Perlindungan Hukum Terhadap Korban Penipuan dalam Transaksi Jual-Beli Secara Online

Share your love

LOGIKAHUKUM.COM Perkembangan teknologi internet saat ini mempermudah manusia dalam mengakses segala aspek, termasuk pada bidang perdagangan. Perkembangan ini memicu lahirnya platform digital dalam dunia perdagangan. Hal ini merubah kebiasaan manusia yang terbiasa melakukan transaksi jual-beli dengan cara harus bertemu langsung secara fisik, tetapi saat ini tidak harus bertemu secara langsung, namun hanya dengan cara memfoto barang yang dijualnya untuk kemudian diberikan keterangan tentang transaksi tersebut dengan jelas, maka semua orang dapat melihatnya dan menarik minat konsumen untuk membelinya dengan cara online.

Kemudahan tersebut memicu perkembangan kegiatan jual-beli secara online dengan cepat. Sebenarnya jual beli online merupakan model jual-beli modern yang memanfaatkan teknologi sebagai sarana untuk bertransaksi. Kesepakatan antara penjual dan pembeli meskipun hanya melalui pesan singkat tetap dianggap sebagai perikatan yang mengikat. Jual-beli online hakikatnya merupakan sama dengan kesepakatan jual-beli secara umum, karena keduanya menggunakan asas konsensualisme.

Pihak penjual memberikan penawaran atas barang yang diperjualbelikan dan pihak pembeli menyetujui biaya yang harus dibayarkan atas barang tersebut. Terdapat kelebihan atau keuntungan dalam jual-beli online yaitu informasi atas produk yang dijual dapat diperoleh secara detail jika dibandingkan dengan perdagangan konvensional. Selain itu pembeli juga tidak perlu repot untuk datang ke banyak lokasi guna mencari produk yang diinginkan. Demikian halnya dengan penjual, dapat memasarkan produknya secara luas, sehingga keuntungan yang diperoleh lebih besar. Meskipun terdapat banyak kelebihan tetapi jual-beli secara online terdapat kelemahan sebab pembeli tidak melihat langsung barang yang dibelinya sehingga dapat berakibat timbulnya permasalahan yang dapat merugikan apabila produk yang diterima ternyata tidak sesuai dengan penawaran atau yang telah dijanjikan.

Baca juga : Sanksi Pidana Bagi Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak Menurut UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

Sistem jual-beli online memang sangat mudah, tetapi karena pembeli tidak melihat langsung kondisi produk dibeli dan hanya menerka-nerka dari detail produk yang dideskripsikan oleh penjual atau melalui gambar produk. Hal tersebut terkadang menjadi celah terjadinya tindak pidana penipuan. Pada kondisi seperti ini pihak konsumen harus mendapatkan perlindungan hukum dengan cara memberikan sanksi hukum yang sesuai dengan aturan perundang-undangan bagi pelaku, sehingga pihak konsumen memperoleh perlindungan hukum yang pasti.[1] Pada proses jual-beli online meskipun pembeli dan penjual tidak saling bertemu tetapi secara hukum transaksi ini tetap sah dan melahirkan prestasi bagi kedua belah pihak, sehingga apabila ditemukan unsur penipuan dalam proses jual-beli online tersebut dapat berakibat hukum, baik secara pidana maupun perdata.

Permasalahan ini secara tegas diatur Pasal 46 PP No. 71 Tahun 2019 dan Pasal 18 UU ITE. Walaupun didalam UU ITE tidak secara terperinci mengatur tentang hak dan kewajiban dari penjual dan atau pembeli pada jual-beli online, namun UU ITE ini tetaplah menjadi sumber peraturan dipergunakan dalam penyelesaian permasalahan yang timbul akibat transaksional secara online di Indonesia.

Penggunaan internet sebagai kemajuan teknologi informasi dan transaksi elektronik, haruslah dipergunakan dengan bijak sesuai Pasal 3 UU ITE yang secara singkat menyatakan bahwa dalam pemanfaatannya harus dengan asas kepastian hukum, asas kemanfaatan, asas kehati-hatian, asas iktikad baik, dan asas kebebasan dalam berkontrak.

Peningkatan jual beli yang dilakukan secara online, tentunya selaras dengan potensi lahirnya pelanggaran terhadap asas iktikad baik yang dapat dilakukan salah satu pihak. Sekalipun para pihak sudah mengetahui adanya akibat hukum dari pelanggaran dalam perjanjian jual-beli online, yaitu lahirnya pertanggungjawaban pidana karena telah terpenuhinya unsur means rea dan actus reus. Meskipun UU ITE tidak mengatur secara tegas tentang penipuan online, namun pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, dimana sampai saat ini masih dipergunakan dan diterapkan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.[2]

Selaras dengan asas legalitas “Nullum delictum nulla poena sine praevia” yang berarti dalam penjatuhan pemidanaan haruslah ada hukum yang menganturnya terlebih dahulu. Asas ini membuat penalaran hukum bahwa sekalipun belum ada aturan yang secara tegas mengatur mengenai tindak pidana penipuan jual-beli online, tetapi pelaku dapat dikenakan Pasal 28 ayat (1) UU ITE,[3] yang mana alat bukti yang akan digunakan dalam proses di tingkat penyidikan, tingkat penuntutan dan di sidang pengadilan menurut ketentuan undang-undang merupakan perluasan alat bukti yang termaktub dalam Pasal 184 KUHP[4] berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

Baca juga : Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang PPHI

Hal ini merupakan upaya penegakan supremasi hukum guna mengatasi dan mencegah terjadinya permasalahan hukum dalam jual-beli online, terutama penipuan pada jual-beli online. Pada jual-beli online para pihak wajib mematuhi aturan hukum yang diatur dalam UU ITE. Meskipun telah ada pengaturan hukum tentang transaksi jual-beli online tersebut tetapi kenyataannya penipuan pada jual-beli online masih tergolong tinggi. Hal ini bisa saja dikarenakan penegakan hukumnya belum cukup memberikan kepastian hukum dikarenakan masih terdapat kerancuan dalam hal aturan hukum yang ada. Sehingga tidak jarang aparat penegak hukum juga belum tegas dalam menerapkan aturan hukum pada penipuan jual-beli online tersebut sebab belum adanya aturan yang secara tegas mengatur transaksi jual-beli online baik secara prosedur, unsur-unsur tindak pidana penipuan online hingga sanksi pidananya.

Bentuk penipuan yang sering terjadi dalam transaksi jual-beli online, yaitu pembeli sudah melunasi pembayaran atas barang yang dipesannya tetapi barang tidak dikirimkan oleh penjual karena barang yang diperjualbelikan adalah fiktif, atau barang yang sampai ke pembeli rusak dan tidak sesuai. Dalam kondisi seperti itu sudah pasti pembeli mengalami kerugian, sehingga menurut hemat penulis haruslah ada konsekuensi hukum yang diberikan terhadap penjual, dalam bentuk pertanggungjawaban pidana.

Menentukan pola pertanggungjawaban pidana terhadap penipuan jual-beli online itu diperlukan suatu aturan hukum yang tegas tentang tindak pidana penipuan dalam transaksi jual-beli secara online. Penyelesaian kasus penipuan jual-beli online, masih sulit karena belum ada ketentuan khusus yang secara tegas mengatur atau menguraikan mengenai perbuatan tersebut. Penggunaan Pasal 378 KUHP pada tindak pidana penipuan transaksi jual-beli online dirasakan kurang efektif karena pembuktian tindak pidana jual-beli online ini sulit ditemukan. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa di Indonesia telah lahir undang-undang yang berkaitan dengan cybercrime yaitu UU ITE. Namun undang-undang tersebut tidak secara tegas mengatur tindak pidana jual-beli online. Ketidakjelasan ini berdampak negatif pada upaya perlindungan hukum terhadap korban dan/atau konsumen.

Terhadap kasus tindak pidana penipuan jual-beli online, korban penipuan lebih menginginkan upaya ganti rugi materiil, atau mereka meminta untuk dana yang telah dibayarkan dikembalikan oleh pihak penjual. Undang-undang telah mengatur mengenai hal ini sebagai salah bentuk perlindungan terhadap korban yaitu berupa kompensasi dan restitusi. Ganti kerugian yang diberikan sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana dikenal sebagai bentuk Restitusi.[5] Sedangkan menurut Stephen Schafer, perbedaan kompensasi dengan restitusi adalah teletak pada pertanggungjawabnya jika kompensasi adalah suatu pengantian yang lahir dari permintaan korban sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari adanya suatu putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh pelaku sebagai pertanggungjawaban terpidana (the responsibility of the offender).[6] Maksudnya adalah bagi korban kejahatan penipuan dalam transaksi jual-beli online saat ini akan mendapatkan ganti kerugian dari pelaku secara langsung dan perlindungan hukum dari negara, dimana pengantian atas kerugian tersebut dapat dilakukan secara langsung sebelum adanya upaya hukum litigasi atau setelah adanya proses penyelesaian secara litigasi.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban hukum atas tindak pidana penipuan dalam transaksi jual-beli secara online telah diatur dalam hukum positif di Indonesia yaitu mengacu pada KUHP dan UU ITE, meskipun keduanya belum mengatur secara tegas terkait tindak pidana penipuan transaksi jual-beli online. Pada penipuan jual-beli online melahirkan suatu pertanggungjawaban pidana berupa hukuman pidana bagi pelaku. Negara memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana penipuan jual beli online berupa pemberian ganti kerugian.

 

Daftar Pustaka

[1] Basyirah Mustarin, “Tinjauan Hukum Nasional Dan Hukum Islam Terhadap Konsumen Pengguna Jasa Jual Beli Online,” Jurnal Restorative Justice 1, no. 2 (2017): 132–45, https://doi.org/10.35724/jrj.v1i2.1915, hlm. 137.

[2] Isi Pasal 378 KUHP “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

[3] Isi Pasal 28 ayat (1) UU ITE bahwa “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik” serta “diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

[4] Isi Pasal 184 ayat 1 KUHP : “Alat bukti yang sah ialah: a.keterangan saksi; b.keterangan ahli; c.surat; d.petunjuk; e.keterangan terdakwa”

[5] Chaerudin dan Syarif Fadilah, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum  Pidana Islam, Ghalia Pers, Jakarta, 2004, hal. 55.

[6] Stephen Schafer, Victim and Criminal, Random House, New York, 1962. hal. 112.

Avatar photo
Yustinus Hura, S.H.

Founder & CEO LogikaHukum.com
Advocate & Legal Consultant

Articles: 63

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *