LOGIKAHUKUM.COM – Hukuman mati merupakan salah satu isu yang paling kontroversial dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia (International Covenant on Civil and Political Rights). Meski diakui hak hidup sebagai non-derogable rights (hak yang tidak dapat dikurang-kurangi), pada Pasal 6 (ayat 2, 4, dan 5) secara tekstual dinyatakan bahwa hukuman mati masih diperbolehkan. Sementara itu pada Pasal 6 (ayat 6) kembali ditegaskan adanya semangat Kovenan ini untuk secara bertahap dan progresif menghapuskan praktek hukuman mati.
Baru pada Protokol Tambahan Kedua Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights; aiming at the abolition of the death penalty) yang diadopsi oleh Resolusi Mejelis Umum PBB pada 15 Desember 1989, secara tegas praktek hukuman mati tidak diperkenankan. Tafsir progresifnya secara implisit menunjukkan bahwa sebenarnya Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik bukan membenarkan praktek hukuman mati, namun lebih menegaskan bahwa Kovenan ini berusaha semakin memperketat dan memperkecil lingkup praktek hukuman mati. Hal ini didasari pada argumen bahwa pada waktu penyusunan Kovenan ini, mayoritas negara di dunia masih mempraktekan hukuman mati, namun semakin hari negara yang memberlakukan abolisi (penghapusan) hukuman mati semakin bertambah dan bahkan hingga hari ini justru mayoritas negara di dunia adalah kelompok abolisionis.
Sebelumnya pada tahun 1950 Konvensi HAM Eropa, European Convention on Human Rights/Convention for The Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms pada Pasal 2-nya menegaskan larangan hukuman mati. Konvensi regional Eropa ini merupakan treaty HAM tertua dan ide penghapusan hukuman mati berangkat dari Konvensi ini. Ketentuan hukuman mati kemudian juga dihapuskan diberbagai mekanisme pengadilan HAM internasional meskipun juridiksinya mencakup kejahatan paling berat dan serius di bawah hukum internasional. Statuta Tribunal HAM Internasional ad hoc untuk Negara-Negara Bekas Yugoslavia (Statute of International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY) dan Rwanda (Statue of International Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR). Demikian pula ketentuan ini ditiadakan pada Statua Roma Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court), yang merupakan Pengadilan HAM Internasional yang permanen.
Untuk memahami teks pada Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tentang hukuman mati, PBB juga mengeluarkan sebuah panduan berjudul Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati (Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty) melalui Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50, tertanggal 25 Mei 1984). Panduan ini memperjelas pembatasan praktek hukuman mati menurut Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik . Pembatasan praktek hukuman mati tersebut antara lain:
- Di negara yg belum menghapuskan hukuman mati, penerapannya hanya bisa berlaku bagi ‘kejahatan yang paling serius’, yang kategorinya harus sesuai dengan tingkat konsekwensi yang sangat keji.
- Hukuman mati hanya boleh berlaku bila kejahatan tersebut tercantum dalam produk hukum tertulis yang tidak bisa bersifat retroaktif (berlaku surut) pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dan jika di dalam produk hukum tersebut tersedia hukuman yang lebih ringan, maka yang terakhir ini yang harus diterapkan.
- Hukuman mati tidak boleh diterapkan pada anak yang berusia 18 tahun pada saat ia melakukan kejahatan tersebut. Hukuman mati tidak boleh diterapkan kepada perempuan yang sedang hamil atau ibu yang baru melahirkan. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada orang yang cacat mental atau gila.
- Hukuman mati hanya boleh diterapkan ketika kesalahan si pelaku sudah tidak menyediakan sedikitpun celah yang meragukan dari suatu fakta atau kejadian.
- Hukuman mati hanya bisa dijatuhkan sesuai dengan keputusan hukum yang final lewat sebuah persidangan yang kompeten yang menjamin seluruh prinsip fair trial, paling tidak sesuai dengan Pasal 14 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, termasuk pada setiap kasus yang diancam hukuman mati, seorang terdakwa harus disediakan pembelaan hukum yang memadai.
- Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi dan banding tersebut bersifat imperatif/wajib.
- Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan pengampunan, atau perubahan hukuman. Hal ini harus mencakup semua jenis kejahatan.
- Hukuman mati tidak boleh diberlakukan untuk membatalkan upaya pengajuan pengampunan atau perubahan hukuman.
- Ketika eksekusi mati dijalankan, metodenya harus seminimal mungkin menimbulkan penderitaan.
Meskipun kontroversi hukuman mati pada Pasal 6 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik masih terus diperdebatkan, namun ada interpretasi lainnya yang menganggap hukuman mati merupakan pelanggaran terhadap Pasal 7 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tentang praktek-praktek yang merendahkan dan tidak manusiawi. Ketentuan tambahan lain adalah berlakunya prinsip non-refoulement baik untuk negara yang sudah menghapus dan yang masih menerapkan hukuman mati- untuk isu ini. Prinsip non-refoulement ini adalah prinsip keharusan suatu negara untuk menolak permintaan ekstradisi dari negara lain bila orang tersebut bisa mendapat ancaman hukuman mati di negeri peminta.