LOGIKAHUKUM.COM – Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik didasarkan pertimbangan:
- Bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional;
- Bahwa hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik;
- Bahwa keterbukaan informasi publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik; d. bahwa pengelolaan informasi publik merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan masyarakat informasi;
Dalam UU No. 14 Tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik bertujuan untuk:
- Menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
- Mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
- Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik;
- Mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
- Mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak;
- Mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau
- Meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.
Dengan demikian, hak atas informasi merupakan hak yang melekat pada diri setiap manusia baik sebagai warga negara maupun sebagai pribadi.[1] Meskipun hak tersebut merupakan hak dasar, namun pelaksanaannya harus tetap memperhatikan unsur kemanfaatan informasi dan bertanggungjawab. Menurut Ridwan Mansyur[2] pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi dan data kelola Lembaga pelayanan publik untuk direformasi dalam dinamika tuntutan masyarakat. Tentunya, reformasi tersebut juga harus memperhatikan efektivitas dan efisiensi kinerja yang juga memperhatikan ketersediaan waktu serta sumber daya manusia yang ada.
Keterbukaan informasi publik di Indonesia idealnya merupakan keterbukaan yang tunduk terhadap Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik, salah satunya yakni Asas Kemanfaatan. Bahwa yang dimaksud dengan manfaat yaitu harus diperhatikan secara seimbang antara kepentingan individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain; kepentingan individu dengan masyarakat; kepentingan warga masyarakat dan masyarakat asing; kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat yang lain; kepentingan pemerintah dengan warga masyarakat; kepentingan generasi sekarang dan generasi mendatang; kepentingan manusia dan ekosistemnya, kepentingan pria dan wanita. Dalam hal ini, maka makna kemanfaatan merujukan pada kepentingan yang harus diperhatikan antara kepentingan pemerintah dengan kepentingan warga negara terkait keterbukaan informasi publik.
Mencermati uraian diatas bahwa kehadiran UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dinilai dapat memberikan arah yang jelas tentang tujuan keterbukaan informasi publik yaitu transparansi dan terselenggaranya pemerintahan yang baik serta manfaatnya, sehingga dengan demikian siapa saja dapat mengajukan permintaan informasi publik (actio popularis). Namun, apabila memerhatikan dalam pemeriksaan sengketa dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 509 K/TUN/2013 tanggal 27 Januari 2017 tentang keterbukaan informasi publik harus dipertimbangkan tentang ada tidaknya kepentingan yang berimplikasi pada kedudukan hukum (legal standing) Penggugat.
Dalam Putusan tersebut, Hakim menilai bahwa judex facti Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung telah keliru menerapkan hukum dengan pertimbangan bahwa secara filosofis terbitnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik adalah untuk transparansi dan terselenggaranya pemerintahan yang baik.[3] Oleh karena itu, siapa saja yang dapat mengajukan permintaan informasi publik (actio popularis). Namun, dalam pemeriksaan sengketa keterbukaan informasi publik harus dipertimbangkan tentang ada tidaknya kepentingan yang berimplikasi pada kedudukan hukum (legal standing) Penggugat. Hal ini sejalan dengan asas point d’interest point d’action dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan Pasal 36 ayat (1) huruf b Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik.
Dasar Hukum :
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Daftar Pustaka
[1] Febrianingsih, Nunuk. Keterbukaan Informasi Publik dalam Pemerintahan Terbuka Menuju Tata Pemerintahan yang Baik, Jurnal Rechtsvinding, Vol.1 No.1, Januari-April, 2012 hlm.136
[2] Mansyur, Ridwan. Keterbukaan Informasi di Peradilan dalam Rangka Implementasi Integritas dan Kepastian Hukum, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol.4 No.1 Maret, 2015, hlm.83
[3] Yurisprudensi Tahun 2014 : Pertimbangan dan Kaidah Hukum 13 Putusan Mahkamah Agung RI, Oleh Nor Hasanuddin, Lc, M.A., Hakim Pengadilan Agama, Penajam.
Penulis : EFRI DARLIN MARTO DACHI, S.H., S.E., M.H., CPM.,CPA, CPCLE.,CPL. (Managing Partners pada Kantor Hukum EDMD Law Firm dan Ketua Advokasi Jelajah Hukum Center Jawa Barat).