Syarat Sahnya Perjanjian Menurut KUHPerdata

Share your love

LOGIKAHUKUM.COM Syarat-syarat Sahnya Perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya 4 (empat ) syarat sahnya suatu perjanjian, yakni: (Subekti, 2003: 330) : “Pertama, Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya; Kedua, Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan; Ketiga, Suatu hal tertentu; dan Keempat, Suatu sebab (causa) yang halal.”

Persyaratan tersebut diatas berkenaaan dengan subjek maupun objek perjanjian. Persyaratan yang pertama dan kedua berkenaan dengan subjek perjanjian atau syarat subjektif. Persyaratan yang ketiga dan keempat berkenaan dengan objek perjanjian atau syarat objektif. Pembedaan kedua persyaratan tersebut dikaitkan pula dengan masalah batal demi hukumnya (nieteg atau null and ab initio) dan dapat dibatalkannya (vernietigbaar = voidable) suatu perjanjian.

Apabila syarat objektif dalam perjanjian tidak terpenuhi maka Perjanjian tersebut batal demi hukum atau perjanjian yang sejak semula sudah batal, hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka Perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau sepanjang perjanjian tersebut belum atau tidak dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku. (Gunawan Widjaja, 2003:68);

1. Kesepakatan Para Pihak

Kata sepakat didalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak didalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya (Toestemming) jika ia memang menghendaki apa yang disepakati. Mariam Darus Budrulzaman menjelaskan pengertian sepakat sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (Overeenstemande Wilsverklaring) antar para pihakpihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (Offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). (Khairandy Ridwan, 2004:11).

Satrio menyebutkan ada beberapa cara mengemukakan kehendak tersebut, yakni: Pertama, Secara tegas. 1) Dengan Akta otentik. 2) Dengan Akta di bawah tangan. Kedua, Secara diam-diam. Sekalipun undang-undang tidak secara tegas mengatakan, tetapi dari ketentuan-ketentuan yang ada, antara lain pasal 1320 jo Pasal 1338 KUHPerdata, dapat disimpulkan bahwa pada asasnya, kecuali diterntukan lain, undang-undang tidak menentukan cara orang menyatakan kehendak.

Suatu perjanjian dapat mengandung cacat hukum atau kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang disebut di bawah ini, yaitu: Pertama, Paksaan (dwang). Setiap tindakan yang tidak adil atau ancaman yang menghalangi kebebasan kehendak para termasuk dalam tindakan pemaksaan. Di dalam hal ini, setiap perbuatan atau ancaman melanggar undang-undang jika perbuatan tersebut merupakan penyalahgunaan kewenangan salah satu pihak dengan membuat suatu ancaman, yaitu setiap ancaman yang bertujuan agar pada akhirnya pihaklain memberikan hak.

Kewenangan ataupun hak istimewanya. Paksaan dapat berupa kejahatan atau ancaman kejahatan, hukuman penjara atau ancaman hukuman penjara, penyitaan dan kepemilikan yang tidak sah, atau ancaman penyitaan atau kepemilikan suatu benda atau tanah yang dilakukan secara tidak sah, dan tindakan-tindakan lain yang melanggar undang-undang, seperti tekanan ekonomi, penderitaan fisik dan mental, membuat seseorang dalam keadaan takut, dan lain-lain.

Menurut Sudargo Gautama, paksaan (duress) adalah setiap tindakan intimidasi mental. Contohnya adalah ancaman kejahatan fisik dan hal ini dapat dibuat penuntutan terhadapnya. Jika ancaman kejahatan fisik tersebut merupakan suatu tindakan yang diperbolehkan oleh hukum maka dalam hal ini ancaman tersebut tidak diberi sanksi hukum, dan dinyatakan bahwa tidak ada paksaan sama sekali. Selain itu paksaan juga bisa dikarenakan oleh pemerasan atau keadaan di bawah pengaruh terhadap seseorang yang mempunyai kalainan mental. Kedua, Penipuan (bedrog). Penipuan (fraud) adalah tindakan tipu muslihat.

Menurut Pasal 1328 KUHPerdata dengan tegas menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan perjanjian. Dalam hal ada penipuan, pihak yang ditipu, memang memberikan pernyataan yang sesuai dengan kehendaknya, tetapi kehendaknya itu, karena adanya daya tipu, sengaja diarahkan ke suatu yang bertentangan dengan kehendak yang sebenarnya, yang seandainya tidak ada penipuan, merupakan tindakan yang benar.

Dalam hal penipuan gambaran yang keliru sengaja ditanamkan oleh pihak yang satu kepada puhak yang lain. Jadi, elemen penipuan tidak hanya pernyataan yang bohong, melainkan harus ada serangkain kebohongan (samenweefsel van verdichtselen), serangkain cerita yang tidak benar, dan setiap tindakan/sikap yang bersifat menipu. Dengan kata lain, penipuan adalah tindakan yang bermaksud jahat yang dilakukan oleh satu pihak sebelum perjanjian itu dibuat. Perjanjian tersebut mempunyai maksud untuk menipu pihak lain dan membuat menandatangani perjanjian itu. Pernyataan yang salah itu sendiri bukan merupakan penipuan, tetapi hal ini disertai dengan tindakan yang menipu.

2. Kecakapan untuk Mengadakan Perikatan

Kecakapan untuk Mengadakan Perikatan merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata yang memiliki pengertian yaitu kecakapan untuk membuat perikatan (om eene verbintenis aan te gaan). Di sini terjadi percampuradukan penggunaan istilah perikatan dan perjanjian. Dari kata “membuat” perikatan dan perjanjian dapat disimpulkan adanya unsur “niat” (sengaja). Hal yang demikian itu dapat disimpulkan cocok untuk perjanjian yang merupakan tindakan hukum. Apalagi karena unsur tersebut dicantumkan sebagai ubsur sahnya perjanjian, maka tidak mungkin tertuju kepada perikatan yang timbul karena undang-undang.

Menurut J. Satrio, istilah yang tepat untuk menyebut syaratnya perjanjian yang kedua ini adalah : kecakapan untuk membuat perjanjian. Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan bahwa ada beberapa orang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni: Pertama, orang yang belum dewasa; Kedua, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; dan Ketiga, orang-orang perempuan dalam pernikahan, (setelah diundangkannya Undang-undang no 1 tahun 1974 pasal 31 ayat 2 maka perempuan dalam perkawinan dianggap cakap hukum).

Seseorang di katakan belum dewasa menurut pasal 330 KUHPerdata jika belum mencapai umur 21 tahun. Seseorang dikatakan dewasa jika telah berumur 21 tahun atau berumur kurang dari 21 tahun, tetapi telah menikah. Dalam perkembangannya, berdasar Pasal 47 dan 50 UU No. 1 Tahun 1974 kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai umur 18 tahun.

Selanjutnya Mahkamah Agung melalui Putusan No. 447/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976 menyatakan bahwa dengan berlakunya UU No 1 Tahun 1974, maka batas seseorang berada di bawah kekuasaan perwalian adalah 18 tahun, bukan 21 tahun. Henry R. Cheseemen 37 menjelaskan bahwa di dalam sistim common law, seseorang dikatakan belum dewasa jika belum berumur 18 tahun (tahun) dan 21 tahun (pria) . dalam perkembangannya, umumnya negara-negara bagia di Amerika Serikat telah mensepakati bahwa kedewasaan tersebut ditentukan jika seseorang telah berumur 18 tahun yang berlaku baik bagi wanita maupun pria, (Ridwan Khairandy, 2004:23).

Seseorang yang telah dewasa dapat tidak cakap melakukan perjanjian, jika yang bersangkutan diletakan di bawah pengampuan (curatele atau conservatorship). Seseorang dapat diletakan di bawah pengampuan jika yang bersangkutan gila, dungu (onnoozelheid), mata gelap (razernij), lemah akal (zwakheid van vermogens) atau juga pemboros. Orang yang demikian itu tidak menggunakan akal sehatnya, dan oleh karenanya dapat merugikan dirinya sendiri. Seseorang yang telah dinyatakan pailit juga tidak cakap untuk melakukan perikatan tertentu. Seseorang yang telah dinyatakan pailit untuk membuat suatu perikatan yang menyangkut harta kekayaannya. Ia hanya boleh melakukan perikatan yang mengungkapkan budel pailit, dan itupun harus sepengetahuan kuratornya.

3. Suatu Hal Tertentu

Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp). Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu.

Suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu (centainty of terms), berarti bahwa apa yang diperjanjiakan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Istilah barang dimaksud di sini apa yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai zaak. Zaak dalam bahasa belanda tidak hanya berarti barang dalam arti sempit, tetapi juga berarti yang lebih luas lagi, yakni pokok persoalan. Oleh karena itu, objek perjanjian tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa.

Satrio menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah objek prestasi perjanjian. Isi prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. KUHPerdata menentukan bahwa barang yang dimaksud tidak harus disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan. Misalnya mengenai perjanjian “panen tembakau dari suatu ladang dalam tahun berikutnya”adalah sah. Perjanjian jual beli “teh untuk seribu rupiah” tanpa penjelasan lebih lanjut, harus dianggap tidak cukup jelas.

4. Kausa Hukum Yang Halal

Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum yang halal. Kata kausa yang diterjemahkan dari kata oorzaak (Belanda) atau causa (Latin) bukan berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian, tetapi mengacu kepada isi dan tujuan perjanjian itu sendiri. Misalnya dalam perjajian jual beli, isi dan tujuan atau kausanya adalah pihak yang satu menghendaki hak milik suatu barang, sedangkan pihak lainnya menghendaki uang.

Berdasarkan uraian di atas, maka apabila seseorang membeli pisau di suatu toko dengan maksud membunuh orang, maka jual beli tersebut mempunyai kausa yang halal. Apabila maksud membunuh tersebut dituangkan di dalam perjanjian, misalnya penjual pisau menyatakan hanya bersedia menjual pisaunya jika pembeli membeli menbunuh orang dengan pisaunya, disini tidak ada kausa hukum yang halal.

Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu kausa dikatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.

Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden) bukanlah masalah yang mudah, karena istilah kesusilaan ini sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Kausa hukum dalam perjanjian yang terlarang juga apabila bertentangan ketertiban umum, keamanan Negara, keresahan dalam masyarakat, dan karenanya dikatakan mengenai masalah ketatanegaraan. Didalam konteks Hukum Perdata International (HPI), ketertiban umum dapat dimaknai sebagai sendi-sendi atau asas-asas hukum suatu negara. Kuasa hukum yang halal ini di dalam sistim common law dikenal dengan istilah legaliti yang dikaitkan dengan public policy. Suatu kontrak dapat menjadi tidak sah (illegal) jika bertentangan dengan public policy. Walaupun sampai sekarang belum ada definisi public policy jika berdampak negatif pada masyarakat atau menggangu keamanan dan kesejahteraan masyarakat (public’s safety and welfare), (Mariam Darus Badrulzaman,. 1980: 21).

Jadi, Perjanjian adalah bagian dari perikatan, perikatan akan timbul setelah adanya perjanjian. Perikatan timbul tidak hanya karena adanya perjanjian, perikatan dapat timbul karena undang-undang. Adapun syarat sahnya perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut ; Pertama, Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya; Kedua, Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan; Ketiga, Suatu hal tertentu; dan Keempat, Suatu sebab (causa) yang halal.

Dasar Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Putusan No. 447/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976 yang menyatakan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Daftar Pustaka

Badrulzaman, Mariam Darus. Perjanjian Baku (Standar), Perkembangannya di Indonesia. Bandung: Alumni, 1980.

Khaerandy, Ridwan. Aspek-aspek Hukum Franchise dan keberadaannya dalam hukum Indonesia. Yogyakarta: Majalah Unisa, UII, 1992.

Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 2003.

Avatar photo
Yustinus Hura, S.H.

Founder & CEO LogikaHukum.com
Advocate & Legal Consultant

Articles: 60

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *