Pengertian
Interpretasi atau penafsiran merupakansalah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yanng dapat diterima masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit.
Metode Penafsiran/ Interpretasi Hukum :
1. Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal)
Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal) yaitu suatu cara penafsiran Undang-undang menurut arti kata- kata (istilah) yang terdapat pada Undang-undang. Hukum wajib menilai arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum. Mis. [a] Peraturan per.Undang-undangan melarang orang menghentikan “Kenderaannya” pada suatu tempat. Kata kendaraan bisa ditafsirkan beragam, apakah roda dua, roda empat atau kenderaan bermesin, bagaimana dengan sepeda dan lain-lain (E. Utrecht). Jadi harus diperjelas dengan kendaraan mana yang dimaksudkan. [b] Mengenai istilah “dipercayakan” yang tercantum dalam pasal 342 KUHP Mis. sebuah paket yang diserahkan kepada Dinas Perkereta Apian (PJKA). Sedangkan yang berhubungan dengan pengiriman tidak ada selain Dinas tersebut artinya dipercayakan. [c] Istilah “menggelapkan” dalam pasal 41 KUHP sering ditafsirkan sebagai menghilangkan.
2. Metode Interpretasi secara historis
Metode Interprestasi secara historis yaitu menafsirkan Undang-undang dengan cara melihat sejarah terjadinya suatu Undang-undang. Penafsran historis ini ada 2 yaitu :
a. Penafsiran menurut sejarah hukum (Rechts historische interpretatie) adalah suatu cara penafsiran dengan jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum seluruhnya. Contoh : KUHPerdata BW) yang dikodifikasikan pada tahun 1848 di Hindia Belanda. Menurut sejarahnya mengikuti code civil Perancis dan di Belanda (Nederland) di kodifikasikan pada tahun 1838.
b. Penafsiran menurut sejarah penetapan suatu undang-undang Wethistoirsche interpretatie) yaitu penafsiran Undang-undang dengan menyelidiki perkembangan suatu undang-undang sejak dibuat, perdebatan-perdebatan yang terjadi dilegislatif, maksud ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk Undang-undang pada waktu pembentukannya.
3. Metode interpretasi secara sistematis
Metode interpretasi secara sistematis yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu per Undang-undangan yang bersangkutan, atau dengan Undang-undang lain, serta membaca penjelasan Undang-undang tersebut sehingga kita memahami maksudnya. Contoh :
a. Dalam pasal 1330 KUHPerdata menyatakan “Tidak cakap membuat persetujuan/perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa”. Timbul pertanyaan : “Apakah yang dimaksud dengan orang-orang yang belum dewasa”. Untuk hal tersebut harus dikaitkan pada pasal 330 KUHPerdata yang mengatur batasan orang yang belum dewasa yaitu belum berumur 21 tahun.
b. Apabila hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan diluar perkawinan orang tuanya, tidak cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan didalam KUHPerdata (BW) saja melainkan harus dihubungkan juga dengan pasal 278 KUHP.
4. Metode Interpretasi secara Teleologis Sosiologis
Metode Interpretasi secara Teleologis Sosiologis yaitu makna Undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan artinya peraturan perUndang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan Undang-undang yang sudah tidak sesuai lagi disesuaikan dengan keadaan sekarang untuk memecahkan/menyelesaikan sengketa dalam kehidupan masyarakat. Peraturan yang lama dibuat aktual. Penafsiran seperti ini yang harus dimiliki lebih banyak pada hakim-hakim di Indonesia mengingat negara Indonesia yang pluralistik dan kompleks. Peraturan per Undang-undangan dalam tatanan Hukum Nasional harus diterjemahkan oleh para hakim sesuai kondisi sosial suatu daerah. Umpamanya : Didaerah suku Dayak di Kalimantan, tanah dianggap seperti ibu yang dapat dimiliki oleh setiap orang dan harus dijaga/dirawat layaknya menjaga/merawat seorang ibu. Dalam hal ini hakim harus menserasikan pandangan sosial kemasyarakatannya dengan Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang UU Pokok-pokok Agraria.
5. Metode Intepretasi secara Authentik (Resmi)
Metode Intepretasi secara Authentik yaitu penafsiran yang resmi yang diberikan oleh pembuat Undang-undang tentang arti kata-kata yang digunakan dalam Undang-undang tersebut. Contoh : Dalam Titel IX Buku I KUHP memberi penjelasan secara resmi (authentik) tentang arti beberapa kata/sebutan didalam KUHP. Seperti dalam Pasal 97 KUHP yang dimaksud “sehari” adalah masa yang lamanya 24 jam, “sebulan” adalah masa yang lamanya 30 hari. Tetapi tafsiran dalam Titel IX Buku I KUHP ini tidak semestinya berlaku juga untuk kata-kata yang dipergunakan oleh peraturan pidana diluar KUHP artinya Hakim tidak hanya bertindak sebagai corong hukum saja melainkan harus aktif mencari dan menemukan hukum itu sendiri dan mensosialisasikannya kepada masyarakat.
Baca juga : Penggeledahan Kantor Advokat : Sebuah Renungan Penegakan Hukum Indonesia
6. Metode interpretasi secara ekstentif
Metode interpretasi secara ekstentif yaitu penafsiran dengan cara memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam Undang-undang sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan kedalamnya. Contoh : Bahwa Jurisprudensi di Nederland : “Menyambung” atau “menyadap” aliran listrik dapat dikenakan pasal 362 KUHP artinya Jurisprudensi memperluas pengertian unsur barang (benda), dalam pasal 362 KUHP.
7. Metode Interpretasi Restriktif
Metode Interpretasi Restriktif yaitu penafsiran yang membatasi/mempersempit maksud suatu pasal dalam Undang-undang seperti : Putusan Hoge Road Belanda tentang kasus Per Kereta Api “Linden baum” bahwa kerugian yang dimaksud pasal 1365 KUHPerdata juga termasuk kerugian immateril yaitu pejalan kaki harus bersikap hati-hati sehingga pejalan kaki juga harus menanggung tuntutan ganti rugi separuhnya (orang yang dirugikan juga ada kesalahannya) ( Mr. C. Asser, 1986, hal 84-85).
8. Metode interpretasi Analogi
Metode interpretasi Analogi yaitu memberi penafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan azas hukumnya sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak termasuk kedalamnya dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. Contoh penafsiran penjualan dalam pasal 1576 KUHPerdata yaitu “Penjualan barang yang disewa tidak memutuskan sewa menyewa kecuali apabila diperjanjikan”. Apabila misalnya seseorang menghibahkan rumah miliknya kepada orang lain sedangkan rumah tersebut dalam keadaan disewakan kepada orang lain, bagaimana?. Berdasarkan persamaan yang ada dalam perbuatan memberi (hibah), menukar, mewariskan dengan perbuatan menjual, dan persamaan itu adalah perbuatan yang bermaksud mengasingkan suatu benda maka hakim membuat suatu pengertian “bahwa pengasingan (menukar, mewariskan) tidak memutuskan (mengakhiri) sewa menyewa. Pasal 1576 KUHPerdata walau hanya menyebut kata “menjual” masih juga dapat diterapkan pada peristiwa hibah, menukar mewariskan. Oleh konstruksi hukum seperti itu. Hakim dapat menyempurnakan sistem formil hukum. Konstruksi hukum seperti diatas menurut Scholten tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Konstruksi itu harus meliputi bahan-bahan yang positip (Contructive moet de positive stof dekken). Yang dimaksud dengan bahan-bahan positip adalah sistem materil Undang-undang yang sedang berlaku. Konstruksi itu harus didasarkan atas pengertian-pengertian hukum yang memang ada dalam Undang-undang yang bersangkutan dan menjadi dasar Undang-undang yang bersangkutan. Konstruksi tidak boleh didasarkan atas anasir-anasir (elemen-elemen) diluar sistem materil positip. Didalam hukum pidana analogi dilarang sedangkan metode interpretasi ekstensif dibolehkan (contoh Kasus penyambungan/penyadapan aliran listrik). Hukum di Inggris yang sebagian tertulis (Statute law) dan sebagian tidak tertulis (Common law) mengenal analogi. Walaupun demikian Hukum di Inggris menolak menggunakan analogi terhadap hukum pidana. Sedangkan di Uni Soviet menghilangkan dengan sengaja ketentuan nullum delictum dan menggunakan prinsip bahwa hakim pidana harus menghukum semua tindakan yang membahayakan masyarakat.
9. Metode interpretasi argumentus a contrario
Metode interpretasi argumentus a contrario yaitu suatu penafsiran yang memberikan perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam Undang-undang. Berdasarkan perlawanan ini ditarik suatu kesimpulan bahwa perkara yang dihadapi tidak termasuk kedalam pasal tersebut melainkan diluar peraturan per undang-undangan. Scolten mengatakan bahwa tidak hakekatnya pada perbedaan antara menjalankan Undang-undang secara analogi dan menerapkan Undang-undang secara argumentum a contrario hanya hasil dari ke 2 menjalankan Undang-undang tersebut berbeda-beda, analogi membawa hasil yang positip sedangkan menjalankan Undang-undang secara Argumentus a contrario membawa hasil yang negatif. Contoh: Dalam pasal 34 KUHPerdata menyatakan bahwa seorang perempuan tidak dibenarkan menikah lagi sebelum lewat suatu jangka waktu tertentu yaitu 300 hari sejak perceraian dengan suaminya. Berdasar Argumentus a contrario (kebalikannya) maka ketentuan tersebut tidak berlaku bagi lelaki/pria. Menurut Azas hukum Perdata (Eropa) seorang perempuan harus menunggu sampai waktu 300 hari lewat sedangkan menurut Hukum Islam dikenal masa iddah yaitu 100 hari atau 4 x masa suci karena dikhawatirkan dalam tenggang waktu tersebut masih terdapat benih dari suami terdahulu. Apabila ia menikah sebelum lewat masa iddah menimbulkan ketidak jelasan status anak yang dilahirkan dari suami berikutnya.
10. Metode Penafsiran Etimologi
Metode Penafsiran Etimologi yaitu suatu penafsiran ketentuan peraturan perundang-undangan berdasarkan kata. Contoh : Demokrasi berasal dari kata (demos dan cratos)
11. Metode Penafsiran Teoritis
Metode Penafsiran Teoritis yaitu suatu penafsiran berdasarkan padanngan para pakar/ ahli hukum. Contoh dalam perkara tertentu dihadirkan saksi ahli.
12. Metode Penafsiran Hakim
Metode Penafsiran Hakim yaitu suatu Penafsiran hakim terhadap peraturan perundang-undangan. Contoh : Pembunuhan dapat terjadi spontan/ seketika itu juga atau didahului penganiayaan atau berencana, atau secara sadis.
13. Metode Penafsiran Yusprudensi
MetodePenafsiran Yusprudensi yaitu suatu penafsiran berdasarkan kejadian yang sama. Contoh : Kasus sama yang telah memiliki Kekuatan Hukum.
Tujuan Penafsiran Hukum
adalah untuk menyatukan suasana kebatinan dan lahiriah sebanyak-banyak orang terhadap materi muatan pada peraturan perundang-undangan.
Yang dapat menafsirkan hukum dalam prakteknya adalah aparat penegak hukum formal (Hakim, Jaksa, Polisi, Pengacara) hukum secara subtansial (seluruh aparatur negara)
Referensi :
- Sudikon Mertokusumo, “Mengenal Hukum Suatu Pengantar”, Liberty, Yogyakarta, 2008
- Website ditjenpp.kemenkumham.go.id (http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=849:penemuan-hukum-oleh-hakim-rechtvinding&catid=108&Itemid=161) diakses pada tanggal 28 Agustus 2023 pukul 16.30 WIB.