Pertanggungjawaban Pidana Advokat dalam Menjalankan Profesi Berkaitan Dengan Itikad Baik Berdasarkan Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

Share your love

LOGIKAHUKUM.COM Advokat adalah seorang profesi hukum yang bertugas memberikan bantuan hukum baik itu didalam maupun diluar pengadilan yang berlandaskan nilai-nilai Kode Etik Advokat dan memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang. Perkembangan masyarakat dan makin kompleksnya relasi-relasi yang terjalin diantara masyarakat itu sendiri, baik di bidang sosial maupun ekonomi perlu diikuti dengan keluarganya berbagai aturan hukum guna untuk menjaga ketertiban dalam relasi tersebut.

Sulitnya aturan hukum yang berlaku membuat aturan tersebut tidak mudah dipahami oleh masyarakat. Mereka kemudian makin bergantung kepada profesi hukum Advokat guna menyelesaikan segala permasalahan hukum yang dihadapinya. Besarnya ketergantungan masyarakat kepada profesi Advokat ini membuat Advokat rentan terhadap godaan yang berpotensi untuk melakukan tindakan-tindakan tercela dalam menjalankan profesinya demi mendapatkan keuntungan pribadi semata.

Keberadaan kode etik profesi sangat penting guna menjaga agar advokat dalam berpraktek atau beracara supaya tidak keluar dari nilai-nilai profesi. Kode etik juga diperlukan guna menjaga agar Advokat mengabdi kepada kepentingan masyarakat dan menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh masyarakat kepada masyarakat tersebut.[1] Profesi Advokat di Indonesia sesungguhnya sudah memiliki Kode Etik Bersama yang disebut dengan Kode Etik Advokat Indonesia. Kode etik ini ditetapkan pada tanggal 23 mei 2002 diantaranya oleh Asosiasi Advokat Indonesia (AAI). Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM).

Pelanggaran atas Kode Etik kerapkali dilakukan oleh para Advokat ketika menjalankan profesinya dan bahkan tidak segan-segan melakukan perbuatan tersebut secara terbuka dan melanggar hukum pidana. Sulitnya penegakan Kode Etik dipengaruhi oleh berbagai faktor, satu diantara faktor tersebut terletak pada materi Kode Etik Advokat tersebut. Advokat dalam menjalankan profesinya untuk menegakkan keadilan rawan terhadap masalah-masalah terutama terhadap implementasi undang-undang Advokat itu sendiri, tidak jarang Advokat tersebut tersandung ke dalam masalah hukum yang merupakan tindak kriminal dalam menjalankan profesi sebagai seorang Advokat, seperti contoh kasus Bambang Widjojanto yang sebagai Advokat dari salah satu calon pasangan kandidat kepala daerah di Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah yang diduga menyuruh kliennya memberikan keterangan palsu dimana hal tersebut merupakan pelanggaran tindak pidana. Kenyataan sampai sekarang kasus ini belum dilimpahkan ke pengadilan untuk di sidang karena belum mendapat kepastian hukum mengingat bahwa Advokat didalam maupun diluar pengadilan tidak bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam menjalankan profesinya berlandaskan dengan perbuatan itikad baik.

Itikad Baik dalam Pasal 16 Undang-Undang No 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia tidak mengenal adanya istilah ataupun unsur mengenai itikad baik. Doktrin itikad baik pertama kali di kenal dalam hukum Romawi yang awal mulanya hanya meliputi sewa menyewa dan kontrak Jual-Beli lalu berkembang sejak diakuinya kontrak konsensual. Doktrin itikad baik terbentuk dari kehidupan sosial masyarakat Romawi meliputi ketaatan dan keimanan yang komprehensif dimana hal ini berlaku baik bagi warga Negara maupun bukan warga Negara.

Dalam hukum Romawi itikad baik dibagi menjadi tiga bentuk perilaku yaitu yang pertama, janji dan kontrak harus dipegang teguh oleh kedua belah pihak atau lebih. Kedua, dilarang mencuri ataupun mengambil keuntungan dari tindakan ataupun keputusan yang menyesatkan dan merugikan salah satu pihak. Ketiga, para pihak harus berperilaku sebagai orang terhormat dan jujur serta memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah disepakati walaupun hal tersebut tidak secara tegas tertulis atau diperjanjikan.[2] Itikad baik harus mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, tidak hanya mengacu kepada itikad baik para pihak karena itikad baik ini yang akhirnya mencerminkan standar keadilan atau kepatuhan masyarakat, dimana hal ini merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri.

Dalam kamus bahasa Indonesia, Itikad Baik mempunyai 2 (dua) unsur kata yaitu Iktikad dan Baik. Iktikad mempunyai arti keyakinan atau kepercayaan. Sedangkan Baik yang mempunyai arti patut atau benar.[3] Implikasi dari pengertian itikad baik tersebut dapat mengakibatkan timbulnya kekosongan norma hukum dan diharapkan pemerintah dapat memberikan penjelasan secara rinci dan jelas dalam pengertian istilah itikad baik agar terciptanya kepastian hukum untuk menilai advokat dalam menjalankan profesinya sudah memenuhi unsur-unsur itikad baik dan advokat yang tidak memenuhi unsur-unsur itikad baik ini dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana terkait kekebalan hukum seorang Advokat dalam menjalankan profesinya.

Pertanggungjawaban Pidana Advokat Berkaitan Dengan Itikad Baik

Profesi Advokat merupakan Profesi Officium Nobile yang artinya adalah profesi terhormat yaitu dalam menjalankan tugas profesinya Advokat berada dibawah perlindungan hukum baik itu undang-undang dan kode etik dengan berlandaskan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat serta berpegang teguh kepada kejujuran, kemandirian, keterbukaan, dan kerahasiaan. Dalam menjalankan profesinya seorang Advokat bebas dan mandiri yang artinya bertanggungjawab atas dirinya sendiri, tidak mempunyai atasan dan hanya tunduk kepada Tuhan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku namun demikian seorang tidak dapat bertindak semuanya sendiri, tindakan Advokat dibatasi oleh kode etik profesi yaitu kode etik profesi Advokat.[4]  Dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 yang perlu digarisbawahi yang merupakan syarat penting bilamana hak imunitas dapat di terapkan adalah itikad baik. Dalam penggunaan hak imunitas yang perlu di perhatikan yakni ada 2 (dua) yaitu yang utama adalah segala tindakan Advokat dalam pelaksanaan tugas dan fungsi profesinya harus berkaitan, dan yang kedua tindakan itu juga harus berlandaskan dengan perbuatan itikad baik yang secara sederhana dapat didefinisikan “tindakan yang tidak melanggar hukum”. Apabila 2 (dua) syarat tersebut tidak dipenuhi maka Advokat tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dilihat dari unsur-unsur kesalahan perbuatannya.[5]

Pertanggungjawaban pidana seorang Advokat yang melakukan tindak pidana dalam menjalankan profesinya harus dilihat dari kesalahan yang dilakukan Advokat tersebut sehingga dapat dipandang telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Kesalahan berpengaruh besar terhadap pertanggungjawaban pidana karena kesalahan merupakan unsur mutlak dari pertanggung jawaban pidana. Kesalahan dalam arti seluas-luasnya meliputi pertama, si pelaku memiliki kemampuan bertanggung jawab (schuldfahigkeit atau zurechunungsfahigkeit) artinya keadaan si pelaku harus normal. Disini dipersoalkan apakah Advokat mampu bertanggung jawab atas perbuatannya. Kedua, hubungan perbuatan si pelaku dengan sikap batin si pelaku yang berupa sengaja (dolus) atau kealpaan (culpa), Disini dipersoalkan sikap batin seorang Advokat terhadap perbuatannya. Ketiga, Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf meskipun apa yang disebutkan unsur kesalahan pertama dan unsur kesalahan kedua ada, ada kemungkinan bahwa keadaan yang mempengaruhi si pelaku sehingga kesalahannya hapus misalnya dengan ada kelampuan batas pembelaan terpaksa.[6]

Apabila ketiga-tiga unsur ada maka Advokat yang bersangkutan dapat dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga Advokat tersebut dapat dipertanggungjawabkan pidana. Memperhatikan unsur-unsur kesalahan dan pengertian itikad baik yang sudah dipaparkan apabila dikaitkan dengan kasus Bambang Widjojanto maka pertama, Adanya kemampuan bertanggungjawab dari Advokat Bambang Widjojanto. Kedua, Hubungan batin antara Advokat Bambang Widjojanto dengan perbuatannya yang berupa sengaja (dolus) atau kealpaan (culpa). Ketiga, Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf karena tindakan yang dilakukan oleh Advokat Bambang Widjojanto dikategorikan sebagai tindakan pembelaan klien dengan itikad buruk yang mengarah kriminal, sehingga tindakan tersebut bertentangan dengan Pasal 16 Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat yang menyebutkan bahwa “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien di dalam dan di luar sidang pengadilan”.

Selain itu harus diingat bahwa untuk ada kesalahan dalam arti seluas-luasnya (pertanggungjawaban pidana) orang yang bersangkutan harus pula dibuktikan terlebih dahulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum. Apabila perbuatan tersebut tidak melawan hukum, maka tidak perlu menerapkan kesalahan terhadap advokat yang bersangkutan.

Jadi, Pasal 16 Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat tidak mengatur dengan jelas tentang pengertian Itikad baik yang mengakibatkan Advokat salah penafsiran sehingga seringkali melanggar Kode Etik bahkan melawan hukum pidana dalam membela kepentingan klien.  Yang dimaksud dengan menjalankan profesi dengan itikad baik dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 18 tahun 2003 adalah menjalankan profesi Advokat harus berdasarkan nilai-nilai luhur atau standar etika dan selalu mentaati segala peraturan kode etik dan norma-norma hukum. Dengan demikian Seorang Advokat dapat dimintai pertanggungjawaban profesi dan pertanggungjawaban pidana apabila dalam menjalankan profesinya seorang Advokat tidak beritikad baik atau beritikad buruk yang selanjutnya melanggar Hukum Pidana dan memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana.

Dasar Hukum

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

Daftar Pustaka

[1] Sartono & Bhekti Suryani, S.IP, 2010, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Advokat, Dunia Cerdas, Jakarta Timur, hal. 99.

[2] Martin Joseph Schermaier, Bona Fides in Roma Contract Law, Reinhard Zimmerman dan Simon Whittaker, hal. 77.

[3] K.L. Suhrawardi, Etika Profesi Hukum, Jakarta : SinarnGrafika, 1994, hal. 1.

[4] Sartono & Bhekti Suryani, Op. cit. hal. 105.

[5] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan-Kumpulan Kuliah, Jakarta : Balai Lektur Mahasiswa, 2006, hal. 279.

[6] Roni Wiyanto, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia. Surakarta : Mandar Maju, 2012, hal.143.

Avatar photo
Mareti Waruwu, S.H., M.H.

Advocate & Legal Consultant

Articles: 3

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *