Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial

Share your love

LOGIKAHUKUM.COM Teknologi komunikasi merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindari pada era globalisasi yang ditandai dengan berbagai kemudahan yang dapat dipilih oleh masyarakat untuk mengakses berbagai informasi yang bermanfaat. Hal tersebut membawa pengaruh pada perilaku sosial masyarakat karena adanya peralihan dari era industrialisasi ke era informasi yang kemudian melahirkan masyarakat informasi (information society). Rogers sebagaimana dikutip oleh Amar Ahmad menyatakan bahwa Information Society adalah sebuah masyarakat yang sebagian besar angkatan kerjanya adalah pekerja di bidang informasi, dan informasi telah menjadi elemen yang dianggap paling penting dalam kehidupan.[1]

Perkembangan teknologi informasi telah mendorong kegiatan manusia ke arah efisiensi di bidang politik, ekonomi dan budaya. Beberapa perusahaan di bidang teknologi informasi atau menggunakan teknologi informasi telah mengalami banyak peningkatan pemasaran dan masyarakat juga mendapatkan akses yang terbuka dan kemudahan atas berbagai produk serta menjadi tempat untuk mengekspresikan diri.[2]

Kemajuan teknologi informasi tidak hanya berdampak baik untuk kehidupan manusia, karena prinsip kebebasan (liberalism) yang melatarbelakangi penggunaan teknologi informasi ini. Sebab itu meskipun pengguna (user) diberikan perjanjian (term and condition) pada saat mengakses dan menggunakan teknologi informasi seperti youtube, instagram, dan facebook, belum ada aplikasi yang dapat mendeteksi pernyataan-pernyataan yang tidak sopan atau penghinaan yang dituliskan oleh seorang user dan melakukan tindakan preventif sebelum membagikan pernyataannya, sehingga seseorang dapat dengan mudah menyebarkan dan memprovokasi seseorang, mencemarkan nama baik atau melakukan tindakan tercela lainnya.[3]

Kasus pencemaran nama baik melalui media sosial di Indonesia, telah diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur dalam Pasal 27 ayat (3) yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Namun kewenangan mempidana seseorang merupakan kewenangan pengadilan yang diatur dengan berbagai undang-undang. Salah satunya adalah tentang doktrin kebebasan hakim.

Pencemaran nama baik dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah defamation, slander, calumny dan vilification.[4] Pengertian pencemaran nama baik menurut Oemar Seno Adji, pencemaran nama baik adalah suatu tindakan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang (aanranding of goede naam). Salah satu bentuk pencemaran nama baik adalah pencemaran nama baik yang dilakukan secara tertulis dengan menuduhkan sesuatu hal.[5]

Indonesia sebagai negara yang menganut Sistem Civil Law berpegang pada asas Legalitas (principle of legality) yang memiliki pengertian bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Oleh karenanya pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 310 KUHP dikenal sebagai “penghinaan” dengan bunyi sebagai berikut:

  1. Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;
  2. Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;
  3. Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Berdasarkan bunyi pasal tersebut, maka hukum pencemaran nama baik di media sosial diatur dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP.

Seiring dengan perkembangan zaman, kegiatan manusia dalam dunia teknologi digital khususnya media sosial terus meningkat. Hal tersebut adalah akibat dari perkembangan teknologi informasi. Sebelum ada Teknologi Informasi, manusia didominasi pada kegiatan yang menggunakan sarana fisik. Akan tetapi, pada era teknologi informasi kegiatan manusia saat ini didominasi oleh peralatan yang berbasis teknologi. Tentunya hal tersebut memberikan dampak pada penegakkan hukum pidana, contohnya kejahatan dalam dunia maya seperti pencemaran nama baik seringkali terjadi.[6]

Adapun hukum pencemaran nama baik di media sosial selain dalam KUHP juga diatur lebih spesifik dalam Undang-Undang ITE dan perubahannya. Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengatur: “Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”. Sedangkan ketentuan SARA diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE, yaitu: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).”

Dalam menentukan adanya penghinaan atau pencemaran nama baik, konten dan konteks menjadi bagian yang sangat penting untuk dipahami. Pencemaran nama baik seseorang secara hakiki hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, korbanlah yang dapat menilai secara subjektif tentang konten atau bagian dari informasi atau dokumen elektronik yang dinilai menyerang kehormatan atau nama baiknya.

Konstitusi telah memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat seseorang sebagai salah satu Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, perlindungan hukum diberikan kepada korban, dan bukan kepada orang lain. Sebab, orang lain tidak dapat menilai sama seperti penilaian korban. Sedangkan, konteks berperan untuk memberikan nilai objektif terhadap konten. Pemahaman akan konteks mencakup gambaran mengenai suasana hati korban dan pelaku, maksud dan tujuan pelaku dalam mendiseminasi informasi, serta kepentingan-kepentingan yang ada di dalam pendiseminasian (penyebarluasan, ed.) konten. Oleh karena itu, untuk memahami konteks, diperlukan pendapat ahli, seperti ahli bahasa, ahli psikologi, dan ahli komunikasi.

Ancaman hukum pencemaran nama baik di media sosial, pelaku yang melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 yang berbunyi: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.”

Kemudian terhadap pelaku yang melanggar Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA, diancam hukuman dalam Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, yakni: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.”

Perlu dipahami bahwa delik hukum pencemaran nama baik di media sosial yang diatur dalam Pasal 310 KUHP dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 45 UU 19/2016 merupakan delik aduan, sehingga hanya korban yang dapat melakukan proses hukum kepada pihak penegak hukum yang dalam hal ini adalah Kepolisian.

Dasar Hukum 

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Daftar Pustaka

[1] Amar Ahmad, “Perkembangan Teknologi Komunikasi dan Informasi: Akar Revolusi dan Berbagai Standarnya”, Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 13, No. 1, Juni 2012, hal. 138.

[2] Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung: Refika Aditama, 2009, hal. 4.

[3] Achmadudin Rajab, “Urgensi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagai Solusi Guna Membangun Etika Bagi Pengguna Media”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14 No. 04, 2017, hlm 463

[4] Saepul Rochman. Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial: Perbandingan Hukum Pidana Positif dan Islam, Diktum: Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 19, No. 1, 2021, hal. 35.

[5] Oemar Seno Adji. Perkembangan Delik Pers di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 1990, hal. 36.

[6] Anna Rahmania Ramadhan. Pencemaran Nama Baik Dalam Perspektif Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Jurnal IUS: Kajian Hukum dan Keadilan, 2015, hal. 602.

Avatar photo
Yarman Hulu, S.H., M.H.

Advocate & Legal Consultant

Articles: 3

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *