LOGIKAHUKUM.COM – Asas Hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat didalam dan dibelakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individu yang dapat dipandang sebagai penjabarannya.[1] Ada beberapa Asas dalam perjanjian atau kontrak antara lain :
- Asas Konsensualisme
Asas Konsensualisme merupakan asensial dari Hukum Perjanjian. Sepakat mereka yang mengikatkan diri telah dapat melahirkan perjanjian. Asas Konsensualisme menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat dua orang atau lebih telah mengikat sehingga telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian.[2] Asas Konsensualisme hukum perjanjian tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat pertama sahnya perjanjian, yaitu “keharusan adanya kata sepakat antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian”. Arti konsensualisme berasal dari perkataan konsensus yang berarti sepakat. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa antara pihakpihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam sepakat tersebut. Asas Konsensualisme merupakan tuntutan kepastian hukum.[3]
- Asas Kebebasan Berkontrak
Asas Kebebasan Berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Menurut Munir Fuady, Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasan untuk mengatur sendiri isi kontrak tersebut.[4] Berdasarkan Asas Kebebasan Berkontrak, maka orang pada dasarnya dapat membuat perjanjian dengan isi yang bagaimanapun juga, asal tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Yang dimaksud Undang-undang disini adalah Undang-undang yang bersifat memaksa. Dalam sistem terbuka hukum perjanjian atau asas kebebasan berkontrak yang penting adalah semua perjanjian (perjanjian dari macam apa saja), akan tetapi yang lebih penting lagi adalah bagian mengikatnya perjanjian sebagai Undang-undang.
Kebebasan Berkontrak merupakan asas yang sangat penting dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran dari hak asasi manusia. Secara Historis kebebasan berkontrak sebenarnya meliputi lima macam kebebasan, yaitu:
- Kebebasan para pihak menutup atau tidak menutup kontrak.
- Kebebasan menentukan dengan siapa para pihak akan menutup kontrak.
- Kebebasan para pihak menetukan bentuk kontrak.
- Kebebasan para pihak menentukan isi kontrak.
- Kebebasan pada pihak menentukan cara penutupan kontrak.
Dalam penerapan asas kebebasan berkontrak, bukan berarti dapat dilakukan bebas sebebasnya, akan tetapi juga ada pembatasan yang diterapkan oleh pembuat peraturan perundang-undangan, yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan. Dengan demikian Asas Kebebasan Berkontrak ini tidak hanya milik KUH Perdata, akan tetapi bersifat universal.[5]
- Asas Kekuatan Mengikat Perjanjian
Asas ini juga disebut sebagai asas pengikatnya suatu perjanjian, yang berarti para pihak yang mambuat perjanjian itu terikat pada kesepakatan perjanjian yang telah mereka perbuat. Dengan kata lain perjanjian yang diperbuat secara sah berlaku seperti berlakunya undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Asas Pacta Sun Servanda ini terdapat dalam ketentuan pasal 1338 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang mambuatnya”. Perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan yang oleh undang-undang sudah dinyatakan cukup untuk itu. Dari perkataan “berlaku sebagai Undang-undang dan tidak dapat ditarik kembali” berarti bahwa perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya, bahkan perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan pihak lawannya. Berarti para pihak harus mentaati apa yang mereka sepakati bersama. Pelanggaran terhadap isi perjanjian oleh salah satu pihak menyebabkan pihak lain dapat melakukan tuntutan atas dasar wanprestasi dari pihak lawan. Asas ini berarti siapa yang berjanji harus menepatinya atau siapa berhutang harus membayarnya. Suatu hal yang penting yang patut diperhatikan bahwa, perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang.
- Asas Itikad Baik
Asas Itikad Baik dalam bahasa hukumnya disebut De Goedetrow. Asas ini berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Mengenai asas itikad baik ini terdapat dalam pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menentukan “persetujuanpersetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik dapat dibedakan dalam pengertian subjektif dan objektif. Itikad baik dari segi subjektif berarti kejujuran. Hal ini berhubungan erat dengan sikap batin seseorang pada saat membuat perjanjian. Itikad baik dalam segi objektif berarti kepatutan yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian atau pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan hak dan kewajiban haruslah mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Menurut teori klasik hukum kontrak, asas itikad baik dapat diterapkan dalam situasi dimana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu, akibatnya ajaran ini tidak melindungi pihak yang mengalami kerugian dalam tahap pra kontrak atau tahap perundingan, karena dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi syarat.[6]
- Asas Kepercayaan
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya dengan kata lain akan memenuhi prestasinya dibelakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan kedua belah pihak, dengan kepercayaan ini kedua pihak mengikatkan dirinya untuk keduanya melakukan perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai Undang-undang.
- Asas Personalia
Asas ini merupakan asas pertama dalam hukum perjanjian yang pengaturannya dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 1315 KUH Perdata yang bunyinya ”pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Dari rumusan tersebut diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu atau pribadi hanya dapat mengikat dan berlaku untuk dirinya sendiri.
- Asas Persamaan Hukum
Asas ini menempatkan para pihak didalam persamaan derajat dan tidak dibeda-bedakan baik dari warna kulitnya, bangsa, kekayaan, jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk saling menghormati satu sama lain sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
- Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.
- Asas Kepastian
Hukum Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian yaitu sebagai Undangundang bagi para pihak.
- Asas Moral
Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak debitur juga. Hal ini dapat terlihat dalam Zaakwarneming, dimana seseorang yang melakukan perbuatan sulcxela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya juga. Asas ini terdapat dalam pasal 1339 KUH Perdata “Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan didalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya. Persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau Undang-undang . Faktor-faktor yang memberi motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan kesusilaan (moral), sebagai panggilan hati nuraninya.
- Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan disini barkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas ini merupakan ukuran tentang hubungan yang ditentukan juga oleh rasa keadilan masyarakat.
- Asas Kebiasaan
Asas ini diatur dalam pasal 1339 jo. Pasal 1347 KUH Perdata, yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa saja yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang dalam kebiasaan dan lazim diikuti.
- Asas Perlindungan
Asas perlindungan mengandung arti bahwa antara kreditur dan debitur harus dilindungi oleh hukum. Namun yang perlu mendapat perlindungan adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah. Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan daripada pihak dalam menentukan dan membuat suatu perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa dari keseluruhan asas tersebut diatas merupakan hal yang penting dan mutlak harus diperhatikan bagi para pembuat perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak.[7]
Dasar Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Daftar Pustaka
[1] J.J.H. Bruggink (alih bahasa Arief Sidharta), Refleksi Tentang Hukum, PT. Citra Adytia Bakti, Bandung, 1996, Hal.119.
[2] Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, 2005, hal. 109
[3] Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung, 1975), hal. 12-17
[4] Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 12
[5] Felix. O. Soebagjo, Perkebangan Asas-Asas Hukum Kontrak Dalam Praktek Bisnis selama 25 Tahun Terakhir, Disampaikan dalam pertemuan ilmiah “Perkembangan Hukum Kontrak dalam Praktek Bisnis di Indonesia”, diseleggarakan oleh Badan Pengkajian Hukum Nasional, Jakarta 18 dan 19 Pebruari 1993.
[6] Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 5
[7] http://pengacaramuslim.com/asas-asas-dalam-hukum-kontrak/