LOGIKAHUKUM.COM – Penipuan adalah salah satu bentuk kejahatan yang dikelompokkan ke dalam kejahatan terhadap harta benda orang. Ketentuan mengenai kejahatan ini secara umum diatur dalam Pasal 378 sampai dengan Pasal 395 buku II Bab XXV KUHP. Pasal 378 mengatur tindak pidana penipuan dalam arti sempit (oplicthting) dan pasal-pasal lainnya mengatur tindak pidana penipuan dalam arti luas (bedrog) yang mempunyai nama-nama sendiri secara khusus. Dalam hal ini penipuan dengan modus usaha pengadaan gula termasuk tindak pidana penipuan biasa atau penipuan dalam bentuk pokok, sehingga dpaat dituntut berdasarkan Pasal 378 KUHP. Di dalam ketentuan KUHP dipergunakan kata “penipuan” atau “bedrog”, karena sesungguhnya di dalam bab tersebut diatur sejumlah perbuatan-perbuatan yang ditujukan terhadap harta benda, dimana oleh pelakunya telah dipergunakan perbuatan-perbuatan yang bersifat menipu atau digunakan tipu muslihat.[1]
Pengertian penipuan sesuai pendapat tersebut di atas tampak jelas bahwa yang dimaksud dengan penipuan adalah tipu muslihat atau serangkaian perkataan bohong sehingga seseorang merasa terpedaya karena omongan yang seakan-akan benar. Biasanya seseorang yang melakukan penipuan, adalah menerangkan sesuatu yang seolah-olah betul atau terjadi, tetapi sesungguhnya perkataannya itu adalah tidak sesuai dengan kenyataannya, karena tujuannya hanya untuk meyakinkan orang yang menjadi sasaran agar diakui keinginannya, sedangkan menggunakan nama palsu supaya yang bersangkutan tidak diketahui identitasnya, begitu pula dengan menggunakan kedudukan palsu agar orang yakin akan perkataannya.
Tindak pidana sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi mungkin tidak akan pernah berakhir sejalan dengan perkembangan dan dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat. Masalah tindak pidanan ini nampaknya akan terus berkembang dan tidak akan pernah surut baik dilihat dari segi kualitas maupun kuantitasnya, perkembangan ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat dan pemerintah.[2] Tindak pidana merupakan suatu bentuk perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada setiap bentuk masyarakat, dalam arti bahwa tindak pidana akan selalu ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti halnya dengan musim yang selalu berganti dari tahun ke tahun.[3] Hukum pidana sebagai alat atau sarana bagi penyelesaian terhadap problematika ini diharapkan mampu memberikan solusi yang tepat. Karena itu, pembangunan hukum dan hukum pidana pada khususnya, perlu lebih ditingkatkan dan diupayakan secara terarah dan terpadu, antara lain kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan perundangundangan baru yang sangat dibutuhkan guna menjawab semua tantangan dari semakin meningkatnya kejahatan dan perkembangan tindak pidana.
Berbagai macam tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat salah satunya adalah kejahatan penipuan, bahkan dewasa ini banyak sekali terjadi tindak pidana penipuan dengan berbagai macam bentuk dan perkembangannya yang menunjuk pada semakin tingginya tingkat intelektualitas dari kejahata penipuan yang semakin kompleks. Perbuatan penipuan itu selalu ada bahkan cenderung meningkat dan berkembang di dalam masyarakat seiring kemajuan ekonomi, padahal perbuatan penipuan tersebut dipandang dari sudut manapun sangat tercela, karena dapat menimbulkan rasa saling tidak percaya dan akibatnya merusak tata kehidupan masyarakat.
Kejahatan penipuan adalah salah satu bentuk kejahatan yang dikelompokkan ke dalam kejahatan terhadap harta benda, yang mana oleh pelaku telah dipergunakan perbuatan-perbuatan yang bersifat menipu atau digunakan tipu muslihat. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sendiri pada pasal 378 menegaskan bahwa seseorang yang melakukan kejahatan penipuan diancam dengan sanksi pidana.
Tindak pidana penipuan merupakan salah satu tindak pidana atau kejahatan terhadap harta benda. Tindak pidana penipuan diatur dalam Bab XXV tentang Perbuatan Curang yaitu dari Pasal 378 sampai dengan Pasal 395 KUHP. Dalam rentang pasal-pasal tersebut, penipuan kemudian berubah menjadi bentuk-bentuk penipuan yang lebih khusus. Penipuan adalah salah satu bentuk kejahatan yang dikelompokkan ke dalam kejahatan terhadap harta benda orang. Ketentuan mengenai kejahatan ini secara umum diatur dalam Pasal 378 sampai dengan Pasal 395 buku II Bab XXV KUHP. Pasal 378 mengatur tindak pidana penipuan dalam arti sempit (oplicthting) dan pasal-pasal lainnya mengatur tindak pidana penipuan dalam arti luas (bedrog) yang mempunyai nama-nama sendiri secara khusus, baik itu tindak pidana penipuan biasa atau penipuan dalam bentuk pokok, sehingga dpaat dituntut berdasarkan Pasal 378 KUHP.
Berdasarkan ketentuan KUHP dipergunakan kata “penipuan” atau “bedrog”, karena sesungguhnya di dalam bab tersebut diatur sejumlah perbuatanperbuatan yang ditujukan terhadap harta benda, dimana oleh pelakunya telah dipergunakan perbuatan-perbuatan yang bersifat menipu atau digunakan tipu muslihat.[4] Adapun rumusan Pasal 378 KUHP: “Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoqdrigheid) palsu dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang ataupun menghapuskan piutang diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”[5] Ketentuan Pasal 378 ini merumuskan tentang pengertian penipuan (oplichting) itu sendiri.
Ruang lingkup, unsur-unsur serta sanksi yang perlu diketahui dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hukum pidana yang berupa aturan tertulis itu disusun, dibuat dan diundangkan untuk diberlakukan sebagai hukum positif (ius constitutum), namun akan menjadi lebih efektif dan dirasakan dapat mencapai rasa keadilan serta kepastian hukum apabila penerapannya sesuai dengan yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang, mengenai apa yang tertulis dalam kalimat-kalimat itu.[6]
Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagais alahs atu sarana untuk “social defence” dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitatie) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat.
Secara sosiologis, tindak pidana penipuan yang terjadi diakibatkan karena tingkat kehidupan yang semakin tinggi, sehingga sebagian orang menempuh jalan yang melanggar hukum dengan memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan keuntungan selain itu tingkat ekonomi dan pendidikan yang berbeda-beda dapat menimbulkan kesenjangan sosial antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya, dimana perbedaan inilah yang memicu sebagian dari masyarakat untuk berpikir secara efisien dan praktis demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Manusia dalam pergaulan hidupnya sering terdapat penyimpangan terhadap norma-norma, terutama norma hukum. Di dalam pergaulan manusia bersama, tindak pidana penipuan disebut sebagai kejahatan. Dan kejahatan itu sendiri merupakan masalah sosial yang berada di tengah-tengah masyarakat, dimana si pelaku dan korbannya adalah anggota masyarakat. Secara umum ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya sebuah kejahatan termasuk halnya tindak pidana penipuan.
Faktor ekonomi memegang peranan penting untuk menentukan arah hidupnya. Demikian juga hubungan antara perekonomian dengan kejahatan senantiasa mendapat banyak perhatian dan selalu menjadi objek penelitian para ahli. Kekayaan dan kemiskinan menjadi bahaya besar bagi jiwa orang, yang miskin sukar memenuhi kebutuhan hidupnya dan merasa rendah diri dan timbul hasrat untuk melakukan kejahatan, sebaliknya juga orang kaya hidup mewah untuk segala hiburannya”.[7]
Jadi, Seseorang menjadi jahat tidak terlepas dari pengaruh lingkungan dimana mereka berada. Pengertian dalam arti sempit maksudnya hanya terbatas baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan pergaulan didalam masyarakat dimana seorang bertempat tinggal. Lingkungan dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian seseorang. Pendidikan dapat melatar belakangi sesorang melakukan penipuan. maka faktor pendidikan juga sangat berpengaruh karena seseorang yang kurang mendapatkan pendidikan baik secara formal maupun pendidikan dalam keluarga akan lebih mudah melakukan suatu pelanggaran bahkan suatu kejahatan.
Penipuan merupakan salah satu bentuk kejahatan yang dikelompokkan ke dalam kejahatan terhadap harta benda. Pelaku telah melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat menipu atau digunakan tipu muslihat. KUHP sendiri menegaskan bahwa seseorang yang melakukan kejahatan penipuan diancam dengan sanksi pidana. Tindak pidana penipuan merupakan salah satu tindak pidana atau kejahatan terhadap harta benda. Dalam pergaulan hidupnya seorang manusia dapat melakukan penyimpangan norma-norma, terutama norma hukum. Di dalam pergaulan manusia bersama, tindak pidana penipuan disebut sebagai kejahatan. Kejahatan itu sendiri merupakan masalah sosial yang berada di tengah-tengah masyarakat, dimana si pelaku dan korbannya adalah anggota masyarakat. Secara sosiologis indak pidana penipuan dapat terjadi karena faktor ekonomi, lingkungan, dan pendidikan.
Dasar Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Daftar Pustaka
[1] PAF. Lamintang dan Djisman Samosir. 1981. Delik-Delik Khusus. Bandung: Tarsito, hlm. 263.
[2] Arif Gosita, “Masalah Korban Kejahatan”. Jakarta: Akademika Pressindo, 1983, hlm. l 3.
[3] Susilo. Kriminologi (Pengetahuan Tentang Sebab-Sebab Kejahatan), Bogor: Politeia, hlm 15.
[4] PAF. Lamintang dan Djisman Samosir, 1981, Delik-Delik Khusus. Bandung: Tarsito, hlm. 263.
[5] Moeljatno. Kitab Undang-Udang Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara, 1985, hlm. 161.
[6] Chazawi Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2 “Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan, Pemberatan dan Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan, perbarengan dan Ajaran Kualitas. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 3.
[7] N. Simanjuntak, Kriminologi, Bandung: Tarsito, 2005, hlm. 53