Problematika Penerapan Asas Praduga Tak Bersalah Dalam Perkara Pidana

Share your love

LOGIKAHUKUM.COMProblematika penerapan asas praduga tak bersalah dalam perkara pidana ini, berkaitan dengan kedudukan yang tidak seimbang antara tersangka/terdakwa dengan aparat hukum yang berkepentingan, sehingga di khawatirkan terjadi tindakan sewenang-wenang dari aparat hukum. Hukum pidana, sebagai hukum publik, mengatur kepentingan umum, sehingga berhubungan dengan negara dalam melindungi  kepentingan umum.

Kedudukan tidak seimbang dalam perkara pidana memungkinkan terjadinya perlakuan sewenang-wenang dari aparat hukum terhadap tersangka atau terdakwa  yang  di anggap telah melanggar kepentingan umum dalam proses pemidanaan sebagai orang yang bertanggungjawab atas terjadinya ketidakseimbangan tatanan dalam masyarakat akibat adanya pelanggaran hukum.

Fenomena kekerasan penyiksaan dalam dialektika penegakan hukum di Indonesia memberikan deskripsi yang jelas tentang betapa lemahnya posisi warga/rakyat sipil manakala warga berhadapan dengan aparat koersif yang berlindung di balik otoritas kekuasaan negara. Padahal dalam suatu negara hukum, mengakui persamaan hak tiap-tiap negara dalam hukum dan pemerintahan (Equality Before The Law).

Penggunaan cara kekerasan dalam proses pemidanaan oleh polisi sebagaimana juga di kemukakan oleh Rahardjo dalam penelitiannya bahwa polisi masih sering menggunakan kekerasan untuk mendapatkan pengakuan atas keterangan dari tersangka, membuat asas praduga tak bersalah dalam perkara pidana sangat di utamakan di banding dengan perkara lainnya.[1] Meskipun ada yang berpendapat bahwa dalam hukum di perlukan kekerasan agar hukum yang tercipta nantinya lebih baik dan lebih humanis. Hal ini juga berkaitan dengan fungsi bukti-bukti permulaan yang harus ada dalam mengajukan tuntutan pidana dimana pengakuan dari tersangka merupakan target utama penyidik sebagai kelengkapan Berita Acara Pemeriksaan atau BAP agar tidak terjadi penolakan oleh Kejaksaan. Demikian juga dalam tata letak persidangan, terdakwa tidak akan pernah duduk saling berhadapan dengan Jaksa Penuntut Umum, karena kedudukan si terdakwa dalam persidangan lebih dikenal dengan istilah “Kursi Pesakitan”.

Seperti contoh kasus pembunuhan Brigadir Joshua, yang melibatkan 97 orang Polisi termasuk Bharada Eliezer dan Ferdy Sambo sebagai Kadiv Propam Mabes Polri. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada waktu itu menonaktifkan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo sebagai sikap yang mengedepankan asas praduga tak bersalah. Penyelidikan kasus tembak menembak anak buah Sambo dinilai bakal lebih berjalan lancar dan tidak lagi membuat tanya-tanya publik. Namun demikian, Justifikasi yang beredar di ruang publik dan dikonsumsi secara terbuka oleh seluruh masyarakat Indonesia bahwa Ferdy Sambo adalah dalang dari kasus Pembunuhan Brigadir J. meskipun sampai dengan saat ini kasus tersebut masih dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Peristiwa tersebut sudah dibongkar Timsus dan Ferdy Sambo sendiri sudah mengakui, tapi keberadaan Asas praduga tidak bersalah tetap melekat pada para tersangka. Tentunya, terkait Asas praduga tidak bersalah (Presumption of Innocence) juga sudah sangat dipahami oleh para Pengacara dari kedua belah pihak, termasuk para ahli yang aktif memberikan motivasi tegaknya keadilan. Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) secara tegas disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta Undang-Undang No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dalam KUHAP butir ke 3 huruf (c) tentang adanya asas praduga tak bersalah, dijelaskan bahwa: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Sedangkan dalam Undang-Undang Kehakiman, asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8 ayat (1), yang berbunyi: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Selanjutnya M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan”, mengatakan bahwa:[2] “Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.”

Jadi, tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Seorang tersangka harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.” Dalam pelaksanaan hak-hak tersangka pada saat penyidikan, harus tetap sejalan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Tersangka sebagai orang yang disangka juga ditegaskan memiliki hak yang harus dihormati. Hak-hak tersangka diakui oleh hukum acara pidana, apalagi hak tersangka juga diakui oleh undang-undang hak asasi manusia.

 

Dasar Hukum

Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Daftar Pustaka

[1] Rahardjo, Agus. Membangun Hukum yang Humanis dalam Jurnal Pro Justisia Vol. 20 No. 1. (Jakarta: Jurnal, Februari 2011).

[2] M. Yahya Harahap, S.H. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta : Sinar Grafika, 2006, hal. 34.


Eksplorasi konten lain dari LOGIKAHUKUM.COM

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Avatar photo
Yustinus Hura, S.H., CMLE.

Founder & CEO LogikaHukum.com
Advocate & Legal Consultant

Articles: 64

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Eksplorasi konten lain dari LOGIKAHUKUM.COM

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Berlangganan