Penegakan Hukum Terhadap LGBT di Indonesia

Share your love

LOGIKAHUKUM.COM – Kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) salah satu fenomena sosial terus menjadi polemik di Negara Belahan Dunia termasuk Indonesia dengan berbagai macam cara mereka gunakan untuk melegalkan perilaku ini agar di setiap Negara mengakui dan dilindungi haknya secara hukum. LGBT bukan hanya persoalan agama dan etika, tapi sudah menyentuh politik elit global. Makin banyak praktik perkawinan LGBT, makin mengancam eksistensi manusia salah satunya tidak dapat memperoleh keturunan, yang artinya tidak akan memberikan generasi berikutnya untuk bangsa Indonesia terkhususnya. Maka melihat akibat tersebut harusnya tidak ada nilai tawar melegalkannya di Negara Republik Indonesia. Keberadaan LGBT di Indonesia terus bergulir lantaran banyaknya pro dan kontra terhadap hal ini. Penilaian masyarakat yang pro terhadap LGBT menyatakan bahwa Negara dan masyarakat tidak boleh mendiskriminasikan LGBT karena mereka laki-laki dan perempuan merupakan manusia yang punya hak hidup dan menurut mereka mencoreng hak asasi manusia yang harusnya dihargai.

Indonesia merupakan Negara yang berpegang teguh pada Pancasila sebagai dasar Negara yang ber keyakinan dengan menganut nilai-nilai yang terkandung didalamnya salah satunya terletak pada sila pertama setiap warga Negara Indonesia berketuhanan yang Maha Esa, dari sini sudah jelas dan dapat disimpulkan bahwa jelas mencederai nilai – nilai Pancasila karena Indonesia merupakan Negara yang beragama, apapun Agama di Indonesia hampir semua sependapat melarang perbuatan penyimpangan seksual dalam bentuk apa pun termasuk merubah gender asli dari lahir. Manusia sejatinya diciptakan dalam dua jenis untuk berpasangan, yaitu laki-laki dan perempuan. Konsepsi ini diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. pada Pasal 1 menyatakan hanya antara laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri yang berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa, secara tidak langsung perkawinan sejenis bertentangan dengan hukum Indonesia. Penulis juga berpendat bahwa LGBT tidak cocok di kultural masyarak indonesia termasuk melegalkan kawin sesama jenis karena terjadi penyimpangan sosial yang tidak sesuai dengan norma, moral, etika yang dianut di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Saat ini norma hukum yang ada memang belum mengakomodir secara khusus pengaturan LGBT di Indonesa namun bisa saja menggunakan norma kesusilaan dan kesopanan sesuai Pasal 281 KUHP yang menekankan masalah kesusilaan dan jika merujuk pada kekerasan seksual, hingga dilakukan terhadap anak di bawah umur berpotensi melanggar pasal 292 KUHP.

Ketentuan tindak pidana homoseksual yang dimuat dalam Pasal 292 KUHP hanya memberlakukan hukum seks sesama jenis, di mana pelakunya antara orang dewasa dengan anak-anak masih di bawah umur. Namun Pasal 292 KUHP penulis berpendapat belum menjangkau keseluruhan pihak, sehingga  tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap semua lapisan masyarakat. Pasal 292 pernah diuji oleh Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Euis Sunarti, dan sejumlah pihak di Mahkamah Konstitusi. salah satu gugatannya, pemohon meminta frasa “belum dewasa” dihapuskan, jadi semua perbuatan seksual sesama jenis dapat dipidana pada Pasal 292. Selain itu, homoseksual haruslah dilarang tanpa membedakan batasan usia korban, baik masih belum dewasa maupun sudah dewasa. Pada putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016 menolak uji materi salah satu alasan kewenangan memperluas subyek dan konteks unsur pidana baru dalam suatu undang-undang bukan kewenangan MK, melainkan kewenangan presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 292 KUHP menyatakan larangan terhadap orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis kelamin yang diketahuinya atau sepatutnya diduganya belum dewasa. Larangan pada pasal tersebut, lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 495 ayat (1) RUU KUHP dengan batasan usia, yaitu hanya dipidana jika dilakukan terhadap orang di bawah umur 18 tahun. Selain itu, Pasal 495 ayat (1) RUU KUHP memuat sanksi pidana. Pidana yang dijeratkan semula pidana penjara paling lama 5 tahun, menjadi pidana penjara paling lama 9 tahun.

Di dalam perkembangannya, terdapat tambahan ayat baru berupa ancaman pidana tersebut tidak hanya berlaku pada perbuatan cabul dibawah umur, namun juga terhadap seseorang yang melakukan perbuatan cabut terhadap orang berusia diatas 18 tahun.

Namun, usulan mengenai ancaman pidana penjara terhadap orang yang berusia diatas 18 tahun masih belum disetujui oleh berbagai fraksi. Berbagai pihak menyatakan kontra lantaran negara tidak bisa mengintervensi hak dasar warga hanya karena perbedaan orientasi seksual. Sementara, LGBT tidak bisa terus berlindung dibalik hak asasi manusia yang mana hak asasi manusia harus tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Banyaknya pendapat mengenai pelaku LGBT harus dikenakan pidana menimbulkan berbagai polemik. Mengenai kriminalisasi atau ancaman tuntutan penjara dan sanksi setidaknya harus didasari oleh dua kriteria, yaitu:

  1. Perbuatan tersebut berbahaya bagi individu atau masyarakat
  2. Perbuatan tersebut amoral

LGBT dapat digolongkan pada kriteria amoral yaitu perbuatan cabul LGBT, namun harus dapat memperhitungkan pembuktiannya, definisi yang jelas, bagaimana penegakan hukum terhadap pelanggaran perbuatan cabul LGBT. Selain itu harus jelas sarana hukum lainnya yang dapat memberikan hasil yang lebih baik dalam mengatasi perilaku LGBT, serta pembentuk undang-undang juga harus dapat memastikan berlakunya larangan terhadap perbuatan cabul LGBT sejalan dengan pandangan moral yang berlaku di tengah masyarakat. LGBT juga diartikan penyimpangan kodrat dan fitrah manusia. Manusia sejatinya diciptakan dalam dua jenis untuk berpasangan, yaitu laki-laki dan perempuan. Konsepsi ini diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan pada Pasal 1 menyatakan hanya antara laki-laki dan perempuan, yang secara tidak langsung perkawinan sejenis bertentangan dengan hukum Indonesia.

LGBT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

Nasib kaum LGBT menjadi parameter situasi Hak Asasi Manusia di Indonesia. HAM diatur pula melalui UUD 1945 merujuk Pasal 28 E ayat 2 yaitu semua orang bebas meyakini kepercayaan, menyatakan sikap atau pikiran sesuai keinginan dan hati nurani masing-masing, sehingga banyak argumentasi ini menjadikan payung hukum perlindungan para kaum homoseksual dan sejenisnya. Setiap manusia memiliki kebebasan yang dijalani masing-masing, namun ketentuan HAM dalam UUD dikunci oleh pasal 28J ayat 2 yaitu “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.)” Setiap orang yang berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia diharuskan untuk selalu mematuhi peraturan yang telah diberlakukan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP LGBT

Banyak orang menganggap LGBT sebagai penyakit, dimana harus segera dihentikan agar jumlahnya tidak terus-terusan meningkat sehingga berakibat merusak generasi muda bangsa yang taat terhadap agamanya dan mencintai kearifan lokal. Orientasi seksual terhadap sesama jenis adalah kelainan yang harus disembuhkan serta penyimpangan yang harus diluruskan. LGBT bisa saja menular, Penularannya bukan dalam konsep ada virus, ada kuman atau pakai ilmu pelet tapi perilakunya, yaitu teori penularan dari konsep pembiasaan. Dia mengikuti satu pola, lalu menjadi satu karakter, jadi kepribadian, jadi pembentuk kebiasaan, dan akhirnya menjadi penyakit. Menularnya dari konteks perubahan perilaku dan pembiasaan. Penulis dalam hal ini bukan mendiskriminasikan mereka namun sebagai sesama umat manusia kita menyayangi mereka dengan syarat kembalikan mereka kepada kenormalan mereka, yaitu laki-laki menikahi perempuan dan perempuan dinikahi laki-laki.

Kesimpulan

Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak dan kebebasan dan orientasi seksual adalah hak asasi seseorang. Namun, jangan melakukan tindakan seksual yang merugikan orang lain terutama perilaku penyimpangan sosial yang tidak sesuai dengan norma, moral, etika, agama, dan nilai kultur Masyarakat Indonesia. Penulis berpendapat mengenai LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) salah satu hal yang urgent diatur secara spesifik dalam KUHP mengingat Pasal 292 KUHP belum mengatur secara tegas tentang LGBT agar bisa meiliki hukum yang fungsinya mendidik bukan berarti mendiskriminasikan. Pencegahan juga bisa dilakukan mulai dari didikan keluarga, lingkungan pendidikan, agama dan kultur masyaarakat Indonesia yang sebenarnya.

 

Dasar Hukum

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Referensi

https://nasional.tempo.co/read/1042628/dede-oetomo-komentari-putusan-mk-yang-tolak-kriminalisasi-lgbt

 

Penulis : Niatman Aperli Gea

Kader Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) Tangerang

Mahasiswa Fakultas Hukum STIH Gunung Jati

 

Avatar photo
Niatman Aperli Gea, S.E., S.H.

Advocate & Legal Consultant

Articles: 1

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *