan nama merek untuk barang sejenis. Selain memberikan daya pembeda bagi barang dagang dan jasa, merek menentukan perbedaan kualitas setiap barang dagang maupun jasa.

Faktanya terdapat kekosongan hukum pada proses pendaftaran merek di Indonesia karena menganut prinsip “First to File” yang artinya perlindungan hukum diberikan terhadap siapapun yang mendaftarkan suatu merek untuk pertama kalinya. Apabila pendaftaran merek melewati uji pemeriksaan dari tim pemeriksa merek maka perlindungan akan diberikan dalam jangka waktu tertentu dan bahkan dapat diperpanjang. Akibatnya pihak lain tidak dapat lagi mendaftarkan merek serupa walaupun sebenarnya pihak tersebut adalah pengguna pertama kali merek dagang/jasa yang dikelola diluar negeri maupun di dalam negeri.

Dasar Hukum

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67 Tahun 2016 Tentang Pendaftaran Merek.

Daftar Pustaka

[1] Hendra Tanu Atmadja, “Dampak Konvensi Internasional Terhadap Perkembangan Hukum Hak Cipta di Indonesia”, Indonesian Journal of International Law, Vol. 1 (2004), hal. 553.

[2] Eric Gastinel dan Mark Milford, “The Legal aspects of Community Trade Mark”, dalam Rahmi Jened, “Hukum Merek Dalam Era Global & Integrasi Ekonomi”, Jakarta: Kencana, 2015, hal. 64-65.

[3] Rahmi Jened, “Hukum Merek Dalam Era Global & Integrasi Ekonomi”, Jakarta : Kencana, 2015, hal. 65

[4] M. Yahya Harahap, “Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1992”, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 288.

[5] Lidya Shinta Audina, “Perlindungan Hukum Terhadap Merek Dagang Nature Republic Terhadap Pemalsuan Merek di Indonesia”, Lentera Hukum, Vol. 3 (2016), hal. 202.

[6] Agus Sardjono dkk, “Development of Collective Trademark for Batik Industry in Kampung Batik Laweyan (Laweyan Batik’s Village), Solo”, Indonesia Law Review, Vol. 5 (2015), hal. 47.

[7] Agus Mardianto, “Penghapusan Pendaftaran Merek Berdasarkan Gugatan Pihak Ketiga”, Jurnal Dinamika Hukum, Unsoed Purwokerto, Vol. 10 No. 1, 2010, hlm, 47.

[8] Yayuk Sugiarti, “Perlindungan Merek Bagi Pemegang Hak Merek Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek”, dalam Okky Andaniswari, “WellKnow Mark Overseas Legal Protection and Local Brands in Trademark Rights Violations”, Journal of Private and Commercial Law, Vol. 3 (2019), hal. 62.

[9] J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 179.

[10] Siti Ismijati Jenie, Itikad Baik Perkembangan dari Asas Hukum Khusus Menjadi Asas Hukum Umum di Indonesia, dalam Pengukuhan Guru Besar UGM, 11 September 2007. http://ugm.ac.id/id/berita/2066- pengukuhan.prof.ismijati.jenie.itikad .baik.sebagai.asas.hukum diakses pada tanggal 14 April 2018

[11] Abdul Bari Azed, “Kedudukan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual Serta Kebijakan HKI”, Indonesia Journal of International Law, Vol. 2 (2005), hal. 766.

Avatar photo
Yustinus Hura, S.H.

Founder & CEO LogikaHukum.com
Advocate & Legal Consultant

Articles: 60

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *