Pertanyaan : Selamat pagi pak, saya ingin bertanya tentang penipuan pada pihak bank. Saya mengajukan KPR pada salah satu bank, suami saya berlayar dan hal ini membuat kita tidak dapat melakukan proses akad KPR dikarenakan posisi suami yang sering berpindah lokasi. Karena status di KTP saya masih berstatus ‘single’ (belum ganti KTP), maka pihak pemasaran menyarankan agar saya mengajukan KPR kepada bank lain dengan status yang sesuai dengan KTP tersebut. Proses tersebut berjalan lancar. 3 bulan yang lalu, saya bilang pada pihak bank bahwa saya baru saja menikah, karena pada kenyataannya suami tidak terima nama akta rumah adalah nama saya. Dan saya mulai tanya-tanya bagaimana caranya untuk mengganti nama akta rumah. Pihak bank bilang, salah satu syaratnya adalah mengcopy surat nikah. Sebetulnya tidak akan ada masalah bagi kami apabila memang saya menikah 3 bulan yang lalu. Tetapi yang jadi masalah adalah sesungguhnya saya telah menikah 6 tahun yang lalu, saya telah membohongi pihak bank. Jika ini diketahui pihak bank, maka semua dana yang telah masuk termasuk rumah yang sudah jadi dianggap hangus. Yang saya tanyakan adalah selain rumah dan uang saya hilang, apakah saya dapat dipidana pak, karena dianggap menipu pihak bank? Saya mohon saran pak/ibu, saya stres memikirkan segala kemungkinan buruk yang akan terjadi pada diri saya. Pihak pemasaran telah saya beritahu tentang hal ini, mereka pun meminta saya agar saya tidak memperpanjang masalah ini dan takut mendapatkan sanksi. Saya mohon tanggapannya bapak/ibu atas masalah ini. terimakasih.
Dijawab oleh : Yustinus Hura, S.H.
LOGIKAHUKUM.COM – Apabila memperhatikan penjelasan dari pertanyaan diatas, Pihak bank memiliki dasar yang cukup kuat untuk melakukan gugatan pembatalan perjanjian kredit dan melaporkan Anda atas tindak pidana penipuan. Karena pada saat dilakukan perjanjian kredit Anda tidak memberikan data yang sebenarnya kepada pihak bank.
Perlu kami Jelaskan terlebih dahulu bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, “mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak.” Artinya, penggunaan harta bersama harus dilakukan atas persetujuan pasangan perkawinan tersebut, kecuali bila mengenai harta bersama diperjanjikan lain dalam perjanjian perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan.
Pengaturan-pengaturan Undang-Undang Perkawinan memberi konsekuensi bahwa jika seorang suami/istri hendak melakukan suatu perbuatan hukum (misal: jual beli, pengajuan kredit) harus mendapat persetujuan dari suami/istrinya.
Baca juga : Akibat Hukum Pembatalan Perjanjian Oleh Para Pihak Menurut KUHPerdata
Anda mengaku ‘single’ atau lajang (belum kawin) pada saat melakukan perjanjian kredit, padahal Anda sudah menikah. Hal ini dapat merugikan pihak bank, apabila suatu saat terjadi kredit macet. Terutama jika kemudian suami Anda menyangkal pernah menyetujui perjanjian kredit untuk pembelian rumah tersebut.
Atas dasar itu, maka pihak bank dapat saja melaporkan Anda dengan tindak pidana penipuan sesuai dengan pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menyatakan: “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Kemudian, apabila Anda terbukti di pengadilan telah melakukan tindak pidana penipuan, pihak bank dapat menjadikan putusan pengadilan perkara pidana penipuan yang Anda lakukan sebagai dasar untuk melakukan gugatan pembatalan perjanjian kredit rumah. Hal ini didasarkan pada Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang menyatakan, “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kehilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Sedangkan, kata “sepakat” dalam Pasal 1320 KUHPerdata adalah syarat subjektif untuk sahnya perjanjian. Tanpa adanya kata sepakat menyebabkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Baca juga : Syarat Sahnya Perjanjian Menurut KUHPerdata
Oleh karena obyek perjanjian kreditnya adalah rumah, maka kita perlu merujuk pada Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Berserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang menentukan bahwa “pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang bersangkutan.”
Dalam Hak Tanggungan seorang debitor yang tidak memiliki perjanjian kawin (pisah harta), dianggap tidak memiliki kewenangan untuk memberikan hak tanggungan tanpa persetujuan dari suami atau istrinya. Tidak terpenuhinya syarat kecakapan ini melanggar syarat subjektif sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian dapat dibatalkan.
Jadi, apabila pihak bank menggugat Anda ke pengadilan untuk melakukan pembatalan perjanjian yang telah dibuat antara Anda dengan pihak bank, ada kemungkinan Anda akan kehilangan rumah dan uang yang telah Anda bayarkan kepada pihak bank. Karena hakim dapat membatalkan perjanjian antara Anda dengan pihak bank, sehingga antara Anda dengan pihak bank dianggap tidak pernah ada suatu perjanjian kredit.
Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732);
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;