LOGIKAHUKUM.COM – Perjanjian merupakan suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Keabsahan perjanjian ditentukan oleh syarat sah perjanjian yang telah ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Konsekuensi tidak terpenuhi syarat sah perjanjian adalah perjanjianmenjadi tidak sah, dan perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Yang dimaksud dengan pembatalan perjanjian pada dasarnya adalah suatu keadaan yang membawa akibat suatu hubungan kontraktual atau perjanjian itu dianggap tidak pernah ada. Pembatalan perjanjian sendiri diatur dalam KUHPer pada Pasal 1446 -1456. Namun, tidak semua perjanjian dapat dibatalkan. Pembatalan perjanjian harus memenuhi syarat pembatalan yang telah di tentukan dalam undang-undang. Pembatalan perjanjian yang membawa akibat perjanjian dianggap tidak pernah ada tentu saja menimbulkan akibat hukum baru bagi para pihak di dalam perjanjian tersebut.
Syarat Pembatalan Perjanjian Menurut KUHPerdata
Pembatalan perjanjian dapat diminta oleh salah satu pihak dalam perjanjian yang merasa dirugikan. Suatu perjanjian dapat dimintakan pembatalan apabila:
- Perjanjian yang di buat melanggar syarat subyektif sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) dan (2) KUHPerdata, yaitu perjanjian tersebut lahir karena adanya cacat kehendak (wilsgebreke) antara lain karena kekhilafan, paksaan atau penipuan, atau karena ketidakcakapan pihak dalam perjanjian (ombekwaamheid), sehingga berakibat perjanjian tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar).
- Perjanjian yang di buat melanggar syarat obyektif sahnya perjanjian sebagaimana yang di atur dalam Pasal 1320 ayat (3) dan (4), perjanjian di buat tidak memenuhi syarat objek tertentu atau mempunyai kausa yang tidak di perbolehkan seperti bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan, sehinggaberakibat perjanjian tersebut batal demi hukum (nietig). Sesuai dengan ketentuan Pasal 1265 KUHPer, syarat batal adalah syarat yang jika dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula seolah-olah tidak ada suatu perjanjian. Hal-hal yang harus diperhatikan sebagai syarat pembatalan suatu perjanjian adalah adanya wanprestasi, dimana wanprestasi selalu dianggap sebagai syarat batal dalam suatu perjanjian sehingga pihak yang merasa dirugikan karena pihak lain wanprestasi dapat menuntut pembatalan perjanjian. Penuntutan pembatalan perjanjian harus dilakukan melalui pengadilan sehingga yang membatalkan perjanjian adalah melalui putusan hakim sesuai dengan ketentuanPasal 1266 Menurut Subekti, pembatalan perjanjian dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara aktif, yaitu langsung dengan menuntut pembatalan di muka hakim atau dengan cara pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan alasan mengenai kekurangan perjanjian itu.[1] Jangka waktu tuntutan pembatalan perjanjian adalah lima tahun. Selainitu, perjanjian yang dapat dibatalkan adalah harus bersifat timbal-balik yakni perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Syarat diatas merupakan syarat yang harus dipenuhi terhadap perjanjian yang dapat dibatalkan sedangkan bagi perjanjian yang batal demi hukum maka perjanjian tersebut tidaklah sah dan perjanjian dianggap tidak pernah ada.
Akibat Hukum Pembatalan Perjanjian
Akibat pembatalan perjanjian di atur dalam Pasal 1451 dan 1452 KUHPerdata. Akibat hukum pada pembatalan perjanjian adalah pengembalian pada posisi semula sebagaimana halnya sebelum terjadi perjanjian.[2] Akibat pembatalan perjanjian dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, pembatalan terhadap perjanjian yang melanggar syarat subyektif sahnya perjanjian sehingga perjanjian dapat dibatalkan, dan Kedua adalah pembatalan terhadap perjanjian yang melanggar syarat obyektif perjanjian yang batal demi hukum.
Akibat terhadap perjanjian yang dapat di batalkan adalah salah satu pihak dapat meminta pembatalan perjanjian. Perjanjian akan tetap mengikat para pihak apabila tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan. Hak untuk meminta pembatalan perjanjian, menuntut pemulihan bahkan hak untuk menuntut ganti rugi merupakan hak bagi para pihak yang merasa dirugikan, sedangkan pihak lainnya yang telah terlanjur menerima prestasi dari pihak lain wajib mengembalikannya. Sedangkan, akibat hukum terhadap perjanjian yang batal demi hukum adalah perjanjian dianggap batal atau bahkan perjanjian dianggap tidak ada dan tidak pernah terjadi dari awal. Konsekuensi lanjutan dari pembatalan perjanjian adalah apabila setelah pembatalan salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengembalikan apa yang telah diperolehnya maka pihak lain dapat mengajukan gugatan. Hal ini semata-mata untuk melaksanakan tujuan pembatalan yaitu mengembalikan keadaan sebagaimana semula sebelum perjanjian terjadi.
Jadi, Syarat pembatalan perjanjian adalah perjanjian yang ingin dibatalkan harus bersifat timbal-balik yakni perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, pembatalan dilakukan melalui pengadilan sehingga yang membatalkan perjanjian adalah melalui putusan hakim, dan harus ada wanprestasi. Perjanjian dapat dibatalkan apabila tidak sesuai dengan syarat subyektif maupun obyektif perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Akibat hukum yang timbul terhadap perjanjian yang dapat dibatalkan adalah salah satu pihak dapat meminta pembatalan perjanjian. Sedangkan, akibat hukum terhadap perjanjian yang batal demi hukum adalah perjanjian dianggap batal atau bahkan perjanjian dianggap tidak ada dan tidak pernah terjadi dari awal. Akibat hukum terhadap para pihak dalam perjanjian apabila terjadi pembatalan perjanjian adalah timbulnya hak untuk pemulihan sebagaimana keadaan semula sebelum terjadinya perjanjian. Hak untuk meminta pembatalan perjanjian dan menuntut pemulihan sebagaimana keadaan semula merupakan hak bagi para pihak yang merasa dirugikan, dan pihak yang terlanjur menerima prestasi wajib mengembalikan.
Dasar Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Daftar Pustaka
[1] P.N.H.Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia. Djambatan, Jakarta, 2007, hal. 347.
[2] Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersil, Kencana, Jakarta, 2010, hal. 294.
[…] Baca juga : Akibat Hukum Pembatalan Perjanjian Oleh Para Pihak Menurut KUHPerdata […]