LOGIKAHUKUM.COM – Merek sebagai salah satu bagian dari Hak Kekayaan Intelektual memiliki peranan penting dalam dunia perdagangan barang dan jasa, karena dengan menggunakan merek atas barang-barang dan/atau produk-produk yang diproduksi, dapat membedakan asal usul mengenai produk barang dan jasa dan Merek juga dapat digunakan dalam dunia periklanan dan pemasaran.
Konsumen sering mengaitkan suatu image, kualitas atau reputasi barang dan jasa dengan merek tertentu, dimana merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga secara komersial, dan karenanya dengan merek dapat membuat harga suatu produk menjadi mahal dan bernilai tinggi. Bagi Konsumen Merek sangat penting, karena mereka membeli produk tertentu (yang terlihat dari mereknya) karena menurut mereka, merek tersebut berkualitas tinggi atau aman untuk dikonsumsi dikarenakan reputasi merek tersebut.[1]
Bahwa merek sendiri merupakan tanda pengenal yang membedakan milik seseorang dengan milik orang lain, seperti pada pemilikan ternak dengan memberi tanda cap pada punggung sapi. Tanda pengenal itu dibuat pelaku bisnis atau perusahaan yang bertujuan untuk membedakan barang atau jasa yang diproduksi. Bagi produsen merek berfungsi sebagai jaminan nilai asil produksi yang berhubungan dengan kualitas dan kepuasan konsumen.[2]
Jadi, Undang-Undang Mereka Merek dibentuk untuk melindungi kepentingan hukum bagi pemegang hak merek terdaftar dari tindak pidana penyalahgunaan atau pemalsuan suatu merek yang dapat merugikan kegiatan perdagangan secara ekonomi bagi pemegang hak merek tersebut. Perlu dipahami bahwa setiap kali menempatkan hak merek dalam kerangka hak atas Kekayaan Intelektual, maka munculnya hak atas merek itu harus diawali dari temuan dalam bidang hak atas Kekayaan Intelektual lainnya.
Baca juga : Penerapan Prinsip “First to File” dalam Pendaftaran Merek di Indonesia
Misalnya hak cipta pada merek ada unsur ciptaan misalnya desain logo, atau mereknya itu sendiri memiliki tanda pembeda Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, sebagai penyempurnaan dari aturan terdahulu, yaitu UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis Pasal 21 Ayat (1) yang berbunyi: “Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan: Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis”; Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis; Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu; atau Indikasi Geografis terdaftar.”
Berkenaan dengan Tindak Pidana pemalsuan Merek telah diatur dalam buku II, Bab XI Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan lebih spesifiknya diatur dalam Undang-undang No. 15 tahun 2001 Tentang Merek dan juga diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016.
Undang-Undang Merek tersebut dibentuk untuk melindungi kepentingan hukum bagi pemegang merek yang terdaftar dari perbuatanperbuatan terhadap merek yang dapat merugikan kegiatan perdagangan secara ekonomi bagi pemegang hak tersebut. Tanggungjawab pidana terhadap pelaku pemalsuan merek diatur dalam Pasal 100 sampai dengan pasal 102 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yaitu pidana yang dapat dijatuhkan berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Dasar Hukum
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Daftar Pustaka
[1] Tim Lindsey & Eddy Damian, dkk, 2002, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: PT. Alumni, hal. 131.
[2] Wiranto Dianggoro, 1997, Pembaharuan Undang-undang Merek dan Dampaknya Bagi Dunia Bisnis, Jakarta: Yayasan Perkembangan Hukum Bisnis, hal. 34.