LOGIKAHUKUM.COM – Pada dunia bisnis/perdagangan, merek telah menjadi elemen penting karena dapat memberikan keunggulan berkompetisi ketika bermain di pasar yang dibidik bagi pemiliknya. Bahkan, tak menutup kemungkinan pula Merek ini dapat menjadi pemicu untuk memunculkan berbagai inovasi baru bagi perusahaan yang pada akhirnya dapat menguntungkan publik juga perusahaan itu sendiri.[1]
Hak hukum, terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yakni; hak cipta (copyrights) dan hak milik perindustrian (Industrial Property Rights). Khusus untuk hak milik perindustrian terbagi menjadi beberapa bagian, yakni; paten, merek, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, indikasi geografis. Mengingat Hak Kekayaan Intelektual terbagi dalam beberapa bagian sebagaimana diuraikan tadi, ternyata hal ini berimplikasikan pada lingkup pemberian hak hukum atas kekayaan intelektual.[2]
Indonesia telah ikut serta dalam pergaulan masyarakat dunia dengan menjadi anggota dalam Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights yaitu Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual, (selanjutnya disebut TRIPs), melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Selain itu, Indonesia juga meratifikasi Berne Convention for the Protection of Artist and Literary Works (Konvensi Berne tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra) melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty yaitu Perjanjian Hak Cipta WIPO (selanjutnya disebut WCT) melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.[3]
Jadi, Perlindungan hukum terhadap pemegang lisensi merek dapat diberikan berupa tindakan sanksi hukum pidana maupun gugatan perdata terhadap adanya suatu perlanggaran merek yaitu pemboncengan atau penipuan merek. Secara Yuridis Pasal 35 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, dapat dilihat bahwa Undang-undang memberikan perlindungan terhadap suatu merek terdaftar untuk jangka waktu 10 tahun sejak tanggal penerimaan serta dapat diperpanjang oleh pemilik untuk jangka waktu yang sama.
Pasal 35 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis menyebutkan ”Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu sepuluh (10) tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang”. Dapat dianalisa bahwa Undang-undang Merek yang berlaku saat ini memberikan perlindungan terhadap merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 UU Merek, yaitu selama sepuluh (10) tahun lamanya.
Jangka waktu perlindungan tersebut dapat diperpanjang lagi dengan mengajukan permohonan perpanjangan perlindungan terhadap merek yang sama. Adanya pemberian sanksi hukum merupakan bagian dari upaya pemberian perlindungan hukum bagi pemilik merek yang sah. Apabila merek telah terdaftar, maka mendapat perlindungan hukum, baik secara perdata maupun pidana. Terkait dengan perlindungan hukum secara pidana, yaitu dengan pemberian hukuman kepada barang siapa yang telah melakukan kejahatan dan pelanggaran merek.
Perlindungan hukum secara perdata juga diberikan kepada pemegang hak merek yang sah. Indonesia menganut sistem First to File, yang mana Pendaftar pertama yang diakui sebagai pemegang hak atas suatu merek. Apabila suatu merek telah terdaftar, maka menurut sistem hukum merek Indonesia, pihak pemegang merek tersebut akan mendapatkan perlindungan hukum. Artinya apabila terjadi pelanggaran hak atas merek, pihak pemegang merek dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lainnya yang melakukan pelanggaran hak atas merek. Gugatan ini ditujukan untuk mendapatkan ganti rugi dan penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut. Gugatan diajukan di Pengadilan Niaga.
Dasar Hukum
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis
Daftar Pustaka
[1] Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal 5
[2] Ibid, hal 5-7.
[3] Noegroho Amin S, Hak Kekayaan Intelektual, Pusat Pelayanan HKI UGM,Yogyakarta,2004, hal 3